Minggu, 27 November 2011

Kenali relasi Kekerasan dalam pacaran (Dating Violence)

Kekerasan terhadap pacaran biasanya terjadi dengan modus: (1) Pacaran yang kemudian terjadi hubungan seksual dengan janji-jani atau bujukan. Setelah itu korban (laki-laki atau perempuan) ditinggalkan. (2) Terjadinya kekerasan fisik atau emosional, dan lain sebagainya.

Pada kasus yang sampai menyebabkan kehamilan banyak terjadi pada perempuan yang ditinggalkan pasangannya begitu saja atau justru dipaksa untuk melakukan aborsi. Dalam masa pacaran tak jarang juga terjadi pola hubungan seksual dengan paksaan dengan ancaman kekerasan fisik.

Adapun akibat-akibat yang diderita korban kekerasan dalam pacaran (KDP) sangat beragam dan bertingkat-tingkat. Seperti (1) bagi perempuan, adanya trauma terhadap laki-laki, (2) takut membuat relasi baru dengan laki-laki dan (3) perempuan merasa tidak berharga karena kehilan virginitasnya, begitujuga sebaliknya. KDP juga sering mengakibatkan kehamilan yang tidak dikehendaki, selain berdampak pada negatif perempuannya, perbuatan tersebut juga berdampak pada bayi yang akan dilahirkan.

Dalam aturan hukum di Indonesia, belum ada aturan yang secra spesifik mengatur tentang ini, sehingga seringkali korban (laki/perempuan) tidak terlindungi. Hal lain yang menyebabkan kekerasan ini tidak tercover adalah karena tidak adanya keberanian korban untuk melakukan pengaduan. Kekurangan bukti-bukti formal yang disyaratkan hukum dan pandangan aparat penegak hukum yang hanya mengedepankan hal-hal yang bersifat legal formal sempit. Kekerasan dalam hukum lebih dipahami secara fisik dengan penegertian yang sangat terbatas. Untuk itu, perlindungan terhadap korban dapat digunakan ketentuan hukum yang berlaku secara umum baik dalam KUH Pidana maupun KUH Perdata.

Untuk saat ini, pada kasus kekerasan fisik pada prinsipnya para pelaku dapat dituntut dengan pasal-pasal KUH Pidana seperti penganiayaan pasal 351-358 KUH Pidana. Bila terjadi pada korban yang masih di bawah umur maka akan dikenakan hukuman atas tuduhan melakukan cabul atau Undang Undang Perlindunagn Anak .

Adapun secra perdata bila kekerasan tersebut menyebabkan kerugian materil dan immateril maka korban dapat menuntut dengan ganti rugi dengan menggunakn pasal 1365 KUH Perdata dengan mengajukan gugatan perdata lewat Pengadilan Negeri. Proses persidangan kasus perdata ini biasanya memakan waktu yang lama sehingga korban tak jarang menghadapi beban psikologis tambahan yang cukup berat.

Berdasarkan hal itu, angka statistik yang saya peroleh dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2004 telah terjadi KDP sebanyak 321 kasus, tahun 2005 sebanyak 635 kasus, tahun 2006 sebanyak 816 kasus, tahun 2007 sebanyak 776 kasus. Artinya secara akumulasi kekerasan ini selalu bertambah secara signifikan setiap tahunnya.

Upaya untuk memperkarakan pelaku melalui jalur perdata inipun tidak semua dapat berhasil secara maksimal. Dalam gugatan pengakuan anak diluar perkawinan misalnya, sidang harus melalui pembuktian yang rumit untuk memenangkan gugtan tersebut. Kecuali jika korban harus menyediakan dana yang tidak sedikit untuk biaya perkara pada peradilan perdata.

Berangkat dari itu, upaya-upaya non litigasi seperti pendidikan, penyadaran dan pemberdayaan juga harus dilakukan agar supaya terjadi perubahan persepsi yang pada akhirnya diharapkan dapat menghasilkan perubahan kebijakan dalam melihat kasus dating violence. (..)

Kamar kos, Griya Apem.
Saat ini bekerja untuk Volunteer di Women Crisis Center Rifka Annisa Jogjakarta

Minggu, 20 November 2011

Masihkah membela agama?



Dalam menjalani realitas keragaman dalam beragama, sudah tidak seharusnya pemahaman akan benar dan memenangkan kepentingan sendiri dikukuhkan. Gaya hidu yang eksklusif (tertutup) adalah akar permasalahan dalam setiap individu dalam agama apapun. Agama selalu saja di nomor satukan, sementara kadar iman tidak pernah diperhatikan. Kalaw saja itu dibalik, iman adalah hal yang nomor satu dan agama pada baris kedua, tentu sikap fanatik beragama dapat diminimalisir. Seiring itu kekerasan berbasis agama tentu tidak akan ditemukan lagi.

Sekarang saya mencoba membongkar memori, mencoba mencari sebuah alternatif untuk misi keragaman beragama. Saya teringat dengan kajian singkat Buya Ma’arif dalam sebuah konferensi agama-agama beberapa bulan lalu.

Menurut Buya, Agama adalah sumber moral, petunjuk bagi manusia. Dalam level ini hampir semua agama bisa bersama-sama. Dalam filsafat Bung Hatta dikatakan sebagai gincu dan garam.

Berangkat dari pemikiran Buya di atas, ada dua hal singkat yang ingin saya sampaikan:
Pertama, bahwa sebenarnya agama itu dilahirkan dari rahim dialog. Dialog batin manusiawi yang terus berjalan. Dan agama lahir dari dialog. Dan dialog adalah ibu dalam kontek ini. Sifat ini harus selalu dikembangkan, dan akan lebih baik jika dilakukan dialog beragama.
Kedua, ketika kita memikirkan sifat keilahian dari agama-agama tidak ditentukan dari asal-usul agamanya, tapi lebih ditentukan dari kualitas praksis sehari-hari. Dengan demikian bisa ambil kesimpulan bahwa menjadi manusia beragama yang mempunyai perhatian pada kemanusiaan itu adalah manusia yang mempunyai keilahian beragama, dan berkomitmen dalam hal itu.
Oleh karena itu agama bisa menjadi sumber keadilan atau sember bencana tergantung bagaimana pemahaman manusia menafsirkannya.

Habis nyuci, kamar kos Griya Apem.

Selasa, 08 November 2011

Sex dan Gender

Fungsi reproduksi perempuan kerap membuahkan cara pandang bahwa ranah domestik adalah wilayah yang pas bagi perempuan. Ditambah lagi anggapan bahwa kekuatan fisik perempuan tidak sekuat laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk yang lemah. Anggapan ini mempunyai implementasi di dalam kehidupan sosial budaya yang telah melahirkan pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Pembedaan dalam pembagian tugas dan peran tersebut tercermin dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia bahkan masyarakat diberbagai belahan dunia. Masyarakat Amerika  misalnya, memandang bahwa laki-laki hanya pantas mengurus urusan publik semata, karena itu, laki-laki (suami) jarang sekali mengurus urusan domestik rumah tangganya termasuk mengurus anak. Sedangkan perempuan dianggap hanya mampu dan pantas mengusrus urusan rumah tangga, seperti mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah.
Laki-laki juga dicerminkan sebagai makhluk yang super, kuat dan penuh semngat. Sementara perempuan diasumsikan sebagai makhluk yang lemah, emosional dan suka menangis ketika tidak bahagia, karena itu ia membutuhkan seorang laki-laki (suami) untuk mendampingi, melindungi dan memberi support.
Maka muncul pertanyaan, apakah pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan serta pelebelan dan stereotype semacam ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin laki-laki yang kemudian disebut dengan seks ataukah hasil ciptaan manusia dan konstruksi sosial masyarakat yang kemudian disebut dengan gender?

Perbedaan seks dan gender

Jenis kelamin
Gender
Jenis kelamin bersifat alamiah
Gender bersifat sosial budaya dan merupakan buatan manusia
Jenis kelamin bersifat biologis. Ia merujuk pada perbedaaan yang nyata dari alat kelamin dan perbedaan terkait dalam fungsi kelahiran
Gender bersifat sosial budaya dan merujuk kepada tanggungjawab, peran, pola prilaku, kualitas-kualitas dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminin
Jenis kelamin bersifat tetap, ia akan sama dimana saja.
Gender bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari setu keluarga ke keluarga lainnya.
Jenis kelamin bersifat alamiah
Gender dapat dirubah

Identitas  dan peranan Gender
 Identitas gender merupakan situasi psikologis dalam melihat diri seseorang sebagai anak perempuan atau anak laki-laki dan kemudian menjadi seorang wanita atau laki-laki dewasa. Identitas gender seseorang anak dapat dikenali sejak lahir (jika anak itu mempunyai penis maka ia dikonsepsikan sebagai anak laki-laki, dan jika mempunyai vagina maka ia dikonsepsikan sebagai anak perempuan). Identas gender seseorang juga merupakan hasil refleksi dari konsep masyarakat tentang maskulinitas dan femininitas. Identitas gender seseorang biasanya dibentuk pada usia 3 tahunan.
Sementara itu,  peran gender merujuk pada karakteristik dan prilaku yang diterima secara sosial yang secara tipikal dihubungkan degan identitas gender seseorang. Misalanya perempuan dikonsepsikan sebagai manusia yang lebih emosional, memiliki ketergantungan, lebih memilih keluarga [family-oriented]. Sedangkan laki-laki dikonsepsikan sebagai manusia yang lebih tidak emosional, lebih mandiri, dan lebih memilih karir [carer-oriented], tetapi stereotype dan  fungsi gender semacam ini bisa mengalami perubahan.