Minggu, 20 November 2011

Masihkah membela agama?



Dalam menjalani realitas keragaman dalam beragama, sudah tidak seharusnya pemahaman akan benar dan memenangkan kepentingan sendiri dikukuhkan. Gaya hidu yang eksklusif (tertutup) adalah akar permasalahan dalam setiap individu dalam agama apapun. Agama selalu saja di nomor satukan, sementara kadar iman tidak pernah diperhatikan. Kalaw saja itu dibalik, iman adalah hal yang nomor satu dan agama pada baris kedua, tentu sikap fanatik beragama dapat diminimalisir. Seiring itu kekerasan berbasis agama tentu tidak akan ditemukan lagi.

Sekarang saya mencoba membongkar memori, mencoba mencari sebuah alternatif untuk misi keragaman beragama. Saya teringat dengan kajian singkat Buya Ma’arif dalam sebuah konferensi agama-agama beberapa bulan lalu.

Menurut Buya, Agama adalah sumber moral, petunjuk bagi manusia. Dalam level ini hampir semua agama bisa bersama-sama. Dalam filsafat Bung Hatta dikatakan sebagai gincu dan garam.

Berangkat dari pemikiran Buya di atas, ada dua hal singkat yang ingin saya sampaikan:
Pertama, bahwa sebenarnya agama itu dilahirkan dari rahim dialog. Dialog batin manusiawi yang terus berjalan. Dan agama lahir dari dialog. Dan dialog adalah ibu dalam kontek ini. Sifat ini harus selalu dikembangkan, dan akan lebih baik jika dilakukan dialog beragama.
Kedua, ketika kita memikirkan sifat keilahian dari agama-agama tidak ditentukan dari asal-usul agamanya, tapi lebih ditentukan dari kualitas praksis sehari-hari. Dengan demikian bisa ambil kesimpulan bahwa menjadi manusia beragama yang mempunyai perhatian pada kemanusiaan itu adalah manusia yang mempunyai keilahian beragama, dan berkomitmen dalam hal itu.
Oleh karena itu agama bisa menjadi sumber keadilan atau sember bencana tergantung bagaimana pemahaman manusia menafsirkannya.

Habis nyuci, kamar kos Griya Apem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar