Jumat, 31 Mei 2013

Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Anak

Dimuat di Harian Padang Ekspres
Pada Senin, 6 Mei 2013 

Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang.

Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi anak menjadi korban kekerasan. Kasus pembunuhan yang terungkap di Kabupaten Agam beberapa waktu lalu (29/4), menjadi catatan panjang kisah pilu tentang kejahatan kemanusiaan. Berdasarkan kasus yang ditangani lansung oleh Polresta Bukittinggi, diketahui bahwa korban adalah anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah. Dari olah TKP (tempat kejadian perkara), korban sempat diperkosa sebelum dihilangkan nyawanya secara mengenaskan.
Fenomena di atas merupakan satu dari kompleksnya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang akhir-akhir ini selalu menjadi buah bibir. Tidak hanya di Sumatera Barat, di beberapa daerah lain kasus serupa tengah berada dalam keadaan yang sama. Pencabulan dan perkosaan terhadap anak sudah menempati angka tertinggi dalam kurun waktu terakhir. Isu ini bak laris manis di pasaran dan tidak pernah kehabisan. Senantiasa ramai menghiasi layar kaca dan media cetak. Pada skala nasional, tingginya angka kasus kekerasan anak disinyalir sebagai wabah darurat nasional.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, terdapat 2.509 laporan pada tahun 2011, 59% diantaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sementara pada tahun 2012, terdapat 2.637 laporan, 62% diantaranya adalah kekerasan seksual. Lebih mencengangkan lagi adalah terhitung sejak januari hingga Maret 2013 ini, ditemukan 87 kasus dari 127 pengaduan. Itupun statistiknya diduga masih menggunakan skala pusat saja, dan belum termasuk in-put data dari lembaga-lembaga layanan lain di sejumlah daerah se-Indonesia.

Pada skala yang lebih kecil, angka berbeda ditunjukkan oleh Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang. Terdapat 24 kasus kekerasan seksual tahun 2011, 13 diantaranya adalah kasus perkosaan. Tahun 2012 terdapat 29 kasus, 22 diantaranya adalah kasus perkosaan. Sedangkan sejak bulan Januari hingga April tahun ini setidaknya ada 11 kasus, 9 diantaranya adalah kasus perkosaan.

Jika dirangkum seluruh jumlah kasus di atas, dapat diasumsikan bahwa semenjak bulan Januari hingga Maret tahun ini, setidaknya terjadi 1 kali tindak kekerasan terhadap anak hampir disetiap harinya di Nusantara.

Dari analisa kasus, rupanya terdapat kecendrungan bagi korban kekerasan seksual untuk tidak melaporkan peristiwa yang dialami. Banyak faktor yang melatar belakangi. Beberapa diantaranya adalah korban merasa malu karena menganggap hal ini merupakan aib sehingga orang lain tidak boleh tahu, faktor usia anak membuat korban masih labil untuk bisa menyikapi persoalannya secara rasional, rasa takut akan ancaman pelaku ditambah oleh rasa khawatir karena mendapatkan tekanan, sehingga menyebabkan kasus kekerasan tidak terdeteksi, karena tidak dilaporkan.

Fenomena ini tentu sangat merugikan anak selaku korban, baik secara fisik maupun piskis anak. Bahkan anak kehilangan hak dan kesempatannya untuk hidup layak seperti anak-anak pada umumnya. Sebagaimana prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang tertera dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak pasal 2; (a) non-deskriminasi, (b) kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup, kelansungan hidup dan perkembangan, (d) penghargaan terhadap pendapat anak.

Pendidikan moral
Faktor yang beragam dinilai sebagai penyebab terjadinya tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Layanan tekonologi berbasis internet di klaim berkontribusi besar sebagai pemicu aksi kekerasan. Tayangan televisi yang luput sensor serta konten pornografi menjadi gerbang dimulainya kisah kelabu tentang penyimpangan seksual.

Selain pengaruh teknologi, pemicu lain juga dipengaruhi oleh disorientasi nilai, yakni kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Kondisi yang tidak stabil dan mobilitas yang terlalu berlebihan membuat beban dan fungsi nalar menjadi lebih berat. Indikasinya akan melahirkan pribadi-pribadi yang keluar jalur (out-reach) atau berantakan. Jika sudah begini, sejumlah prilaku yang bersifat devian atau menyimpang seperti agresi akan lahir sebagai warna baru, yaitu kekerasan.

Perilaku agresi sendiri merupakan bentuk tingkah laku yang ditunjukkan untuk melukai dan mencelakakan individu lain (Leonard Berkowitz: 2006). Agresi dalam konteks pelaku kekerasan, kadangkala lahir melalui proses meniru, dimana pola asuh orang tua yang agresif turut menularkan pandangan agresif mereka kepada anak-anaknya. Selanjutnya, anak-anak tumbuh dan berkembang melalui pengalaman hidup yang mereka peroleh dari peran ayah dan ibu di rumah.

Begitu juga ketika keluarga tersebut rentan diwarnai cek-cok dan pertengkaran, seperti kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Secara tidak lansung anak akan terpengaruh, meniru bahkan menerima pola tersebut sebagai aturan hidup yang lumrah bagi kehidupannya kelak. Konflik suami istri yang disaksikan anak berulang-ulang akan menghadirkan frame baru bagi perkembangan anak. Tidak menutup kemungkinan, kelak anak akan melakukan prilaku kekerasan serupa.

Pada konteks ini, meningkatnya jumlah pelaku kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh kehilangan konsep diri (frustasi) dan lemahnya daya kontrol diri (self protection). Keduanya itu merupakan turunan dari moral. Penanaman nilai-nilai atau yang lebih populis dengan sebutan norma-norma tak ayal menjadi suatu keharusan. Tidak hanya yang bersifat duniawi semata, pendidikan agama yang diterapkan dalam keluarga harus menjadi porsi utama.

Pendidikan moral adalah metode ideal yang seharusnya telah dibiasakan sejak usia dini. Bahkan dimulai sejak bayi masih di dalam kandungan. Seluruh anggota keluarga ditanamkan kesadaran  untuk melakukan pilihan antara nilai-nilai yang dikategorikan salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat dimulai dengan mempraktekkannya dalam kegiatan sehari-hari. Kemudian berlanjut dengan internalisasi nilai-nilai sebagaimana di atas, hingga mendarah daging dalam kehidupan seluruh anggota keluarga.

Mengutip pendapat Immanuel Kant (1724-1804), bahwa norma (moral) itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung apakah norma itu menguntungkan atau tidak. Manusia mempunyai tugas agar senantiasa menebar kebaikan dan cinta kasih. Hal itu disebabkan karena manusia memiliki kecendrungan kepada kebaikan. Ketika setiap individu telah secara sadar (awareness) memproyeksikan ke dalam dirinya bahwa kekerasan merupakan sebuah pelanggaran atas hak-hak sesama manusia, kekerasan terhadap anak setidaknya akan berkurang. Terutama bagi masa depan anak dan kemajuan bangsa. (..)


Dimensi Hak Anak

Secara yuridis, sistem perlindungan anak di Indonesia terlihat masih tergolong lemah. Hal ini diduga kuat menjadi indikator tingginya angka kekerasan terhadap anak. Dalam KUHP pasal 287 disebutkan, hukuman maksimal atas kasus pelecehan seksual terhadap anak dikenakan 9 tahun penjara untuk kasus di luar hubungan pernikahan. Sedangkan pada pasal 288 tentang kasus dalam hubungan pernikahan hanya dikenakan 4 tahun penjara .

Kebijakan yang berbeda yang ditunjukkan oleh Undang-Undang No.23 tahun 2002 pasal 80 tentang Perlindungan Anak bahwa setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Kemudian pada pasal 81 ditegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Namun realitasnya, perlindungan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, masih ibarat jalan buntu yang kehilangan arah.

Sejalan dengan misi global yang konsen untuk melakukan advokasi terhadap isu kejahatan kemanusiaan, kekerasan terhadap anak menjadi bagian terpenting dalam pelanggaran HAM.[i] Piagam PBB Tahun 1948 Pasal 1 Deklarasi HAM sedunia menyebutkan bahwa seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat persaudaraan. Deklarasi PBB memberikan penjelasan seperangkat hak hak dasar manusia yang tidak boleh dipisahkan dari keberadaannya sebagai manusia. HAM juga berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Atau ada juga yang mengatakan HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki atau pun perempuan. Hak tersebut mungkin saja dilanggar tetapi tidak pernah dapat dihapuskan.

Di Indonesia penghormatan atas hak-hak asasi manusia telah dijamin oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebagai pandangan hidup, falsafah dan dasar konstitusional bagi Negara Kesatuan RI. Walaupun perwujudan secara materiil dan formil baru ada setelah dikeluarkannya undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya. Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang tertera dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak pasal 2 meliputi; (a) non-deskriminasi, (b) kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup, kelansungan hidup dan perkembangan, (d) penghargaan terhadap anak.

Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berkewajiban untuk menjamin terlaksananya hakhak anak dengan menuangkan dalam sebuah produk perundang-undangan. Konsekuensinya menurut Erma Syafwan Syukrie, pemerintah Indonesia harus melakukan langkah-langkah harmonisasi hukum, yaitu: (1) Memeriksa dan menganalisis perundang-undang yang ada dan masih sedang dalam perencanaan/pembentukan; (2) Meninjau ulang lembaga-lembaga yang berhubungan dengan pelaksanaan hak anak; (3) Mengusulkan langkah-langkah penyelerasan ketentuan konvensi hak anak dengan perundang-undangan lain; (4) Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku, tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; (5) Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanan Konvensi Hak Anak penyelerasaan dengan perundang-undangan Indonesia.

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi[iv], demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Ketentuan tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

1.       Hak untuk hidup (survival rights)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekuensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khusuSnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).

Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.

2.       Hak terhadap perlindungan (protection rights)
Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hakperlindungan daridiskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara.

Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

3.       Hak tumbuh berkembang (development rights)
Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan(formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.

4.       Hak untuk berpartisipasi (participation rights)
Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyataka pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat. (..)

Anak dalam kacamata Al Qur'an

Kata “anak” dalam Ensiklopedi hukum Islam didefinisikan sebagai orang yang lahir dalam rahim ibu, baik laki-laki maupun perempuan atau khunsa yang merupakan hasil persetubuhan dua lawan jenis. Menurut sumber ini, pengertian anak semata-mata dinisbatkan pada konteks kelahiran dan posisinya sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Al Qur’an sendiri mendifinikan anak dengan istilah yang beragam. Term-term tersebutakan diuraikan sebagai berikut:

1.      al-walad.
Al Qur’ansering menggunakan kata al-walad untuk menyebut anak. Kata al-walad dengan segala bentuk derivasinya terulang Al Qur’ansebanyak 65 kali. Dalam bahasa Arab kata walad jamaknya awlad, berarti anak yang dilahirkan oleh orangtuanya, baik berjenis  kelamin laki-laki maupun  perempuan,  besar atau kecil,  baik untuk mufrad (tunggal), tatsniyah (dua) maupun jama’ (banyak).  Karenanya, jika anak belum lahir, berarti ia belum dapat disebut sebagai al-walad atau al-mawlud, melainkan al-janin, yang secara etimologis terambil dari kata janna-yajunnu, berarti al-mastur dan al-khafiy yakni  sesuatu yang tertutup dan tersembunyi (dalam rahim sang ibu).

Dalam al-Qur’an, kata walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata walid, berarti ayah kandung, demikian pula kata walidah (ibu kandung).  Ini berbeda dengan kata ibn, yang tidak mesti menunjukkan hubungan keturunan. Jadi, ibn bisa berarti  anak kandung dan anak angkat. Demikian pula  kata ab (bapak),   bisa berarti ayah kandung dan ayah angkat.

2.      ibn.
Al Qur’anjuga menggunakan kata ibn untuk menyebut anak. Kata ibn ini dengan segala bentuk derivasinya terulang sampai 161 kali. Lafaz ibn menunjuk pada pengertian  anak laki-laki yang tidak ada hubungan nasab, yakni anak  angkat,  contohnya adalah pernyataan tradisi orang-orang Jahiliyah yang menisbatkan anak angkatnya seolah-olah seperti anaknya sendiri, sehingga anak angkat itu berhak untuk mewarisi hartanya, tidak boleh dinikahi dan sebagainya.. Padahal dalam al-Qur’an, perilaku seperti itu tidak diperbolehkan. Allah Swt berfirman:
وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ
Artinya “… dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikianitu hanyalah perkataan dimulutmu saja …”. (Q.S al-Ahzab: 4)

3.      bint.
Dalam Al Qur’an ketika disebut bint,  jamaknya banat,  berarti merujuk pada pengertian anak perempuan. Kata tersebut  dengan berbagai macam bentuknya, terulang dalam Al Qur’ansebanyak  19 (sembilan belas) kali.

Sehubungan dengan anak perempuan, Al Qur’an memberikan informasi  tentang  bagaimana orang-orang jahiliyah memandang dan memperlakukan anak perempuan. Misalnya,  mereka menganggap  anak perempuan sebagai aib keluarga sehingga mereka pun tega mengubur anak perempuan mereka dalam keadaan hidup-hidup. Al Qur’an mengecam tindakan tersebut sebagai kejahatan, dosa besar dan kebodohan  (Q,S al Nahl 58-59). Lebih parah lagi,  orang-orang Jahiliyah juga menisbatkan anak-anak perempuan untuk Allah, sementara  mereka sendiri lebih memilih anak-anak laki-laki (Q.S al Thur 39 dan al Nahl 57). Padahal sesunguhnya Allah Swt tidak memiliki anak, karena Dia Esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (Q.S. al-Ikhlas: 1-4). 

