Dalam menjalani realitas
keragaman dalam beragama, sudah tidak seharusnya pemahaman akan benar dan
memenangkan kepentingan sendiri dikukuhkan. Gaya hidu yang eksklusif (tertutup)
adalah akar permasalahan dalam setiap individu dalam agama apapun. Agama selalu
saja di nomor satukan, sementara kadar iman tidak pernah diperhatikan. Kalaw
saja itu dibalik, iman adalah hal yang nomor satu dan agama pada baris kedua,
tentu sikap fanatik beragama dapat diminimalisir. Seiring itu kekerasan
berbasis agama tentu tidak akan ditemukan lagi.
Sekarang saya mencoba
membongkar memori, mencoba mencari sebuah alternatif untuk misi keragaman
beragama. Saya teringat dengan kajian singkat Buya Ma’arif dalam sebuah
konferensi agama-agama beberapa bulan lalu.
Menurut
Buya, Agama adalah sumber moral, petunjuk bagi manusia. Dalam level ini hampir
semua agama bisa bersama-sama. Dalam filsafat Bung Hatta dikatakan sebagai
gincu dan garam.
Berangkat
dari pemikiran Buya di atas, ada dua hal singkat yang ingin saya sampaikan:
Pertama,
bahwa sebenarnya agama itu dilahirkan dari rahim dialog. Dialog batin manusiawi
yang terus berjalan. Dan agama lahir dari dialog. Dan dialog adalah ibu dalam
kontek ini. Sifat ini harus selalu dikembangkan, dan akan lebih baik jika
dilakukan dialog beragama.
Kedua,
ketika kita memikirkan sifat keilahian dari agama-agama tidak ditentukan dari
asal-usul agamanya, tapi lebih ditentukan dari kualitas praksis sehari-hari.
Dengan demikian bisa ambil kesimpulan bahwa menjadi manusia beragama yang
mempunyai perhatian pada kemanusiaan itu adalah manusia yang mempunyai
keilahian beragama, dan berkomitmen dalam hal itu.
Oleh karena
itu agama bisa menjadi sumber keadilan atau sember bencana tergantung bagaimana
pemahaman manusia menafsirkannya.
Habis nyuci,
kamar kos Griya Apem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar