Diterbitkan di Padang Ekspres
Jum'at, 14 Juni 2013
Jum'at, 14 Juni 2013
Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan
Padang.
Sejenak, ingatan
saya melayang pada sebuah film besutan sutradara Karan Johar, “My Name is Khan”
yang dirilis pada Februari 2010 lalu. Film ini dilakoni oleh Shakh Rukh Khan
(Rizwan Khan), berperan sebagai seorang Muslim yang berdomisili di San
Fransisco yang mengidap sindrom Asperger diagnosis. Di tengah cerita, film ini
sedikit mengusut tentang perjuangan batin adik ipar Khan yang diperankan oleh
Sonya Jehan (Haseena) untuk kukuh menggunakan jilbab. Bagi Haseena, jilbab
bukan hanya identitas keagamaan, namun jilbab adalah bagian dari keberadaan
dirinya.
Di tengah kondisi
sosial Haseena yang sangat heterogen, jilbab sangat tidak familiar dalam
pandangan masyarakat yang nota bene adalah non muslim. Apalagi pasca serangan
serangan 11 September 2001 silam, begitu membekas di Ingatan masyarakat
Amerika, dan menuding Islam sebagai pelakunya. Bahkan demi mempertahankan
keyakinannya, Haseena pernah menerima perlakuan deskriminatif di kampus tempat
ia mengajar karena bersikukuh untuk tetap menggunakan jilbab.
Narasi di
atas adalah sepenggal kisah yang membawa film ini sukses mengusung misi
pluralisme, HAM, dan perdamaian dalam potret ber-agama. Salah satunya diwujudkan
dalam bentuk menggunakan jilbab. Membatasi atau mencabut hak privasi seseorang dalam
mengekspresikan bentuk ritual keagamaannya tentu tidak bisa dibenarkan. Hal ini
sejalan dengan ide hak asasi manusia (HAM) bahwa setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja yang
melalaikan, membatasi, atau mencabut hak asasi seseorang termasuk bagian dari pelanggaran HAM.
Wacana ini tentunya tidak lepas dari polemik
yang saat ini dirasakan oleh sejumlah polisi wanita (polwan), terkait keputusan Kapolri No. Pol:
Skep/702/IX/2005 tentang penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri
yang tidak dibolehkan memakai jilbab.
Kebijakan
tersebut rupanya menjadi kendala bagi sejumlah polwan untuk berjilbab. Menurut
pemberitaan yang gencar ditayangkan dalam sejumlah media, bahwasanya Mabes Polri
mengaku sulit untuk mengubah peraturan kapolri (Perkap) yang mengatur soal
seragam anggota Polri termasuk polwan. Terlebih, jika memperbolehkan jilbab
untuk digunakan sebagai pakaian tambahan polwan. Oleh karena itu, sekiranya kebijakan
ini perlu dikaji kembali.
Berpijak
pada rumusan yang telah ditawarkan Pancasila, sesungguhnya larangan menggunakan
jilbab, baik di instansi pemerintahan, tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam falsafah negara. Pada sila pertama ditegaskan, kehidupan bernegara
yang tumbuh di Indonesia dilandasi oleh Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya,
rumusan tersebut sejatinya bersumber dari ruh dan semangat bangsa Indonesia
sendiri.
Pelarangan
penggunaan jilbab tidak hanya mengganggu nilai-nilai yang diajarkan pancasila
melalui kebebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan aturan yang telah di khittah
kan. Namun kebijakan yang tergolong deskriminatif tersebut, seolah menutup mata
dari rangkaian sejarah tentang semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahwasanya
pemahaman beragama yang dikultuskan dalam sila pertama dalam Pancasila merupakan
alasan utama bangsa ini membebaskan diri untuk meraih kemerdekaan.
Merujuk pada beberapa literature sejarah, diketahui bahwa sejumlah
perempuan yang yang pernah berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,
telah lebih dahulu menggunakan jilbab. Sebutlah Rohana Kudus, Cut Nya’
Dien dan Rahma el Yunusiah yang menjadikan jilbab sebagai identitas
dirinya. Bahkan dalam riwayat Cut Nya’ Dien, jilbab yang ia kenakan menjadi simbol
kekuatan bagi dirinya bahwa perempuan juga mempunyai peran yang strategis di
medan perang. Dalam konteks ini, asumsinya adalah tidak ada permasalahan yang
signifikan bagi para penegak hukum (polwan) untuk mulai menggunkan jilbab,
layaknya polwan yang bertugas di Nangroe Aceh Darussalam.
Dalam penelusuran sejarah tentang peradaban masyarakat arab,
digambarkan bahwa budaya arab dipengaruhi oleh peradaban Mesoptamia (3500-2400
SM). Perempuan-perempuan pada bangsa ini telah lebih dahulu menggunakan kain yang
menjuntai (tsiyab atau tsaub) sebagai penutup tubuh dan kepalanya.
Peradaban ini pun menjadi peraban pertama saat itu yang turut membentuk
karakter budaya dan masyarakat bangsa Arab. Walaupun masih dalam konstruksi
patriarkhi, namun segala bentuk tradisi
dan kebudayaan masyarakat Mesoptamia saat itu, memberikan pengaruh besar
bagi perkembangan peradaban, salah satunya tentang lahirnya hukum Hammurabi (hammurabi
code). Hukum Hammurabi ini pernah dikenal sebagai hukum Mesoptamia dan menjadi
salah satu naskah hukum pertama yang paling lengkap dalam sejarah umat manusia.
Sebagian isinya kemudian direkam dalam kitab klasik, termasuk diantaranya
adalah Kitab Talmud tentang penggunaan jilbab (Abdullah Ahmed An Na’im: 2004).
Begitu juga dalam ajaran agama Yahudi (Kitab Taurat), sudah mengenal istilah
yang serupa dengan jilbab seperti tiferet. Demikian halnya dengan Kitab
Injil yang mengenalnya dengan sebutan redid, zammah dan zaif. (Nasaruddin
Umar: 1996).
Hal ini dikarenakan
bahwa jilbab berfungsi sebagai alat bagi perempuan untuk menutup aurat. Selain
bermakna ibadah, jilbab juga sebagai penghias dan identitas diri perempuan
muslim. Di dalamnya tersirat ide yang mengukuhkan bahwa perempuan mempunyai hak
atas tubuh (previlledge) bagi dirinya sendiri. Bahkan, dibalik itu terdapat makna lain atas
penggunaan jilbab lebih dari sekedar pakaian atau tsiyab semata. Yaitu sebagai
metode membangun hubungan kosmik dengan sang pencipta (hablum minallah).
Maka perlu
dicatat, secara esensial menurut Pancasila dan UUD 1945, Indonesia sangat
kental dengan muatan pandangan Islam tanpa harus mendikotomikan antara aturan
negara dan agama. Pesan keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan merupakan dimensi
substansial yang harus senantiasa ditumbuh kembangkan dalam pemikiran dan
tindakan manusia.
Sekiranya,
moment ini merupakan peluang bagi setiap elemen masyarakat dan pemerintah agar
dapat bersikap lebih dewasa. Tidak hanya polri, sejumlah instansi
pemerintahan/swasta pun agar mulai menganggarkan kebijakan yang sensitive
terhadap hak-hak perempuan. Desakan untuk dizinkannya polwan menggunakan jilbab
memang sudah menjadi hal yang lumrah. Ditakutkan, kebijakan deskriminatif ini
pada akhirnya akan menggangu dan menjadi pemicu distabilitas dari berbagai
pihak yang mempunyai kepentingan.
Melalui
kacamata agama dan negara, seyogyanya penggunaan jilbab mesti dipandang sebagai
hak asasi yang telah melekat pada setiap diri manusia (baca: perempuan). Melarangnya
berarti melanggar hak asasi perempuan. Maka wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dilindungi oleh Negara dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Atas dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa, negara telah menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah dan memeluk agamanya sesuai
dengan kepercayaan masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menghormati
hak atas keyakinan dan perwujudan nilai-nilai transendental beragama
bagi setiap pemeluk agama. (..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar