Diterbitkan
oleh Padang Ekspres
Tanggal 28
Maret 2015
Oleh:
Ashabul Fadhli
Dosen STAIN
Batusangkar dan bergiat di
Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Bukittinggi
Sorotan mengenai aturan berjilbab bagi polisi wanita (Polwan) kembali
bergulir. Setelah gencar diberitakan semenjak tahun lalu, ketika diangkatnya
wacana jilbab sebagai bentuk kelengkapan seragam bekerja, pemberitaan mengenai
jilbab Polwan saat ini kembali diketengahkan. Bedanya, kali ini bukan lagi terkait
rancangan ataupun pembicaraan anggaran jilbab Polwan, melainkan ketuk palu
tentang pengesahan yang mengizinkan Polwan untuk mengenakan jilbab sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan ini ditandai dengan penanda tanganan
peraturan Kapolri yang tertuang dalam surat keputusan Nomor KEP/245/III/2015
yang merupakan perubahan atas surat keputusan Nomor SKEP/702/IX/2005 sebelumnya
tentang aturan penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri (Kompas,
25/3).
Bagi Polwan yang beragama Islam, kabar ini tentunya menjadi kado
istimewa, agar dalam bertugas nanti Polwan sudah bisa mengenakan Jilbab sebagai
atribut dan cerminan pakaian muslimah. Kebijakan ini sekaligus menjadi titik
terang dari penantian yang tergolong lama. Sebab, ketika polemik tersebut
dibahas dalam salah satu rapat kerja Wakapolri beserta jajarannya dengan Komisi III DPR tahun silam, angin segar sempat
berhembus ke tubuh Polwan. Izin yang semula membolehkan Polwan untuk
menggunakan jilbab, rupanya ditarik kembali mengingat belum terwujudnya payung hukum
secara legal-formal.
Meskipun terkesan lamban, realisasi dari aturan baru ini patut di
apresiasi oleh seluruh kalangan, terutama bagi Polwan yang sudah memutuskan
untuk mengenakan jilbab. Artinya, kepercayaan yang diberikan Polri kepada
Polwan harus diiringi dengan sikap berupa peningkatan kerja. Tentu saja ini
menjadi moment bagi Polwan untuk membuktikan bahwa pakaian tidaklah menjadi
hambatan dan keterbatasan dalam menjalani aktifitas.
Kebutuhan
Primer
Pelbagai
referensi keagamaan menunjukkan bahwa alat penutup kepala –yang familiar saat
ini—sudah terlebih dahulu dikenal dengan nama dan fungsi yang beragam. Baik Nasrani
(redid/zammah), Yahudi (tiferet) maupun Islam (jalaba/libas)
pernah atau telah terlebih dahulu menggunakan penutup kepala tersebut dengan
cara, bentuk dan fungsi yang beragam (Nasaruddin Umar, 2002). Disetiap zaman,
daerah dan qabilah penggunaan tutup kepala ini juga dilatar belakangi
oleh sejarah, filosofi serta keadaan geografisnya masing-masing. Artinya,
persoalan mengenai jilbab sudah berlansung lama seiring perkembangan sejarah
manusia. Hal ini terkait substansinya sebagai pakaian penutup badan (baca:
kepala) dengan memperhatikan etika dan tanggung jawab (personal dan sosial) yang
mengitarinya.
Lebih
dari itu, saat Adam dan Hawa diturunkan ke bumi karena melanggar perintah
Tuhan, persoalan utama yang segera disikapi adalah perintah untuk menutup
aurat. Sejatinya, ide dasar pakaian yang dimaksud saat itu adalah seruan menutup
aurat. Namun karena godaan setan, aurat manusia jadi terbuka. Untuk menutupinya
digunakanlah kain penutup badan yang lazim disebut pakaian. Jadi sangat
rasional apabila argumen ini bertujuan untuk mengembalikan aurat pada ide
dasarnya, yaitu untuk ditutup, bukan untuk dibuka apalagi dipamerkan.
Dalam pandangan Islam, selang saat diserukan
perintah dan ketentuan untuk menutup aurat, manusia berkewajiban untuk
tunduk dan patuh atas apa yang telah diperintahkan. Dalam makna umum,
perintah menggunakan jilbab ditujukan untuk menutupi kepala. Namun secara
khusus, wajah dan telapak tangan menjadi pengecualian yang harus ditutupi. Hal
ini disebabkan pemahaman jilbab dalam bahasa arab memiliki makna yang kompleks.
Meskipun begitu, seruan menggunakan jilbab selalu memiliki tujuan sosial yang
relevan dengan konteks kekinian.
Jika dikaji lebih teliti, selain menghadirkan tujuan personal bagi
yang menggunakan, secara implisit tersimpan tujuan sosial berupa perlindungan,
yaitu perlindungan tersirat dan tersurat. Perlindungan tersirat
dimaksudkan sebagai suatu ketundukan atas sebuah perintah yang menghendaki terwujudnya
kemaslahatan dalam diri manusia. Sederhananya, jilbab disebut juga sebagai
identitas sosial, yang secara simbolik membedakan antara perempuan muslim dengan perempuan non muslim. Sedangkan tersurat, lebih dimaksudkan sebagai pakaian luar yang menutupi
badan seperti jilbab atau seragam resmi yang berfungsi untuk melindungi tubuh.
Pemahaman ini tentu saja tidak bersifat tunggal, sebab tujuan sosial tersebut
dapat terintegrasi secara heterogen.
Bagi masyarakat modern, jilbab sudah
berformulasi sebagai kebutuhan primer, bahkan berfungsi sebagai penghias
bagi perempuan muslim. Aturan penggunanaan
jilbab tidak lagi sebatas perintah dan aturan agama, namun telah
terinternalisasi dalam diri. Pengenaannya di ruang publik sudah menjadi hal
yang sangat lazim dan cendrung diminati oleh semua umur, bahkan menjadi atribut
resmi dalam beberapa birokrasi, salah satunya di lembaga Polri saat ini.
Internalisasi di atas adalah wujud dari
keyakinan yang kemudian bermanifestasi dalam pola kehidupan sosial. Penggunaan jilbab tidak lagi dipandang sebagai
kebutuhan pribadi, melainkan beranjak pada kebutuhan sosial yang berjejer dalam
lingkup birokrasi dan pemerintahan. Karena itu, pengguna jilbab dan seragam
pendukung lainnya dapat dikatakan “satu paket” yang sulit dipisahkan dalam
lingkungan sosial. Di dalamnya terdapat semangat egalitarianisme dan humanisme.
Hal ini dipicu dari semangat hubungan vertikal yang terjadi antara manusia
dengan Tuhan, serta hubungan horizontal antara sesama manusia terkait tuntutan
dan prilaku dalam kehidupan sosialnya.
Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya. Diperkuat oleh Pasal 28E ayat (2)
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.
Selain itu dalamPasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga
diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia dan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Secara esensial, amanat
konstitusi tersebut sangat kental dengan pesan keadilan dan kemanusiaan.
Meskipun tidak menggunakan jubah agama untuk melegitimasi dan melakukan
pembenaran, pesan-pesan tersebut harus senantiasa ditumbuh kembangkan dalam
pemikiran dan tindakan manusia.
Berangkat dari asumsi di atas, penggunaan
jilbab merupakan bagian dari hak dasar yang melekat dan dilmiliki perempuan
(baca: Polwan). Realisasi pemakaian jilbab bagi Polwan tetap harus mendapat
dorongan dan pengawalan, mengingat kebijakan ini masih tergolong baru dalam
skala nasional. Meskipun Aceh sudah memulainya terlebih dahulu, tetap saja
peluang terjadinya gesekan tetap ada. Konsekuensinya, penyematan hak
yang disandang harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan. Usaha ini sangat memungkinkan terwujudnya
kesadaran kritis menuju transformasi sosial bagi segenap jajaran Polwan. Secara
tidak lansung, tranformasi ini akan menghadirkan mental dan pola pikir yang
baik secara sistemik bagi Polwan dengan citra yang menghiasi kepalanya (..)