Rabu, 31 Juli 2013

Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak


Diterbitkan oleh Harian Padang Ekspress
Dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional
Senin, 22 Juli 2013
Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang.

Pengasuhan anak dalam keluarga menjadi syarat sebagai aksi kepedulian orang tua (ayah dan ibu) terhadap kehidupan anaknya. Ide ini seyogyanya akan menjadi moment penting dalam Peringatan Hari Anak Nasional yang bertepatan pada 23 Juli 2013. Sejalan dengan itu, tema “Indonesia yang Ramah dan Peduli Anak Dimulai Dari Pengasuhan Dalam Keluarga” dirasa relevan sebagai bentuk refleksi dan perhatian bagi tumbuh-kembang anak.

Upaya pembentukan karakter anak yang cerdas secara jasmani dan ruhani (Emotional and Spiritual Quotient) diyakini berawal dari pola asuh keluarga yang baik. Tujuannya yaitu untuk mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, cerdas dan berakhlak mulia. Tidak hanya ibu, kedua orang tua berperan besar dalam pembentukan karakter anak yang positif.

Berdasarkan konstruksi budaya yang diterima oleh masyarakat kebanyakan, bahwa selama ini pengasuhan lebih (baca: hanya) ditekankan kepada para ibu. Konstruksi ini mengasumsikan bahwa ibu adalah figur tunggal dalam melahirkan, merawat hingga membesarkan anak. Asumsi ini semakin dipertajam oleh informasi yang disampaikan sejumlah media melalui tayangan-tayangan dominant membahas tentang ke-ibu-an (motherhood). Majalah, tabloid, iklan dan sejenisnya merupakan ruang yang disediakan khusus bagi para ibu untuk fokus menjalankan ke-ibu-annya. Dan karenanya, para ibu menjadi lebih skillfull atau lebih terampil jika berurusan dengan anak dan urusan-urusan keluarga lainnya.

Sementara ayah, dikonstruksikan pada tempat yang familiar sebagai sosok pencari nafkah. Ketiadaan ruang pembahasan tentang tema-tema ke-ayah-an (fatherhood) sebagaimana ruang ke-ibu-an di atas, kerap kali menjadi problem bagi beberapa figur ayah saat menghadapi anak, membantu merawat bayi, penyediaan perlengkapan anak/bayi dan sebagainya. Media sepertinya lebih senang berbicara tentang bisnis, olahraga, otomotif dan ragam lain tinimbang membahas persoalan ke-ayah-an. Belajar secara otodidak dan natural, adalah pilihan bagi banyak ayah khususnya bagi ayah saat memiliki anak pertama. Kondisi ini tentu jauh berbeda dengan ruang ibu yang selalu dimanjakan oleh beragam tips dan layanan yang begitu mudah dijumpai di sejumlah media cetak, elektronik maupun online. Lebih lagi, kacamata masyarakat secara kultural mengamini itu.

Padahal peran ayah tidak kalah penting. Anak membutuhkan keteladanan dalam proses pertumbuhannya dan hal itu harus didapat dari kedua orang tua. Karena itu, konsep parenting dalam mengasuh dan mendidik anak harus menjadi sasaran utama dalam kampanye hari anak tahun ini.

Peran ayah dalam pengasuhan tentu tak kalah besarnya dengan peran ibu. Ketidak terlibatan ayah dalam pengasuhan anak, akan menghadirkan pola baru yang disebut kompensasi maskulin.  Pola prilaku ini berupa sifat maskulin yang berlebihan, namun pada saat tertentu akan berubah  menjadi feminine dalam arti sikap ketergantungan. Terjadi kombinasi sifat antara sifat kasar, tegar (maskulin) dan sifat ketergantungan (feminin). Kuat atau tidaknya sifat ini tergantung pada usia berapa anak tidak lagi mendapatkan pengasuhan dari figur ayah.

Sebagai gantinya, anak akan berusaha mencari figur lain. Figur itu bisa ia kloning dari guru di sekolah, tetangga, teman bahkan tayangan-tayangan media (film) yang tidak edukatif. Alhasil, anak mengenali dan mempelajari apa yang ia saksikan sebagai pengganti figur ayahnya yang hilang. Dalam proses perkembangannya anak akan terpengaruh, meniru bahkan menerima pola yang ia saksikan sebagai aturan hidup yang lumrah bagi kehidupannya kelak.

Idealnya, ibu dan ayah sama-sama berperan dan memaksimalkan waktu bersama anak. Ayah dan ibu melakukan kegiatan yang berkualitas dengan metode yang dapat menghadirkan nilai-nilai emosional. Rutinitas berupa kontak orang tua dengan anak bukanlah standar ukuran dan jaminan. Yang menjadi inti sesungguhnya adalah sejauh mana kualitas dan intensitas pertemuan tersebut diterima oleh sensor anak.

Beberapa kehidupan keluarga modern, dimana suami dan istri sama-sama bekerja, berkurangnya intensitas komunikasi dalam perkembangan anak, tidak selalu membawa pengaruh berarti bagi perkembangan anak. Namun dinamika yang dibangun apik tersebut sangat jarang sekali ditemukan. Di sisi lain, role seperti ini lebih banyak menimbulkan permasalahan baru bagi anak.

Temuan kasus yang didapati oleh Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang mengungkapkan, bahwa disharmonisasi yang dirasakan anak dalam keluarga merupakan salah satu pemicu terjadinya praktek kekerasan. Beberapa anak yang dekat dengan lingkungan/praktek kekerasan, baik itu posisinya sebagai korban atau anak berhadapan dengan hukum (ABH) adalah mereka yang tidak menerima pengasuhan secara optimal. Konflik keluarga berkepanjangan, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan problem finansial kerap merubah prilaku anak berujung negative.

Menilik ajaran yang diteladani Nabi Muhammad SAW, dalam kapasitasnya sebagai pendidik (ayah), telah menggoreskan nilai-nilai pendidikan yang berparadigma profetik kepada umatnya. Didapati pada masa lalu merupakan hal yang tabu jika seorang ayah memiliki anak perempuan, apalagi kemudian menimang anaknya di depan umum untuk menunjukkan kasih sayangnya. Namun Nabi melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan tradisi (‘urf) yang berlaku dimasyarakat Arab, beliau menimang cucunya di depan umum. Hal ini dimaksudkan bahwa, sesungguhnya keterlibatan dalam hal pengasuhan anak bagi seorang ayah adalah sama utamanya dengan kebaikan lainnya. Bahkan Nabi memberi peringatan bagi sahabat yang tidak pernah membelai anaknya dengan ungkapan bahwa; sungguh orang yang demikian telah meninggalkan rahmat dan kebaikan di hatinya.

Tidak diragukan lagi, bahwa peran ayah sangat penting dalam perkembangan anak, baik secara lansung maupun tidak lansung. Secara lansung seorang ayah dapat melakukan kontak fisik atau indra dengan cara membelai, berbicara, memandikan atau sekedar bercanda dengan anak. Semua itu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak dikemudian hari. Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan aktivitas anak. Dengan menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungan dan situasi di luar rumah. Ia memberi dorongan, membiarkan anak mengenal lingkungannya lebih dekat, berdiskusi dan sebagainya.

Lebih dari itu, peran ayah juga memberikan pengaruh secara tidak lansung. Hal ini dapat dilihat melalui interaksi antara seorang ayah (suami) kepada ibu (istri) anaknya. Dengan mencintai istrinya, ayah secara tidak lansung mempengaruhi anaknya. Istri yang merasa disayangi suaminya dengan sendirinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap anak, begitu juga sebaliknya. Aktivitas dari hubungan timbal balik ini memunculkan suatu proses yang disebut sosialisasi antara ayah dengan anak. (Save M. Dagun: 2002)

Sama halnya dengan ibu, ayah juga membutuhkan panduan bagaimana menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya. Kesamaan dalam pembagian peran pengasuhan secara implisit harus diterjemahkan sebagai sesuatu yang sakral. Ketiadaan motivasi bagi ayah tentang bagaimana memulai berelasi dengan anak, menyebabkan banyak laki-laki yang beranggapan bahwa tugas pengasuhan anak bukan menjadi bagian dari konsep untuk menjadi ayah.

Melalui moment hari anak nasional, konsep parenting tentang mendidik, mengasuh, dan membina anak dapat direfleksikan sebagai tugas bersama bagi orang tua untuk mendorong kualitas kehidupan anak kelak. Atensi yang difitrahkan kepada manusia tentu bukan hanya pada sosok perempuan sebagai ibu, tetapi juga laki-laki sebagai ayah. (..)

Hermeneutika Amina Wadud

Dalam metode hermenutika setidaknya yang menjadi poin penting ialah (1). Konteks penulisan teks (jika dikatkan dengan al-Qur’an, dalam konteks apa ayat itu wahyukan), (2). Struktur tata bahasa teks (ayat), yaitu cara teks mengatakan yang dikatakannya, (3). Teks secara keseluruhan, atau pandangan dunianya (world view). Terkait dengan itu, sebagaimana yang telah diungkap sebelumnya, dalam penggunaan metode Wadud sendiri mengadopsi metode Fazlur Rahman, yang disebut dengan gerakan ganda (double movement), dimana bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah-dengan keadaan yang umum dan yang khusus menyertainya-menggunakan ungkapan yang relatif mengenai situasi yang bersangkutan. Karenanya pesan al-Qur’an tidak bisa dibatasi (direduksi) oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja. Dengan demikian tantangan yang dihadapi oleh kaum muslim pada periode Pasca Rasulullah adalah memahami implikasi dari pernyataan al-Qur’an sewaktu diwahyukan, untuk menentukan makna utama yang dikandungnya. Selain metode gerakan gandanya Rahman, Wadud juga menggunakan metode tafsir Qur’an bi Qur’an untuk menganalisa semua ayat yang memberi petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan secara terpisah ataupun disebutkan bersamaan dengan laki-laki.

Dengan berlandaskan argumen tersebut Wadud yakin bahwa dalam usaha memelihara relevansinya dengan kehidupan manusia, al-Qur’an harus terus menerus ditafsirkan ulang. Wadud mencoba mengelaborasi model hermenutikanya sehingga setiap ayat dianalisis dengan lima elemen, yaitu; (1) konteks (bahasa dan kebudayaan), (2) konteks dalam al-Qur’an (berupa pembicaraan topik yang mirip dalam al-Qur’an), (3) bahasa dan struktur sintaksis yang mirip dalam al-Qur’an, (4) prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an yang lebih tinggi, (5) pandangan dunia al-Qur’an. Dari seperangkat analisis diatas Wadud ingin bisa menangkap prinsip-prinsip fundamental yang tak berubah dari teks al-Qur’an itu sendiri, kemudian melakukan refleksi untuk melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan tuntutan masyarakat zamannya.

Pada perjalanan penelitiannya, sesuai dengan unsur model hermeneutikanya,  Wadud melakukan telaah lebih jauh pada aspek analisis tekstual dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan cara ini Wadud menitik beratkan pemahaman pada susunan bahasa al-Qur’an yang bemakna ganda. Tujuan dari metode ini ialah untuk menggambarkan maksud teks dengan menganalisa ”prior texts-teks sebelumnya(latar belakang, presepsi, dan keadaan) individu sipenafsir. Hal ini penting untuk tidak diabaikan, karena tanpa adanya pra-understanding teks tersebut justru bisa dibilang mati atau bisu.

Selanjutnya Wadud menempatkan bentuk maskulin dan feminim dalam bahasa sebagai bagian penting dari analisisnya. Bahasa yang memiliki istilah gender seperti bahasa Arab yang melahirkan prior texts tertentu bagi pemakainya, juga bahasa Arab tidak memiliki bentuk netral, sehingga segala sesuatu diklasifikasikan menjadi laki-laki dan perempuan. Ini berarti secara inheren bahasa Arab mengandung bias gender, baik itu dalam kosakata maupun dalam strukturnya.

Selanjutnya untuk memahami sebuah teks, situasi dan kondisi ketika teks itu diwahyukan menjadi mutlak untuk dilakukan. Dengan menelaah pada kondisi sosiologis-historis ketika sebuah ayat diwahyukan, arah dan pergerakan ayat-ayat al-Qur’an akan menjadi jelas. Selama ini masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior. Bias gender dalam kebudayaan ini berpengaruh besar terhadap kedudukan perempuan dalam masyarakat maupun penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an mengenai perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam dipandang sebagai suatu yang bersifat hakiki. Perbedaan hakiki ini kemudian dianggap termanifestasi dalam kapasitas dan fungsi sosial.

Semangat kesetaraan menurut Wadud, tercermin pada paradigma tauhid yaitu martabat laki-laki dan perempuan adalah sama dimata Tuhan. Tauhid membuka prinsip kesetaraan yang harmonis pada gender, tidak ada kepentingan politik di dalamnya. semua berkesempatan menjadi hamba yang menjalankan perintah-Nya, hambanya yang bertakwa. Takwa memiliki pesan moral dan tidak ditentukan oleh gender, tidak menggunakan ukuran yang bersifat duniawi, kebangsaan, kekayaan, laki-laki dan perempuan bisa menjadi hamba yang bertakwa. Dalam prakteknya term ini menjadi kacau pada relasi laki-laki dan perempuan, laki-laki lebih tinggi derajatnya, posisi perempuan selalu dirugikan, kepentingan selalu ada di balik interpretasi. Konsep relasi fungsional Wadud dikaji melalui dua istilah yang sering digunakan al-Qur’an dalam menegaskan konsep tersebut, yaitu da>rajah dan fadd}ala.

Dalam da>rajah (derajat/tingkat) Wadud menjelaskan bahwa ada 3 jenis derajat antar manusia yang didapanya selama didunia, yaitu pertama, yang diperoleh dengan amal perbuatan, menurut Wadud, al-Qur’an membedakan derajat manusia berdasarkan amal, tetapi tidak menentukan nilai aktual dari amal tersebut. Al-Qur’an memberi ketentuan bahwa semau amal yang dilakukan karena takwa bernilai lebih dan bahwa setiap orang berhak atas jerih payahnya, perbedaan jenis kelamin tidak menentukan. Kedua, da>rajah pemberian Tuhan, seperti dalam al-Qur’an disebutkan ada perbedaan yang didasakan pada pengetahuan, sosial, ekonomi. Jadi lebih bersifa fungsional dan bisa dilihat dan dihargai masyarakat. Ketiga, da>rajah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Kemudian istilah fadd}ala, Wadud mengartikan sebagai ”melebihkan” dengan fi’ilnya tafdhil bermakna pilihan. Konsep fadd}ala digunakan Wadud untuk memperjelas pandangan relasi fungsional. Fadd}ala seringkali digunakan sebagai kata penghubung da>rajah. Hanya saja sifat dari fadd}ala adalah pemberian prerogatif Allah, hanya bisa diperoleh manusia dengan melakukan amal saleh. Kelebihan (fadd}ala) yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya tidak berarti Allah menetapkan perbedaan diantara mereka, karena menurut Wadud kelebihan yang ditetapkan oleh al-Qur’an hanya bersifat relatif. Dalam menjelaskan kerelatifan ini Wadud membidik pada surat an-Nisa [4] ;34.

Terkait dengan itu, semuanya bermuara pada semangat gender Wadud, yang berprinsip pada teori etika, moral dan keadilan. Peran masing-masing individu dalam masyarakat mengindikasikan kelebihan masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Prinsip inilah yang diterangkan oleh al-Qur’an sebagai konsekuensi dari potensi kebebasan yang dimiliki manusia dalam mengatur kehidupan mereka (khalifah). Khalifah tidak identik dengan kekuasaan laki-laki atas perempuan tetapi khalifah ini lebih diartikan sebagai wali, penganti dalam artian sosok seorang khalifah harus memiliki sifat dan karakter seperti yang di wakilinya, yaitu Tuhan. Khalifah membawa amanah yang mulia, sebagai agen moral, agen perubahan.

Dari itu semua menurut Wadud ”suara perempuan” yang berdasarkan pada pengalaman dan visinya dianggap perlu dalam proses penafsiran, maka dengan demikian pemahaman yang holistik akan terwujud. Lebih jauh bagaimana memposisikan “suara perempuan” dan “suara laki-laki” dalam al-Qur’an bagi Wadud hal ini berimplikasi pada sikapnya dalam memahami konsep relasi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Oleh karena itu ia perlu Wadud perlu menyuarakan bahwa “suara perempuan”-Tuhan dalam al-Qur’an harus ditempatkan setara dengan “suara laki-laki”. Dengan demikian ajaran yang memiliki pesan moral universal yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan, hal itu pada gilirannya akan berimplikasi pada sikap seorang dalam memandang kesetaraan keduanya. Dengan kata lain untuk menghilangkan bias gender dalam penafsiran

Petunjuk al-Qur’an tentang kesetaraan inilah yang ingin digali dan ditunjukkan oleh para feminis muslim dari penafsiran yang mereka hasilkan. Karena petunjuk al-Qur’an tentang kesetaraan itu seringkali “tersembunyi”, maka para feminis muslim berupaya untuk mengungkapkannya dengan mengintrodusir hermenutika feminis dalam memahami berbagai ayat al-Qur’an terkait dengan maslah gender.

Aplikasi Penafsiran Hermeneutika Amina Wadud
Berdasarkan uraian diatas tentang hermenutikanya, penulis menampilkan salah satu contoh penerapan model hermenutik yang ditaarkan oleh Amina Wadud, yaitu pada kasus Waris.

Dalam penafsiran-penafsiran klasik, pada umumnya memandang bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidaklah setara. Hal ini terbukti pada formulasi pembagian hak waris, yaitu satu berbanding dua; 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Sebagai contoh Fakruddin ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan terlebih dahulu bahwa adanya kebiasaan orang jahiliyah yang tidak memberikan warisan kepada anak-anak dan perempuan, dia juga menjelaskan hikmah kenapa laki-laki mendapat duakalidari bagian perempuan, diantaranya ialah pertama, Karena perempuan lebih lemah dibanding laki-laki, sehingga mereka lebih sedikit keluar untuk berperang dan berjuang. Oleh karenanya kebutuhan laki-laki lebih besar untuk mencukupi anak dan istrinya, kedua, Laki-laki lebih sempurna keadaanya daripada perempuan, baik dari aspek moral, intelektual, maupun agama, ketiga, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya ia mampu mengelola harta untuk hal-hal yang bermanfaat, dll.   

Formulasi yang demikian diritik oleh Amina Wadud, menurutnya, penafsiran lama yang menganggap bahwa 1 : 2 merupakan satu-satunya rumusan matetamtis yang tidak benar, sebab ketika ayat-ayat tentang waris diteliti satu persatu, ternyata rumusan 1 : 2 hanya merupakan salah satu ragam dari model pembagian harta waris laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya separuh dari keseluruhan harta warisan. Ini membuktikan bahwa pembagian 1 : 2 bukanlah suatu yang mutlak.   

Paling tidak model-model penafsiran seperti inilah yang membuat Amina Wadud berkreasi dengan pendekatan hermenutiknya. Menurut Wadud sendiri bahwa adanya keragaman dalam pembagian harta warisan dalam Islam sebenarnya menekankan pada 2 hal, yaitu; (1), Wanita, termasuk saudara jauh, hal ini tidak serta merta bisa dicabut hak warisnya. Hal ini merupakan kebiasaan pra-Islam yang memberikan harta, walaupun ia kerabat jauh. (2), Semua pembagian warisan antara kerabat yang ada haruslah bersifat adil. Keadilan disini bukanlah ditentukan oleh jumlah nominalnya, akan tetapi pada pada manfaat harta warisan bagi orang yang ditinggalkan. Dengan parameternya ialah naf’a (manfaat) maka bagian laki-laki tidak harus lebih besar dari bagian yang diterima oleh perempuan (apalagi dua kali).

Amina Wadud kemudian memberikan semacam pertimbangan ketika seseorang hendak melakukan pembagian warisan, yaitu; (1) Pembagaian warisan itu itu untuk keluarga dan kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup, (2) Sejumlah kekayaan bisa dibagikan semua, (3) Pembagian kekayaan juga harus memperhitungkan keadaan orang-orang yang ditinggalkan, manfaatnya bagi yang ditinggalkan dan manfaat dari harat yang ditinggalkan tersebut.   

Yang jelas bagi Wadud yang prinsip dasar dalam pembagian harta waris tersebut ialah pada manfaat dan keadilan bagi yang ditinggalkan. Oleh karenanya ayat-ayat tentang teknis pembagian warisan merupakan ayat yang lebih bersifat sosiologis dan hanya merupakan salah satu alternasi saja, bukan suatu keharusan yang harus diikuti. Sebagai konsekuensinya ayat-ayat tersebut mestinya dipahami semangat (ruh) atau ideal moral, yakni semangat keadilan yang ada dibalik teks yang legal formal tersebut. Semangat keadilan itulah yang muhkamat atau qathi’, sedangkan teknis operasionalnya dapat dipandang mashi zanni, seiring dengan akulturasi dan kebutuhan zaman.

Implikasi Keilmuan dari Pemikiran Amina Wadud
Gagasan Wadud sebagai feminis ditujukan untuk membangun identitas diri perempuan sebagai manusia, yang selama ini dirasa telah “dirampas” oleh bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang bias terhadap kelaki-lakian. Pandangan mengenai identitas diri perempuan dirasakan Wadud sebagai hal yang sangat penting karena hal ini secara simbolik merefleksikan kekuatan identitas Islam dalam konteks muslim yang beragam.

Kontribusi terpenting Wadud dalam kaitannya dengan wacana tafsir al-Qur’an adalah upayanya untuk memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis khususnya antara penafsiran al-Qur’an dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana). ”Apa yang dikatakan al-Qur’an? bagaimana al-Qur’an mengatakan? apa yang dikatakan terhadap al-Qur’an? dan siapa yang mengatakannya? Terakhir apa yang sebenarnya dikehendaki (sisi fundamental) dari rangkaian teks tersebut (al-Qur’an)?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membawanya kepada kritik terhadap penafsiran tradisional mengenai teks-teks tentang perempuan dalam al-Qur’an yang selama ini terkesan skirptual-parsial dan ironinya memihak pada laki-laki sebagai ”agency”. Berangkat dari kritik ini Wadud kemudian berupaya untuk mengajukan gagasan pemikiran, kerangka kerja, metodologi, dan tentu saja penafsirannya terhadap al-Qur’an yang lebih egaliter menurutnya.

Penafsiran al-Qur’an model Amina Wadud setidaknya merupakan upaya keduanya untuk menolak wacana Islam-patriakhi yang dikemukakan oleh umat Islam yang cendrung bervisi tradisional-konservatif. Ini terlihat melalui penafsiran-penafsiran secara literal-tekstual terhadap ayat-ayat yang menempatkan posisi perempuan termarginalkan, dan menempatkan posisi laki-laki lebih dari perempuan. Melalui hal itu Wadud berupaya mengkosntruk metode, pendekatan dan praktek penafsiran yang lebih sesuai dengan ”nalar” feminis, yakni kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian tafsir semacam ini (berkarakter feminis) menjadi semacam ”gerakan” dari keduanya dalam memperkokoh wacana feminis Islam sebagaimana juga yang dilakukan oleh feminis muslim lain seperti Qasim Amin, Rifaat Hasan, Asghar Ali Engineer, dll. Sikap semacam ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari diktum yang menyatakan bahwa al-Qur’an s}alih likulli> zama>n wa maka>n, bahwa al-Qur’an tetap fleksibel tanpa kehilangan prinsip dasarnya.

Salah Hal yang perlu dipertimbangkan ulang dari tawaran hermenutik tafsir Wadud ialah pada model yang digunakan oleh Wadud dalam memahami al-Qur’an, yang  cenderung eksklusif. Wadud bukan saja meyakini penafsiran bercorak patriakhis disebabkan karena laki-laki yang melakukannya, namun dengan menggunakan pengalaman perempuan (prior texts), dan terkesan ”memaksa” perempuan untuk menjadi penafsir sendiri atas al-Qur’an yang bisa menghindarkan penafsiran kedalam ”bias gender” tersendiri. Padahal tepat-tidaknya penafsiran bukan disebabkan oleh jenis kelamin, melainkan perspektif yang meliputi orang yang menafsirkan. Perspektif yang patriakhis bisa dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan. Selain itu tingkat kapasitas intelektual dalam memahami metode dan seprangakt penafsiran juga perlu menjadi hal yang dipertimbangkan.

Selain itu jikalau seluruh ayat-ayat perempuan mesti ditafsirkan dengan ”gaya perempuan” maka secara tidak langsung konsep egaliter perlu dilihat lagi, bisa saja disatu waktu laki-laki termarginalkan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh laki-laki dalam proses penafsiran tidak maksimal dan bahkan terberdayakan secara utuh. Bukankah pengalaman setiap manusia itu berbeda-beda, dan tawaran dari penulis alangkah bijaknya dalam proses penafsiran tersebut laki-laki dan perempuan menjadi partner, tanpa membedakan diferensisasi antara kodrat dan jenis kelamin, dan saling melengkapi pengetahuan dan berbagi pengalaman, implikasinya dapat meminimalisir bahkan jauh dari hasil tafsiran yang terkesan bias gender (..)

Sabtu, 29 Juni 2013

Khitan Perempuan Menurut Islam, Medis, dan HAM

Khitan anak perempuan ialah mengambil sebagian kecil dari kulit atau meng hilangkan selaput (jaldah/colum/practinur) yang menutupi klitoris, bagian atas tidak boleh berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dharar. Oleh sebab itu, proses mengkhitan anak perempuan diserahkan kepada dokter atau yang lainnya yang sudah mengikuti pelatihan untuk khitan tersebut.

Pendapat para imam empat mazhab bahwa hukum khitan perempuan berkisar antara wajib, sunah, dan makrumah.

Makrumah adalah sunah. Sunah ditafsirkan sebagian ulama sebagai `sunnah al Fithrah' bukan lawan dari wajib, sunah dan mubah. Oleh sebab itu, berdosa bila meninggalkannya. Adapun yang menafsirkan sebagai sunah (salah satu Ahkam al Khamsah) boleh ditinggalkan dan dianjurkan untuk mengerjakannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan, sebagai berikut:

Pertama, status hukum khitan perempuan.
1. Khitan, baik bagi laki-laki mau pun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
2. Khitan terhadap perempuan ada lah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.

Kedua, hukum pelarangan khitan terhadap perempuan Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah, karena khitan baik bagi laki-laki, maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.

Ketiga, Batas, atau cara khitan perempuan.
1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/pracputium) yang menutupi klitoris.
2. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dharar.

Keempat, rekomendasi.
1. Meminta kepada pemerintah cq Kementerian Kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan/peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan.
2. Menganjurkan kepada pemerintah cq Kementerian Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini.

Sehubungan dengan masalah ini, telah ada perumusan kesehatan RI No 1636/MENKES/PER/XI/2010 yang memberikan perlindungan kepada perempuan tentang pelaksanaan khitan/sunat perempuan harus dilaku kan sesuai dengan ketentuan agama, standar pelayanan, dan profesi untuk menjamin keamanan dan keselama tan perempuan yang disunat/dikhitan.

Prof Dr Muhammad Hasan al Hafny dan Prof Dr Shadiq Muhammad Shadiq, ahli penyakit kulit pada Fakultas Kedokteran Al Azhar Mesir, mengatakan, kalau mengkaji dengan kajian ilmiah terhadap realitas tentang adanya khitan, kita temukan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan harus dimulai dengan dorongan nafsu seksual atau keinginan, khususnya pada perempuan. Dalam tahapan itu penting sekali dalam menyiapkan kondisi atau rangsangan kepada perempuan. Hendaklah memban tunya untuk memenuhi kewajiban yang positif bersama suaminya. Hal itu sesuai dengan Hadis Rasulullah SAW kepada Ummu `Athiyah tukang khitan perempuan di Madinah, “Lakukan khitan dan jangan berlebihan, karena kalau tidak berlebihan (hanya memotong sedikit), dapat menjadikan wajah ceria dan membahagiakan suami (HR al Hakim, al Thabarany, al Baihaqy, dan Abi Nu'aim).

Berkenaan dengan khitan perempuan yang telah disebutkan, Dr Ahmad al Majdub, sosiolog dari al Markaz al Qaumy pada Buhuts al Qanuniyah wal Jinaiyah Mesir, mengatakan ia menentang keras pelarangan khitan perempuan. Sesungguhnya pada khitan itu banyak kegunaan dan manfaatnya dan tidak mendatangkan dharar (selama mengikuti petunjuk Nabi SAW). Khitan melindungi perempuan dari penyimpangan seks, khususnya pada masa sekarang. Dakwaan orang-orang yang menentang khitan adalah dakwaan yang batil, dengan tujuan untuk menyerang Islam secara keseluruhan.

Dr Ali Akbar berpendapat wanita yang tidak berkhitan dapat menimbulkan penyakit bagi suaminya bila bersetubuh karena klitorisnya mengeluarkan smegma yang berbau busuk dan dapat menjadi perangsang timbulnya kanker pada zakar lelaki dan kanker pada leher rahim wanita. Di dalamnya hidup hama dan virus yang menyebabkan kanker itu.

Perhimpunan Etika Kedokteran Mesir menegaskan, dari segi medis, tidak ada satu pun bahaya khitan bagi perempuan jika khitannya itu dilaksanakan tenaga medis yang ahli.

Manfaat khitan dari tinjauan syariah ialah mengikuti syariat Allah dan sunah Nabi Muhammad SAW. Thaharah (suci), kebersihan yang dapat mencegah infeksi saluran kencing, menstabilkan syahwat, menetapkan pengganti yang sesuai untuk memerangi adat kebiasaan yang tidak sesuai syariah. Yang mendatangkan dharar, meninggikan syiar ibadah, bukan adat istiadat, memelihara aspek sosial, dan kejiwaan yang timbul akibat meninggalkan khitan.

Melarang khitan perempuan di anggap melanggar HAM perempuan karena menghalanginya untuk mengikuti ajaran syariat Islam dan menjaga kesucian serta kebersihan dalam memelihara kesehatannya.

Pemaksaan pemaknaan khitan perempuan sebagai bentuk pelanggaran merupakan tindakan inkonstitusional, provokatif, dan justru ber tentangan dengan ketentuan UU No 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

UU itu secara eksplisit menegaskan pelaksanaan ketentuan dalam konvensi itu wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan norma-norma keagamaan.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan UUD 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan konvensi itu sejalan dengan tata kehidupan yang dikehendaki bangsa Indonesia. Salah satu norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia ialah khitan perempuan.

Dari situ, dapat dipahami bahwa segala upaya pelarangan terhadap hal yang diyakini sebagai norma agama adalah inkonstitusional. Melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling asasi, yakni hak beragama dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya.

Huzaemah T Yanggo
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
MEDIA INDONESIA, 02 Februari 2013

Darurat Perlindungan Anak

Merinding membaca laporan kekerasan terhadap anak yang dirilis Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA). Selama 2012, Komnas PA menerima sebanyak 2.637 laporan kekerasan terhadap anak-anak. Dari jumlah tersebut, 62 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual, sisanya merupakan kekerasan fisik.

Kondisi pilu anak Indonesia pada 2012 meningkat dari laporan tahun sebelumnya. Pada 2011, Komnas PA menerima 2.509 laporan kekerasan terhadap anak. Komposisinya masih sama, kekerasan seksual lebih mendominasi. Sekitar 52 persen merupakan kekerasan seksual dan pada 2012 naik 10 persen. Tentu, data di atas merupakan fenomena gunung es.

Kondisi memilukan anak-anak di atas sejatinya sangat ironis karena kita memiliki instrumen perlindungan anak, baik berupa amanat konstitusi, peraturan perundangan, maupun lembaga negara. Negara, melalui amanat Pasal 34 UUD 1945, dengan tegas menyatakan, fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara. 

Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak tahun 1989 dengan Kepres 36 tahun 1990, sehingga Konvensi PBB menjadi hukum Indonesia dan mengikat bagi seluruh warga negara In donesia. Pemerintah melalui DPR juga melahirkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga mengatur hak dan kewajiban anak serta pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga negara independen.

Kondisi Lemah

Jika semua instrumen telah kita miliki, lalu di mana letak masalahnya sehingga kasus kekerasan seksual pada anak marak terjadi. Secara sederhana, kita bisa katakan bahwa instrumen perlindungan anak tidak berjalan atau bekerja efektif. Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak merupakan bentuk kegagalan pemerintah melakukan perlindungan terhadap anak. 

Terakhir, peristiwa memilukan hati menimpa bocah berinisial RI di Jakarta. RI diindikasikasikan mengalami kekerasan seksual hingga meninggal. Maka, sudah seharusnya pemerintah menjadikan momentum ini sebagai evaluasi dan bekerja keras memperbaiki upaya perlindungan anak dari kekerasan seksual.

Sejatinya, pemerintah telah mencanangkan program nasional kota layak anak, tapi pada praktiknya pengarusutamaan program-program semacam ini sering dikalahkan oleh kepentingan lain, seperti komersialisasi. Banyak kota yang tidak ramah anak. Ruang publik yang seharusnya memiliki fasilitas tumbuh kembang anak justru terabaikan. 

Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan hal yang sangat menggembirakan karena dapat mengisi kekosongan aturan yang terdapat dalam undang-undang lainnya. Kasus kekerasan seksual terhadap anak erat kaitannya dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku kekerasan seksual cenderung mengacu pada orang-orang yang berada dekat dengan korban dalam kehidupan sehari-harinya.

Instrumen hukum yang menjerat pelaku kekerasan seksual pada anak juga dinilai terlalu lemah, sehingga tidak memberikan efek jera yang efektif.
Dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya dapat dihukum maksimal 15 tahun penjara (Pasal 82). Hukuman maksimal ini pun belum tentu diberlakukan bagi si pelaku karena nyatanya vonis hakim selalu di bawah tuntutan maksimal. 

Dari sisi korban, sampai saat ini bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh aparat penegak hukum masih terbatas sifatnya karena lebih terpaku pada ada-tidaknya aturan yang mengharuskan mereka untuk melakukan hal itu. Padahal, kedudukan seorang anak yang menjadi korban sekaligus menjadi saksi dalam kasus kekerasan seksual sangat penting.

Praktiknya, penegak hukum kedapatan mengabaikan hak-hak anak sebagai saksi, yaitu dalam hal penerapan Pasal 171 KUHAP. Dalam ketentuan tersebut, masalah mendasar yang harus diutamakan dalam pemeriksaan saksi maupun korban kekerasan seksual yang masih anak-anak adalah membantu mengatasi penderitaan fisik maupun psikis korban.

Revitalisasi Peran

Pemerintah dinilai belum mempunyai sistem mekanisme dan manajemen perlindungan terhadap anak. Padahal, sudah ada Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Masalahnya ada pada implementasi dari undang-undang tersebut. Dalam UU No 23 Tahun 2002 diamanahkan penanggung jawab perlindungan terhadap anak ada di tangan masyarakat, keluarga, pemerintah, dan negara. Pada kenyataannya, keempat unsur tersebut belum berperan maksimal melindungi anak.

Pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
harus menyosialisasikan secara efektif mengenai Pengarusutamaan Hak Anak (Puha) untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Saat ini, sudah mulai dicanangkan kota/kabupaten layak anak. Seharusnya, hal itu tidak hanya jadi ikon, tapi pemerintah daerah dan masyarakat setempat harus benar-benar melaksanakan indikator dari kota/kabupaten layak anak.

Masyarakat juga harus proaktif dalam mencegah dan melaporkan kejadian kekerasan pada anak-anak. Dan, aparat pun harus cepat tanggap merespons hal tersebut, sehingga masyarakat yang me laporkan tidak merasa dipersulit dan malah membuat mereka enggan melapor. Pemerintah harus memberi pendampingan kepada anak yang men- jadi korban kekerasan seksual.

Keluarga sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak sudah semestinya dikembalikan peran vitalnya dalam mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak serta mampu memproteksi anak dari segala tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Pencegahan budaya permisif dan penjagaan atas keutuhan rumah tangga harus menjadi kesadaran kolektif semata-mata untuk menjaga masa depan anak Indonesia.

Terakhir, upaya hukum harus memberikan efek jera pada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak. Memperberat sanksi pada pelaku tindak kekerasan dan pencabulan pada anak patut diupayakan secara serius agar hukum benar-benar berpihak pada anak Indonesia.

Jazuli Juwaini ; Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI
REPUBLIKA, 12 Januari 2013

Pajak Menurut Syariat


Keluarnya maklumat sejumlah tokoh masyarakat yang menyerukan boikot pajak menjelang akhir 2012 lalu terlalu penting untuk di lewatkan begitu saja. Fakta bahwa maklumat itu dikeluarkan di Pondok Pesantren sekelas Tebu Ireng, Jombang, menambah dimensi dan bobotnya. Meskipun begitu, KH Sholahudin Wahid, sebagai pimpinan Ponpes Tebu Ireng, menyatakan maklumat itu tidak mewakili ponpesnya. Selain sejumlah individu, seruan itu juga dikumandangkan oleh Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI).

Alasan utama seruan boikot itu adalah karena uang pajak rakyat banyak dipakai untuk membayar bunga utang rekapitulasi bank-bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Seharusnya, bunga bank rekapitulasi ini dibayar para pemilik bank bermasalah tersebut, bukan oleh pajak dari rakyat. 

Dari perspektif Islam, pandangan seperti ini sudah sangat tepat, bahkan seharusnya dipertajam sehingga posisi penolakannya memiliki landasan yang lebih kuat dan syar'i. Dengan perspektif syariah secara tajam, kita bisa memosisikan utang berbunga perbankan dan pajak sebagai saudara kembar.
Meski sekilas tampak berasal dari sumber berbeda, yaitu perbankan swasta di satu sisi dan pemerintah di lain sisi, keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu riba. Allah SWT dan Rasulnya, dengan sangat tegas, mengharamkan riba ini karena kezalimannya. Sebagaimana kita ketahui, pembiayaan pengelolaan pemerintahan, dan bukan hanya kasus rekapitulasi BLBI itu, pada dasarnya bersumber dari utang berbunga ini.

Pada gilirannya, pemerintah menarik pajak, yang tak lain adalah perampasan hak milik rakyat yang dilegalkan, dengan berdalih bahwa pajak diperlukan untuk membiayai kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, gedung sekolah, selokan, dan sebagainya. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar, sebab hampir seluruh anggaran belanja pemerintah dibiayai dari utang yang utamanya berasal dari rentenir asing itu. Pajak menyusul belakangan, harus ditarik dari setiap warga untuk mencicil utang tersebut, beserta bunganya yang terus berlipat ganda.

Republik Indonesia berdiri sebagai negeri merdeka tanpa utang. Tetapi, karena dipaksa mengambil alih utang kolonial, yang nilainya `hanya' empat miliar dolar AS, negeri ini sekarang menanggung utang 202 miliar dolar AS atau hampir Rp 2.000 triliun. Penggelembungan utang ini terutama akibat formula bunga berbunga, dan utang terus-menerus yang diambil setiap tahunnya. Akibatnya, untuk membayar cicilan dan bunganya, seluruh pajak yang ditarik itu masih juga tak mencukupi, dan harus ditambal lagi dari utang baru. 

Dari kacamata syariat Islam kita rujuk perintah Allah SWT yang melarang perolehan harta seseorang kecuali atas dasar `perdagangan sukarela' (An Nisa ayat 29). Pajak adalah pungutan paksa yang dilakukan oleh satu pihak, yang merusak transaksi muamalat, dan menambah harga dan biaya yang tidak ada imbal-baliknya. Dalam Surat Al A\'raf ayat 86, secara lebih eksplisit Allah SWT melarang pemajakan, "Janganlah kamu duduk di tepi jalan dengan mengancam dan menghalang-halangi orang beriman di jalan Allah dan membelokkannya."
Para mufasir menjelaskan makna `mengancam dan manghalang-halangi'
sebagai pemajakan. Nilai pajak yang lazim dikenakan di jalanan pada waktu itu adalah 10 persen atau lebih. 

Dulu para pemajak mengancam para pedagang secara fisik, yang tentu saja dari syariat Islam merupakan perbuatan kriminal. Kini, dalam sistem pemerintahan ribawi, yang terjadi adalah sebaliknya: para pedagang (yang tak mau menyerahkan pajak) diancam hukuman penjara, sedangkan para pemajaknya dilindungi undang-undang.

Lebih jauh Rasul SAW dengan tegas juga menyatakan larangan atas pengenaan pajak perdagangan. Dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud Rasulullah SAW mengatakan, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai". Dalam riwayat lain, ia mengatakan, "Sungguh orang yang memungut cukai berada dalam neraka." Cukai yang dirujuk dalam hadis ini adalah sejenis pajak pertambahan nilai, yang disebut sebagai al-'Asyir, yang nilainya adalah 10 persen. Pada zaman kita kini PPN umumnya juga dikenakan sebesar antara 10 persen-15 persen.

Pajak tidak dibenarkan dalam Islam. Maka itu, dalam bahasa Arab murni bahkan tidak dikenal adanya istilah pajak. Yang ada adalah kata dharibah yang makna aslinya adalah upeti yang dikenakan oleh para majikan kepada budak sebagai imbalan atas izin bagi mereka untuk bekerja dan mencari upah di luar. Dalam bahasa Arab modern, kata dharibah digunakan untuk memberi pengertian pada konsep pajak ini, khususnya pajak penghasilan (PPh).

Jelaslah, dalam perspektif syariat Islam, negara modern, atau negara fiskal, tempat pembiayaannya berasal dari utang berbunga di satu sisi, dan pemajakan paksa kepada warganya di sisi lain, tidak lain adalah sistem perbudakan (modern) itu sendiri. Dan, sebagai saudara kembar riba, pajak pun harus diharamkan dan dihentikan, bukan diboikot. Satu-satunya pungutan wajib yang dibolehkan dalam syariat Islam adalah zakat (..)

REPUBLIKA, 18 Januari 2013

Pesantren dan Budaya Islam

Sebagai warisan budaya Islam di Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan kebudayaan Islam itu sendiri. Hal ini terkait dengan corak dasar peradaban Islam yang memuliakan pendidikan. Serta pola keislaman di Indonesia yang memusat di dalam proses pendidikan. Oleh karenanya, pendidikan tidak menjadi proses didaktik an sich, melainkan mode of being dari keberislaman.

Sejak masa pertama Madinah, tradisi keilmuan telah terbentuk melalui mun culnya sahabat-sahabat yang menciptakan spesialisasi pengetahuan. Misalnya, Abdullah ibn `Abbas yang ahli da lam bidang penafsiran Alquran, Abdullah ibn Mas'ud yang menjadi ahli fikih, serta Zaid ibn Tsabit yang mencatat dan menghafalkan Alquran. Satu abad kemudian, muncul tujuh ahli fikih di Makkah dan Madinah yang menjadi rintisan sistem mazhab. 

Tradisi keilmuan ini hadir di Nusantara. Seperti diketahui, Islam yang hadir di kepulauan ini adalah Islam yang telah dikembangkan di Persia dan kemudian anak Benua India yang berorientasi kuat pada tasawuf. Inilah yang menjelma gelombang Islamisasi di abad ke-13 yang menjadi akar pertama pesantren.
Gelombang ini bercorak fikih-sufistik, di mana pengajaran atas syariah berjalin- kelindan dengan pendalaman tasawuf. 

Maka, di abad itu kitab fikih-sufi stik seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam al- Ghazali telah menjadi tren di Nusantara. Di kisaran abad itu pula (ke-16) terjadi `pemurnian tasawuf' melalui kritik al- Raniri atas ajaran `Wujudiyah' Hamzah Fansuri, serta hukuman atas Siti Jenar oleh Dewan Walisongo. Akar keislaman ini yang disempurnakan oleh gelombang Islamisasi kedua abad ke-19 oleh `jaringan ulama Jawi'. 

Jaringan ulama ini merupakan putra-pu-tra terbaik bangsa yang belajar di Mak- kah dan mendirikan pesantren setelah pulang ke Tanah Air. Nama-nama besar ini meliputi Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai Abdus Shomad Palembang, dan Kiai Khalil Bangkalan. 

Jaringan ulama ini membawa tradisi baru, yakni pendalaman ilmu fikih secara tuntas melalui pengembangan alat-alat bantu seperti ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadis, dan tidak lupa ilmu akhlak. Hal ini tecermin dalam karya para ulama tersebut, misalnya Sabil al-Muhtadin karya Tuan Guru Arsyad Banjar, Nur al-Zhalam karya Kiai Nawawi Banten, dan seterusnya. 

Merekalah yang mengenalkan pendalaman bahasa Arab beserta cabang- cabang ilmunya di pesantren. Pada titik ini, pendalaman atas ilmu fikih secara tuntas tetap dilambari oleh pengamalan fikih-sufistik di dalam laku kehidupan.
Maka, ulama seperti Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Mahfudz Termas tidak dikenal sebagai guru tarekat atau tokoh sufi , melainkan sebagai sarjana Islam yang memiliki kapasitas keilmuan sangat tinggi. 

Hanya, meskipun para ulama tersebut merupakan `ulama syariat', akhlak sufistik tetap menjadi pegangan utama dalam pengamalan Islam. Penguasaan atas ilmu syariat dan pengamalan fikih-sufistik ini merupakan gabungan gelombang Islamisasi abad ke-13 dan ke-19 yang melembaga di dalam pesantren (Abdurrahman, 2004: 214--227). 

Subkultur Islam

Dengan demikian, pesantren merupakan produk paripurna Islamisasi Nusantara. Bahkan, sebagai lem baga pendidikan, ia merupakan kesinambungan dari lembaga pendidikan Mandala era Hindu-Buddha. Kata pesantren pun diambil dari bahasa Sansekerta, sashtri (pengkaji kitab suci Hindu), yang bertransformasi menjadi santri. 

Oleh karena itu, pesantren merupakan perwujudan kultural Islam sebagai hasil dari proses pribumisasi Islam. Perwujudan kultural ini merupakan pertemuan antara ajaran normatif Islam dan tradisi spiritual Hindu-Buddha. Tentu pertemuan ini telah terislamkan, sehingga corak spiritualitas Islam bersifat syar'i sebagaimana terlihat di dalam corak fikih-sufi stik. Pola kultural ini tidak terlepas dari model dakwah Walisongo yang memang telah menggerakkan pribumisasi Islam. Dari sini terlihat cikal-bakal pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, dan Sunan Giri di Giri Kedaton.

Dari pola kultural ini maka pesantren menjelma sebagai sub-kultur yang unik, independen, sekaligus bisa memengaruhi kultur mainstream. Dalam kaitan ini terdapat tiga keunikan yang menjadi karakter dari sub-kultur pesantren. Pertama, asketisisme (zuhud). Ini me rupakan nilai khas pesantren yang menempatkan kualitas spiritual sebagai nilai utama.

Kedua, perilaku unik yang lahir dari nilai unik di atas. Berdasarkan asketisisme, para santri kemudian mencintai ilmu-ilmu agama dan mencintai ahli ilmu agama (kiai). Dengan demikian, asketisisme pesantren akhirnya bersifat ilmiah. Ketiga, kepemimpinan unik yang lahir dari nilai dan perilaku unik. Kepemimpinan unik ini diperankan oleh kiai, yang bukan pemimpin administratif, melainkan moral-intelektual. Hal ini mendasar, sebab kiai telah memandatkan kepemimpinan administratif kepada lurah pondok yang berfungsi sebagai eksekutif pengatur organisasi. Dalam kaitan ini, kepemimpinan kiai sering menjadi `oposisi kultural' bagi kepemimpinan negara.
Segenap gambaran di atas menunjukkan lanskap luas pesantren sebagai bagian dari sub-kultur Islam di Indonesia. Pola pendidikan di dalam pesantren merupakan pola keislaman di Nusantara yang memusat dalam proses pendidikan. Pemahaman ini yang perlu dimiliki oleh para penggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren, yang kini marak dibicarakan. Sayangnya, logika di balik RUU ini telah menempatkan pesantren, murni sebagai lembaga pendidikan yang akhirnya membutuhkan `dukungan struktural' dari negara. Jika pun dibutuhkan "penanganan pemerintah", hal ini perlu didasarkan pada penghormatan.

Penempatan pesantren an sich sebagai lembaga pendidikan akan mencerabut khazanah bangsa ini dari akar budayanya dan, tentu saja, akar kemanfaatannya bagi republik ini. Hal ini mendasar, sebab pesantren merupakan fondasi utama bagi Islam moderat, toleran, dan rahmatan lil `alamin yang berperan sebagai pembentuk kebangsaan Indonesia. Seperti di ketahui, para ulama pesantrenlah yang merumuskan nasionalisme Islam yang kompatibel dengan negara-bangsa, demokrasi, dan kemodernan (..)

REPUBLIKA, 18 Januari 2013


Selasa, 25 Juni 2013

Kontestasi Perda Syariah

Edaran pelarangan perempuan mengangkang saat diboncengkan di sepeda motor mulai ditempel di tempat-tempat umum di Lhokseumawe, Aceh.

Edaran itu berlaku tiga bulan sebelum diteken menjadi peraturan wali kota.
Sebagaimana diketahui, dalam pidatonya untuk menyambut Tahun Baru, Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya mengumumkan rencananya untuk memberlakukan perda yang akan melarang wanita dari duduk mengangkang saat berboncengan sepeda motor dengan alasan bahwa hal demikian memancing pengendara laki-laki melakukan kejahatan. Lebih lanjut ia mengungkapkan, hal tersebut untuk melindungi perempuan dari kondisi yang tidak diinginkan. 

Tidak pelak rencana pemberlakukan perda ini menghebohkan banyak pihak di republik ini. Resistensi terbesar muncul dari kalangan aktivis HAM, kaum feminis, dan Islam liberal. Dalam sebuah program di TV One, Ulil Abshar Abdalla, pentolan Jaringan Islam Liberal, mempertanyakan syariat yang melarang perempuan pakai celana jins dan duduk mengangkang di motor. Hematnya, tak ada hukum atau fikihnya. Tidak ada syariat Islam yang mengatur soal duduk mengangkang, seperti halnya tidak ada hukum yang mengatur perempuan naik unta mengangkang atau tidak.

Sekilas apa yang diutarakan Ulil atau tokoh-tokoh Islam liberal boleh jadi memiliki logika tersendiri. Bagi kelompok ini, perda syariah atau qanun bukanlah syariat itu sendiri. Jika syariat sebagai jalan menuju Tuhan seharusnya lentur, apalagi qanun yang diproduksi oleh kecenderungan politik yang tidak sehat.
Dalam banyak gagasan dan pemikiran mereka, kalangan Islam liberal tersebut kerap berdalih bahwa penerapan syariat di banyak daerah merupakan wujud betapa Islam tidak bisa memainkan peran pembebasannya dan tidak bisa mengurusi yang substansial dalam agama. Karena itulah, yang diurus pasti yang teknis-partikular, semisal aurat, jilbab, sampai larangan duduk mengangkang.
Hanya, perdebatan ini sejatinya meninggalkan kesalahpahaman yang meluas tentang hakikat perda tersebut. 

Banyak yang tidak memahami pokok persoalannya. Sebetulnya, yang dipersoalkan tentang perempuan yang duduk mengangkang di belakang pengendara sepeda motor adalah dalam relasinya dengan yang bukan muhrim.
Cara duduk demikian dianggap tidak santun dan etis karena memungkinkan persentuhan dada perempuan dan punggung laki-laki. Keadaan demikian bukan saja merangsang munculnya berahi bagi yang binal, melainkan memberikan pandangan yang tidak elok bagi masyarakat yang melihatnya. 

Ketidaknyaman publik ini mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan yang mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak baik.
Seyogianya perda pelarangan perempuan mengangkang saat diboncengkan di sepeda motor di Lhokseumawe atau Aceh ini juga dibarengi dengan perda-perda lain yang menyentuh isu-isu yang tak kalah dahsyatnya melahirkan penyakit masyarakat, misal perda larangan berpacaran. Sebab, apa bedanya naik becak motor dan mobil dengan pacar yang bukan muhrimnya? Lebih parah kalau naik mobil karena bisa lebih merapat dan melakukan hubungan layaknya suami-istri di mobil. Jadi, di samping pengaturan masalah mengangkang sebaiknya juga mengatur persoalan muda-mudi yang pacaran, apalagi yang naik motor dan mobil.

Benar bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dihadapkan oleh hal yang 
tak kalah peliknya. Berdasarkan data yang dirilis oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada 2012 lalu, ditemukan bahwa Aceh adalah provinsi terkorup ke-2 setelah DKI Jakarta dengan kerugian negara Rp 669,8 miliar dan 620 kasus. Karenanya, pendekatan syariah holistik seharusnya juga bekerja ke arah sana, misalnya dengan melahirkan perda syariah antikorupsi atau perda syariah menyangkut kesejahteraan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan untuk kaum perempuan. Qanun seharusnya juga perlu bergerak progresif mengadvokasi perempuan-perempuan tertindas atau yang menjadi korban, seperti dalam banyak kasus pemerkosaan. 

Pola pikir pemerintah dan politisi harus diubah dari kecenderungan mengendalikan perempuan pada membujuk masyarakat untuk mengakhiri budaya mengambinghitamkan korban (perempuan) dan menekan laki-laki untuk menahan diri dari melakukan tindakan perkosaan. Ada kebutuhan mendesak untuk hal demikian mengingat kita kini tengah melakukan sebuah kezaliman besar kepada perempuan dengan melemahkan mereka dalam banyak hal selaku korban. 

Sebaliknya, kerap pelaku pemerkoaan yang sebenarnya dibiarkan begitu saja.
Para pelaku sadar bahwa sebagian besar kasus perkosaan tersebut tidak mencapai pengadilan karena stigma sosial yang melekat pada korban dan keluarga mereka jika mengajukan laporan.

Benar bahwa kecelakaan sepeda motor bukan disebabkan cara duduk yang dibonceng, melainkan karena kedisiplinan berkendara. Namun demikian, Aceh lebih mengerti apa yang dibutuhkannya. Tak perlu orang luar reaktif mencibir kebijakan di sana. Perbaiki saja diri sendiri, apa sudah benar berkendara, apa sudah benar aurat dijaga. Itulah masalah sebenarnya.

 REPUBLIKA,  10 Januari 2013

Sabtu, 15 Juni 2013

Pancasila dan Polwan Berjilbab

Diterbitkan di Padang Ekspres
Jum'at, 14 Juni 2013

Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang.

Sejenak, ingatan saya melayang pada sebuah film besutan sutradara Karan Johar, “My Name is Khan” yang dirilis pada Februari 2010 lalu. Film ini dilakoni oleh Shakh Rukh Khan (Rizwan Khan), berperan sebagai seorang Muslim yang berdomisili di San Fransisco yang mengidap sindrom Asperger diagnosis. Di tengah cerita, film ini sedikit mengusut tentang perjuangan batin adik ipar Khan yang diperankan oleh Sonya Jehan (Haseena) untuk kukuh menggunakan jilbab. Bagi Haseena, jilbab bukan hanya identitas keagamaan, namun jilbab adalah bagian dari keberadaan dirinya.

Di tengah kondisi sosial Haseena yang sangat heterogen, jilbab sangat tidak familiar dalam pandangan masyarakat yang nota bene adalah non muslim. Apalagi pasca serangan serangan 11 September 2001 silam, begitu membekas di Ingatan masyarakat Amerika, dan menuding Islam sebagai pelakunya. Bahkan demi mempertahankan keyakinannya, Haseena pernah menerima perlakuan deskriminatif di kampus tempat ia mengajar karena bersikukuh untuk tetap menggunakan jilbab.

Narasi di atas adalah sepenggal kisah yang membawa film ini sukses mengusung misi pluralisme, HAM, dan perdamaian dalam potret ber-agama. Salah satunya diwujudkan dalam bentuk menggunakan jilbab. Membatasi atau mencabut hak privasi seseorang dalam mengekspresikan bentuk ritual keagamaannya tentu tidak bisa dibenarkan. Hal ini sejalan dengan ide hak asasi manusia (HAM) bahwa setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja yang melalaikan, membatasi, atau mencabut hak asasi seseorang  termasuk bagian dari pelanggaran HAM.

 Wacana ini tentunya tidak lepas dari polemik yang saat ini dirasakan oleh sejumlah polisi wanita (polwan),  terkait keputusan Kapolri No. Pol: Skep/702/IX/2005 tentang penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri yang tidak dibolehkan memakai jilbab.

Kebijakan tersebut rupanya menjadi kendala bagi sejumlah polwan untuk berjilbab. Menurut pemberitaan yang gencar ditayangkan dalam sejumlah media, bahwasanya Mabes Polri mengaku sulit untuk mengubah peraturan kapolri (Perkap) yang mengatur soal seragam anggota Polri termasuk polwan. Terlebih, jika memperbolehkan jilbab untuk digunakan sebagai pakaian tambahan polwan. Oleh karena itu, sekiranya kebijakan ini perlu dikaji kembali.

Berpijak pada rumusan yang telah ditawarkan Pancasila, sesungguhnya larangan menggunakan jilbab, baik di instansi pemerintahan, tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah negara. Pada sila pertama ditegaskan, kehidupan bernegara yang tumbuh di Indonesia dilandasi oleh Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, rumusan tersebut sejatinya bersumber dari ruh dan semangat bangsa Indonesia sendiri.

Pelarangan penggunaan jilbab tidak hanya mengganggu nilai-nilai yang diajarkan pancasila melalui kebebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan aturan yang telah di khittah kan. Namun kebijakan yang tergolong deskriminatif tersebut, seolah menutup mata dari rangkaian sejarah tentang semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahwasanya pemahaman beragama yang dikultuskan dalam sila pertama dalam Pancasila merupakan alasan utama bangsa ini membebaskan diri untuk meraih kemerdekaan.

Merujuk pada beberapa literature sejarah, diketahui bahwa sejumlah perempuan yang yang pernah berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, telah lebih dahulu menggunakan jilbab. Sebutlah Rohana Kudus, Cut Nya’ Dien dan Rahma el Yunusiah yang menjadikan jilbab sebagai identitas dirinya. Bahkan dalam riwayat Cut Nya’ Dien, jilbab yang ia kenakan menjadi simbol kekuatan bagi dirinya bahwa perempuan juga mempunyai peran yang strategis di medan perang. Dalam konteks ini, asumsinya adalah tidak ada permasalahan yang signifikan bagi para penegak hukum (polwan) untuk mulai menggunkan jilbab, layaknya polwan yang bertugas di Nangroe Aceh Darussalam.

Dalam penelusuran sejarah tentang peradaban masyarakat arab, digambarkan bahwa budaya arab dipengaruhi oleh peradaban Mesoptamia (3500-2400 SM). Perempuan-perempuan pada bangsa ini telah lebih dahulu menggunakan kain yang menjuntai (tsiyab atau tsaub) sebagai penutup tubuh dan kepalanya. Peradaban ini pun menjadi peraban pertama saat itu yang turut membentuk karakter budaya dan masyarakat bangsa Arab. Walaupun masih dalam konstruksi patriarkhi, namun segala bentuk tradisi  dan kebudayaan masyarakat Mesoptamia saat itu, memberikan pengaruh besar bagi perkembangan peradaban, salah satunya tentang lahirnya hukum Hammurabi (hammurabi code). Hukum Hammurabi ini pernah dikenal sebagai hukum Mesoptamia dan menjadi salah satu naskah hukum pertama yang paling lengkap dalam sejarah umat manusia. Sebagian isinya kemudian direkam dalam kitab klasik, termasuk diantaranya adalah Kitab Talmud tentang penggunaan jilbab (Abdullah Ahmed An Na’im: 2004). Begitu juga dalam ajaran agama Yahudi (Kitab Taurat), sudah mengenal istilah yang serupa dengan jilbab seperti tiferet. Demikian halnya dengan Kitab Injil yang mengenalnya dengan sebutan redid, zammah dan zaif. (Nasaruddin Umar: 1996).

Hal ini dikarenakan bahwa jilbab berfungsi sebagai alat bagi perempuan untuk menutup aurat. Selain bermakna ibadah, jilbab juga sebagai penghias dan identitas diri perempuan muslim. Di dalamnya tersirat ide yang mengukuhkan bahwa perempuan mempunyai hak atas tubuh (previlledge) bagi dirinya sendiri.  Bahkan, dibalik itu terdapat makna lain atas penggunaan jilbab lebih dari sekedar pakaian atau tsiyab semata. Yaitu sebagai metode membangun hubungan kosmik dengan sang pencipta (hablum minallah).  

Maka perlu dicatat, secara esensial menurut Pancasila dan UUD 1945, Indonesia sangat kental dengan muatan pandangan Islam tanpa harus mendikotomikan antara aturan negara dan agama. Pesan keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan merupakan dimensi substansial yang harus senantiasa ditumbuh kembangkan dalam pemikiran dan tindakan manusia.

Sekiranya, moment ini merupakan peluang bagi setiap elemen masyarakat dan pemerintah agar dapat bersikap lebih dewasa. Tidak hanya polri, sejumlah instansi pemerintahan/swasta pun agar mulai menganggarkan kebijakan yang sensitive terhadap hak-hak perempuan. Desakan untuk dizinkannya polwan menggunakan jilbab memang sudah menjadi hal yang lumrah. Ditakutkan, kebijakan deskriminatif ini pada akhirnya akan menggangu dan menjadi pemicu distabilitas dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan.

Melalui kacamata agama dan negara, seyogyanya penggunaan jilbab mesti dipandang sebagai hak asasi yang telah melekat pada setiap diri manusia (baca: perempuan). Melarangnya berarti melanggar hak asasi perempuan. Maka wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh Negara dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, negara telah menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah dan memeluk agamanya sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menghormati hak atas keyakinan dan perwujudan nilai-nilai transendental beragama bagi setiap pemeluk agama. (..)