4.      Dzurriyyah
Al Qur’anjuga menggunakan kata dzurriyyah untuk menyebut anak cucu atau keturunan. Kata tersebut terulang  dalam Al Qur’an sampai  32  (tiga puluh dua)  kali. Sebagian besar ayatnya berkaitan dengan masalah harapan atau doa orangtua untuk memperoleh anak keturunan yang baik. Sebagian lagi berkaitan dengan peringatan Allah agar jangan sampai meninggalkan anak-anak yang bermasalah, sebagian lagi berkaitan dengan masalah balasan yang akan diterima oleh orangtua yang memiliki anak-anak yang tetap kokoh dalam keimanannya.

5.       Hafadah
Dalam Al Qur’an, term hafadah   bentuk jamak dari hafid,  dipakai untuk  menunjukkan pengertian cucu (al-asbath) baik untuk cucu yang masih hubungan kerabat atau  orang lain. Kata tersebut merupakan derivasi dari kata hafada yang berarti  berkhidmah (melayani) dengan cepat dan tulus. Ini memberikan isyarat bahwa anak cucu sudah semestinya dapat berkhidmat kepada orangtuanya secara tulus,  mengingat orangtualah yang menjadi sebab bagi anak dan cucu terlahir ke dunia.  Dalam konteks ini Al Qur’anmenyatakan:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni`mat Allah?" Q.S al-Nahl: 72
6.       al-Shabiy
Kata tersebut terulang dua kali dalam al-Qur’an,  yaitu: Pertama, pada surat Maryam ayat 12. Kata al-Shabiyyu dalam ayat tersebut berarti kanak-kanak. Ayat itu memberikan informasi bahwa Allah memberikan menyuruh mempelajari kitab Taurat kepada Yahya dan memberinya hikmah (pemahaman atas kitab Taurat dan pendalaman agama), pada waktu Yahya masih kanak-kanak dan  belum baligh. Demikian kurang lebih penjelasan al-Thabari, sebagaimana dikutip oleh Ali Al Shabuni   dalam kitab Shafwatu al-Tafasir.

Kedua, pada ayat 29 surat  Maryam. Kata Shabiyyan  pada ayat tersebut menunjuk pada  pengertian anak yang masih dalam ayunan. Ketika itu Nabi Isa   disuruh ibunya berbicara dan menjelaskan tentang hal keadannya (yakni hamil dan punya anak tanpa suami) kepada orang Yahudi,  ia masih dalam keadaan menetek ibunya, ketika mendengar perintah ibunya, ia lalu melepaskan puting susu ibunya dan berbicara bahwa sesungguhnya saya (Isa) adalah hamba Allah yang diciptakan tanpa ayah…”.

7.       al-Thifl
Kata thifl bentuk jamaknya athfal dalam Al Qur’an terulang sebanyak empat kali, yaitu Q.S al-Nur: 31 dan 59,  al-Hajj:5, al-Mukmin: 67. Kata thifl mengandung arti anak yang di dalam ayat-ayat  tersebut tersirat fase perkembangannya. Dalam fase perkembangan anak itulah orang tua perlu mencermati dengan baik, bagaimana perkembangan anak-anak mereka. Sehingga jika ada gejala-gejala yang kurang baik (misalnya gejala autis),  maka dapat diberikan terapi sebelum terlambat. Semakin  baik orangtua memperhatikan masa perkembangan anaknya, maka Isnya Allah akan semakin baik pula hasil out putnya.

8.       al-Ghulam
Sedangkan kata al-ghulam dalam berbagai bentukanya diulang 13 ali dalam al-Qur’an, yaitu Ali Imran :40, Yusuf 19, al-Hijr 53, al Kahfi 80 Maryam 7, 8 dan 20 , al-Shaffat 101 dan al Dzariyat: 28. Kata ghulam berarti seorang anak muda, yang diperkirakan umurnya 14-21 tahun. Pada fase tersebut  perhatian orang tua harus lebih cermat. Sebab pada itulah mereka biasanya mengalami puber, krisis identitas,  dan bahkan perubahan yang luar biasa. 

Beragam defenisi anak yang diuraikan di atas, memberikan isyarat bahwa betapa Al Qur’an sangat memperhatikan kondisi sosial anak, baik yang menyangkut kedudukan anak, proses pendidikan dan  pemeliharaan anak, hak-hak anak, hukum-hukum yang terkait dengan anak, maupun cara berinteraksi yang baik. (..)