Sabtu, 15 Juni 2013

Pancasila dan Polwan Berjilbab

Diterbitkan di Padang Ekspres
Jum'at, 14 Juni 2013

Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang.

Sejenak, ingatan saya melayang pada sebuah film besutan sutradara Karan Johar, “My Name is Khan” yang dirilis pada Februari 2010 lalu. Film ini dilakoni oleh Shakh Rukh Khan (Rizwan Khan), berperan sebagai seorang Muslim yang berdomisili di San Fransisco yang mengidap sindrom Asperger diagnosis. Di tengah cerita, film ini sedikit mengusut tentang perjuangan batin adik ipar Khan yang diperankan oleh Sonya Jehan (Haseena) untuk kukuh menggunakan jilbab. Bagi Haseena, jilbab bukan hanya identitas keagamaan, namun jilbab adalah bagian dari keberadaan dirinya.

Di tengah kondisi sosial Haseena yang sangat heterogen, jilbab sangat tidak familiar dalam pandangan masyarakat yang nota bene adalah non muslim. Apalagi pasca serangan serangan 11 September 2001 silam, begitu membekas di Ingatan masyarakat Amerika, dan menuding Islam sebagai pelakunya. Bahkan demi mempertahankan keyakinannya, Haseena pernah menerima perlakuan deskriminatif di kampus tempat ia mengajar karena bersikukuh untuk tetap menggunakan jilbab.

Narasi di atas adalah sepenggal kisah yang membawa film ini sukses mengusung misi pluralisme, HAM, dan perdamaian dalam potret ber-agama. Salah satunya diwujudkan dalam bentuk menggunakan jilbab. Membatasi atau mencabut hak privasi seseorang dalam mengekspresikan bentuk ritual keagamaannya tentu tidak bisa dibenarkan. Hal ini sejalan dengan ide hak asasi manusia (HAM) bahwa setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja yang melalaikan, membatasi, atau mencabut hak asasi seseorang  termasuk bagian dari pelanggaran HAM.

 Wacana ini tentunya tidak lepas dari polemik yang saat ini dirasakan oleh sejumlah polisi wanita (polwan),  terkait keputusan Kapolri No. Pol: Skep/702/IX/2005 tentang penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri yang tidak dibolehkan memakai jilbab.

Kebijakan tersebut rupanya menjadi kendala bagi sejumlah polwan untuk berjilbab. Menurut pemberitaan yang gencar ditayangkan dalam sejumlah media, bahwasanya Mabes Polri mengaku sulit untuk mengubah peraturan kapolri (Perkap) yang mengatur soal seragam anggota Polri termasuk polwan. Terlebih, jika memperbolehkan jilbab untuk digunakan sebagai pakaian tambahan polwan. Oleh karena itu, sekiranya kebijakan ini perlu dikaji kembali.

Berpijak pada rumusan yang telah ditawarkan Pancasila, sesungguhnya larangan menggunakan jilbab, baik di instansi pemerintahan, tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah negara. Pada sila pertama ditegaskan, kehidupan bernegara yang tumbuh di Indonesia dilandasi oleh Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, rumusan tersebut sejatinya bersumber dari ruh dan semangat bangsa Indonesia sendiri.

Pelarangan penggunaan jilbab tidak hanya mengganggu nilai-nilai yang diajarkan pancasila melalui kebebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan aturan yang telah di khittah kan. Namun kebijakan yang tergolong deskriminatif tersebut, seolah menutup mata dari rangkaian sejarah tentang semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahwasanya pemahaman beragama yang dikultuskan dalam sila pertama dalam Pancasila merupakan alasan utama bangsa ini membebaskan diri untuk meraih kemerdekaan.

Merujuk pada beberapa literature sejarah, diketahui bahwa sejumlah perempuan yang yang pernah berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, telah lebih dahulu menggunakan jilbab. Sebutlah Rohana Kudus, Cut Nya’ Dien dan Rahma el Yunusiah yang menjadikan jilbab sebagai identitas dirinya. Bahkan dalam riwayat Cut Nya’ Dien, jilbab yang ia kenakan menjadi simbol kekuatan bagi dirinya bahwa perempuan juga mempunyai peran yang strategis di medan perang. Dalam konteks ini, asumsinya adalah tidak ada permasalahan yang signifikan bagi para penegak hukum (polwan) untuk mulai menggunkan jilbab, layaknya polwan yang bertugas di Nangroe Aceh Darussalam.

Dalam penelusuran sejarah tentang peradaban masyarakat arab, digambarkan bahwa budaya arab dipengaruhi oleh peradaban Mesoptamia (3500-2400 SM). Perempuan-perempuan pada bangsa ini telah lebih dahulu menggunakan kain yang menjuntai (tsiyab atau tsaub) sebagai penutup tubuh dan kepalanya. Peradaban ini pun menjadi peraban pertama saat itu yang turut membentuk karakter budaya dan masyarakat bangsa Arab. Walaupun masih dalam konstruksi patriarkhi, namun segala bentuk tradisi  dan kebudayaan masyarakat Mesoptamia saat itu, memberikan pengaruh besar bagi perkembangan peradaban, salah satunya tentang lahirnya hukum Hammurabi (hammurabi code). Hukum Hammurabi ini pernah dikenal sebagai hukum Mesoptamia dan menjadi salah satu naskah hukum pertama yang paling lengkap dalam sejarah umat manusia. Sebagian isinya kemudian direkam dalam kitab klasik, termasuk diantaranya adalah Kitab Talmud tentang penggunaan jilbab (Abdullah Ahmed An Na’im: 2004). Begitu juga dalam ajaran agama Yahudi (Kitab Taurat), sudah mengenal istilah yang serupa dengan jilbab seperti tiferet. Demikian halnya dengan Kitab Injil yang mengenalnya dengan sebutan redid, zammah dan zaif. (Nasaruddin Umar: 1996).

Hal ini dikarenakan bahwa jilbab berfungsi sebagai alat bagi perempuan untuk menutup aurat. Selain bermakna ibadah, jilbab juga sebagai penghias dan identitas diri perempuan muslim. Di dalamnya tersirat ide yang mengukuhkan bahwa perempuan mempunyai hak atas tubuh (previlledge) bagi dirinya sendiri.  Bahkan, dibalik itu terdapat makna lain atas penggunaan jilbab lebih dari sekedar pakaian atau tsiyab semata. Yaitu sebagai metode membangun hubungan kosmik dengan sang pencipta (hablum minallah).  

Maka perlu dicatat, secara esensial menurut Pancasila dan UUD 1945, Indonesia sangat kental dengan muatan pandangan Islam tanpa harus mendikotomikan antara aturan negara dan agama. Pesan keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan merupakan dimensi substansial yang harus senantiasa ditumbuh kembangkan dalam pemikiran dan tindakan manusia.

Sekiranya, moment ini merupakan peluang bagi setiap elemen masyarakat dan pemerintah agar dapat bersikap lebih dewasa. Tidak hanya polri, sejumlah instansi pemerintahan/swasta pun agar mulai menganggarkan kebijakan yang sensitive terhadap hak-hak perempuan. Desakan untuk dizinkannya polwan menggunakan jilbab memang sudah menjadi hal yang lumrah. Ditakutkan, kebijakan deskriminatif ini pada akhirnya akan menggangu dan menjadi pemicu distabilitas dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan.

Melalui kacamata agama dan negara, seyogyanya penggunaan jilbab mesti dipandang sebagai hak asasi yang telah melekat pada setiap diri manusia (baca: perempuan). Melarangnya berarti melanggar hak asasi perempuan. Maka wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh Negara dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, negara telah menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah dan memeluk agamanya sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menghormati hak atas keyakinan dan perwujudan nilai-nilai transendental beragama bagi setiap pemeluk agama. (..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar