Sabtu, 29 Juni 2013

Pajak Menurut Syariat


Keluarnya maklumat sejumlah tokoh masyarakat yang menyerukan boikot pajak menjelang akhir 2012 lalu terlalu penting untuk di lewatkan begitu saja. Fakta bahwa maklumat itu dikeluarkan di Pondok Pesantren sekelas Tebu Ireng, Jombang, menambah dimensi dan bobotnya. Meskipun begitu, KH Sholahudin Wahid, sebagai pimpinan Ponpes Tebu Ireng, menyatakan maklumat itu tidak mewakili ponpesnya. Selain sejumlah individu, seruan itu juga dikumandangkan oleh Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI).

Alasan utama seruan boikot itu adalah karena uang pajak rakyat banyak dipakai untuk membayar bunga utang rekapitulasi bank-bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Seharusnya, bunga bank rekapitulasi ini dibayar para pemilik bank bermasalah tersebut, bukan oleh pajak dari rakyat. 

Dari perspektif Islam, pandangan seperti ini sudah sangat tepat, bahkan seharusnya dipertajam sehingga posisi penolakannya memiliki landasan yang lebih kuat dan syar'i. Dengan perspektif syariah secara tajam, kita bisa memosisikan utang berbunga perbankan dan pajak sebagai saudara kembar.
Meski sekilas tampak berasal dari sumber berbeda, yaitu perbankan swasta di satu sisi dan pemerintah di lain sisi, keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu riba. Allah SWT dan Rasulnya, dengan sangat tegas, mengharamkan riba ini karena kezalimannya. Sebagaimana kita ketahui, pembiayaan pengelolaan pemerintahan, dan bukan hanya kasus rekapitulasi BLBI itu, pada dasarnya bersumber dari utang berbunga ini.

Pada gilirannya, pemerintah menarik pajak, yang tak lain adalah perampasan hak milik rakyat yang dilegalkan, dengan berdalih bahwa pajak diperlukan untuk membiayai kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, gedung sekolah, selokan, dan sebagainya. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar, sebab hampir seluruh anggaran belanja pemerintah dibiayai dari utang yang utamanya berasal dari rentenir asing itu. Pajak menyusul belakangan, harus ditarik dari setiap warga untuk mencicil utang tersebut, beserta bunganya yang terus berlipat ganda.

Republik Indonesia berdiri sebagai negeri merdeka tanpa utang. Tetapi, karena dipaksa mengambil alih utang kolonial, yang nilainya `hanya' empat miliar dolar AS, negeri ini sekarang menanggung utang 202 miliar dolar AS atau hampir Rp 2.000 triliun. Penggelembungan utang ini terutama akibat formula bunga berbunga, dan utang terus-menerus yang diambil setiap tahunnya. Akibatnya, untuk membayar cicilan dan bunganya, seluruh pajak yang ditarik itu masih juga tak mencukupi, dan harus ditambal lagi dari utang baru. 

Dari kacamata syariat Islam kita rujuk perintah Allah SWT yang melarang perolehan harta seseorang kecuali atas dasar `perdagangan sukarela' (An Nisa ayat 29). Pajak adalah pungutan paksa yang dilakukan oleh satu pihak, yang merusak transaksi muamalat, dan menambah harga dan biaya yang tidak ada imbal-baliknya. Dalam Surat Al A\'raf ayat 86, secara lebih eksplisit Allah SWT melarang pemajakan, "Janganlah kamu duduk di tepi jalan dengan mengancam dan menghalang-halangi orang beriman di jalan Allah dan membelokkannya."
Para mufasir menjelaskan makna `mengancam dan manghalang-halangi'
sebagai pemajakan. Nilai pajak yang lazim dikenakan di jalanan pada waktu itu adalah 10 persen atau lebih. 

Dulu para pemajak mengancam para pedagang secara fisik, yang tentu saja dari syariat Islam merupakan perbuatan kriminal. Kini, dalam sistem pemerintahan ribawi, yang terjadi adalah sebaliknya: para pedagang (yang tak mau menyerahkan pajak) diancam hukuman penjara, sedangkan para pemajaknya dilindungi undang-undang.

Lebih jauh Rasul SAW dengan tegas juga menyatakan larangan atas pengenaan pajak perdagangan. Dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud Rasulullah SAW mengatakan, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai". Dalam riwayat lain, ia mengatakan, "Sungguh orang yang memungut cukai berada dalam neraka." Cukai yang dirujuk dalam hadis ini adalah sejenis pajak pertambahan nilai, yang disebut sebagai al-'Asyir, yang nilainya adalah 10 persen. Pada zaman kita kini PPN umumnya juga dikenakan sebesar antara 10 persen-15 persen.

Pajak tidak dibenarkan dalam Islam. Maka itu, dalam bahasa Arab murni bahkan tidak dikenal adanya istilah pajak. Yang ada adalah kata dharibah yang makna aslinya adalah upeti yang dikenakan oleh para majikan kepada budak sebagai imbalan atas izin bagi mereka untuk bekerja dan mencari upah di luar. Dalam bahasa Arab modern, kata dharibah digunakan untuk memberi pengertian pada konsep pajak ini, khususnya pajak penghasilan (PPh).

Jelaslah, dalam perspektif syariat Islam, negara modern, atau negara fiskal, tempat pembiayaannya berasal dari utang berbunga di satu sisi, dan pemajakan paksa kepada warganya di sisi lain, tidak lain adalah sistem perbudakan (modern) itu sendiri. Dan, sebagai saudara kembar riba, pajak pun harus diharamkan dan dihentikan, bukan diboikot. Satu-satunya pungutan wajib yang dibolehkan dalam syariat Islam adalah zakat (..)

REPUBLIKA, 18 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar