Keluarnya maklumat sejumlah tokoh masyarakat yang menyerukan boikot
pajak menjelang akhir 2012 lalu terlalu penting untuk di lewatkan begitu saja.
Fakta bahwa maklumat itu dikeluarkan di Pondok Pesantren sekelas Tebu Ireng,
Jombang, menambah dimensi dan bobotnya. Meskipun begitu, KH Sholahudin
Wahid, sebagai pimpinan Ponpes Tebu Ireng, menyatakan maklumat itu tidak
mewakili ponpesnya. Selain sejumlah individu, seruan itu juga dikumandangkan
oleh Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI).
Alasan utama seruan boikot itu adalah karena uang pajak rakyat banyak
dipakai untuk membayar bunga utang rekapitulasi bank-bank penerima Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Seharusnya, bunga bank rekapitulasi ini
dibayar para pemilik bank bermasalah tersebut, bukan oleh pajak dari rakyat.
Dari perspektif Islam, pandangan seperti ini sudah
sangat tepat, bahkan seharusnya dipertajam sehingga posisi penolakannya
memiliki landasan yang lebih kuat dan syar'i. Dengan perspektif syariah secara
tajam, kita bisa memosisikan utang berbunga perbankan dan pajak sebagai saudara
kembar.
Meski sekilas tampak berasal dari sumber berbeda, yaitu perbankan swasta
di satu sisi dan pemerintah di lain sisi, keduanya berasal dari sumber yang
sama, yaitu riba. Allah SWT dan Rasulnya, dengan sangat tegas, mengharamkan
riba ini karena kezalimannya. Sebagaimana kita ketahui, pembiayaan pengelolaan
pemerintahan, dan bukan hanya kasus rekapitulasi BLBI itu, pada dasarnya
bersumber dari utang berbunga ini.
Pada gilirannya, pemerintah menarik pajak, yang tak lain adalah perampasan
hak milik rakyat yang dilegalkan, dengan berdalih bahwa pajak diperlukan untuk
membiayai kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, gedung sekolah, selokan,
dan sebagainya. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar, sebab hampir seluruh
anggaran belanja pemerintah dibiayai dari utang yang utamanya berasal dari
rentenir asing itu. Pajak menyusul belakangan, harus ditarik dari setiap
warga untuk mencicil utang tersebut, beserta bunganya yang terus berlipat
ganda.
Republik Indonesia berdiri sebagai negeri merdeka tanpa utang. Tetapi,
karena dipaksa mengambil alih utang kolonial, yang nilainya `hanya' empat
miliar dolar AS, negeri ini sekarang menanggung utang 202 miliar dolar AS atau
hampir Rp 2.000 triliun. Penggelembungan utang ini terutama akibat formula
bunga berbunga, dan utang terus-menerus yang diambil setiap tahunnya.
Akibatnya, untuk membayar cicilan dan bunganya, seluruh pajak yang ditarik itu
masih juga tak mencukupi, dan harus ditambal lagi dari utang baru.
Dari kacamata syariat Islam kita rujuk perintah
Allah SWT yang melarang perolehan harta seseorang kecuali atas dasar
`perdagangan sukarela' (An Nisa ayat 29). Pajak adalah pungutan paksa yang
dilakukan oleh satu pihak, yang merusak transaksi muamalat, dan menambah harga
dan biaya yang tidak ada imbal-baliknya. Dalam Surat Al A\'raf ayat 86,
secara lebih eksplisit Allah SWT melarang pemajakan, "Janganlah kamu duduk
di tepi jalan dengan mengancam dan menghalang-halangi orang beriman di jalan
Allah dan membelokkannya."
Para mufasir menjelaskan makna `mengancam dan manghalang-halangi'
sebagai pemajakan. Nilai pajak yang lazim dikenakan di jalanan pada waktu itu adalah 10 persen atau lebih.
sebagai pemajakan. Nilai pajak yang lazim dikenakan di jalanan pada waktu itu adalah 10 persen atau lebih.
Dulu para pemajak mengancam para pedagang secara fisik, yang tentu saja
dari syariat Islam merupakan perbuatan kriminal. Kini, dalam sistem
pemerintahan ribawi, yang terjadi adalah sebaliknya: para pedagang (yang tak
mau menyerahkan pajak) diancam hukuman penjara, sedangkan para pemajaknya
dilindungi undang-undang.
Lebih jauh Rasul SAW dengan tegas juga menyatakan larangan atas
pengenaan pajak perdagangan. Dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud Rasulullah
SAW mengatakan, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai".
Dalam riwayat lain, ia mengatakan, "Sungguh orang yang memungut cukai
berada dalam neraka." Cukai yang dirujuk dalam hadis ini adalah
sejenis pajak pertambahan nilai, yang disebut sebagai al-'Asyir, yang nilainya
adalah 10 persen. Pada zaman kita kini PPN umumnya juga dikenakan sebesar
antara 10 persen-15 persen.
Pajak tidak dibenarkan dalam Islam. Maka itu, dalam bahasa Arab
murni bahkan tidak dikenal adanya istilah pajak. Yang ada adalah kata dharibah
yang makna aslinya adalah upeti yang dikenakan oleh para majikan kepada budak
sebagai imbalan atas izin bagi mereka untuk bekerja dan mencari upah di luar.
Dalam bahasa Arab modern, kata dharibah digunakan untuk memberi pengertian pada
konsep pajak ini, khususnya pajak penghasilan (PPh).
Jelaslah, dalam perspektif syariat Islam, negara modern, atau negara
fiskal, tempat pembiayaannya berasal dari utang berbunga di satu sisi, dan
pemajakan paksa kepada warganya di sisi lain, tidak lain adalah sistem
perbudakan (modern) itu sendiri. Dan, sebagai saudara kembar riba, pajak pun
harus diharamkan dan dihentikan, bukan diboikot. Satu-satunya pungutan wajib
yang dibolehkan dalam syariat Islam adalah zakat (..)
REPUBLIKA,
18 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar