Merinding membaca laporan
kekerasan terhadap anak yang dirilis Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA).
Selama 2012, Komnas PA menerima sebanyak 2.637 laporan kekerasan terhadap
anak-anak. Dari jumlah tersebut, 62 persen di antaranya merupakan kekerasan
seksual, sisanya merupakan kekerasan fisik.
Kondisi pilu anak Indonesia
pada 2012 meningkat dari laporan tahun sebelumnya. Pada 2011, Komnas PA
menerima 2.509 laporan kekerasan terhadap anak. Komposisinya masih sama,
kekerasan seksual lebih mendominasi. Sekitar 52 persen merupakan kekerasan
seksual dan pada 2012 naik 10 persen. Tentu, data di atas merupakan fenomena
gunung es.
Kondisi memilukan anak-anak di
atas sejatinya sangat ironis karena kita memiliki instrumen perlindungan anak,
baik berupa amanat konstitusi, peraturan perundangan, maupun lembaga
negara. Negara, melalui amanat Pasal 34 UUD 1945, dengan tegas menyatakan,
fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara.
Indonesia juga sudah
meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak tahun 1989 dengan Kepres 36
tahun 1990, sehingga Konvensi PBB menjadi hukum Indonesia dan mengikat bagi
seluruh warga negara In donesia. Pemerintah melalui DPR juga melahirkan UU No
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga mengatur hak dan kewajiban
anak serta pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai
lembaga negara independen.
Kondisi Lemah
Jika semua instrumen telah kita
miliki, lalu di mana letak masalahnya sehingga kasus kekerasan seksual pada
anak marak terjadi. Secara sederhana, kita bisa katakan bahwa instrumen
perlindungan anak tidak berjalan atau bekerja efektif. Maraknya kasus kekerasan
seksual pada anak merupakan bentuk kegagalan pemerintah melakukan perlindungan
terhadap anak.
Terakhir, peristiwa memilukan
hati menimpa bocah berinisial RI di Jakarta. RI diindikasikasikan mengalami
kekerasan seksual hingga meninggal. Maka, sudah seharusnya pemerintah
menjadikan momentum ini sebagai evaluasi dan bekerja keras memperbaiki upaya
perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Sejatinya, pemerintah telah
mencanangkan program nasional kota layak anak, tapi pada praktiknya
pengarusutamaan program-program semacam ini sering dikalahkan oleh kepentingan
lain, seperti komersialisasi. Banyak kota yang tidak ramah anak. Ruang publik
yang seharusnya memiliki fasilitas tumbuh kembang anak justru terabaikan.
Lahirnya UU Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan hal yang sangat menggembirakan karena
dapat mengisi kekosongan aturan yang terdapat dalam undang-undang
lainnya. Kasus kekerasan seksual terhadap anak erat kaitannya dengan kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku kekerasan
seksual cenderung mengacu pada orang-orang yang berada dekat dengan korban
dalam kehidupan sehari-harinya.
Instrumen hukum yang menjerat
pelaku kekerasan seksual pada anak juga dinilai terlalu lemah, sehingga tidak
memberikan efek jera yang efektif.
Dalam UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya dapat
dihukum maksimal 15 tahun penjara (Pasal 82). Hukuman maksimal ini pun belum
tentu diberlakukan bagi si pelaku karena nyatanya vonis hakim selalu di bawah
tuntutan maksimal.
Dari sisi korban, sampai saat
ini bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh aparat penegak hukum masih
terbatas sifatnya karena lebih terpaku pada ada-tidaknya aturan yang
mengharuskan mereka untuk melakukan hal itu. Padahal, kedudukan seorang anak
yang menjadi korban sekaligus menjadi saksi dalam kasus kekerasan seksual
sangat penting.
Praktiknya, penegak hukum
kedapatan mengabaikan hak-hak anak sebagai saksi, yaitu dalam hal penerapan
Pasal 171 KUHAP. Dalam ketentuan tersebut, masalah mendasar yang harus
diutamakan dalam pemeriksaan saksi maupun korban kekerasan seksual yang masih
anak-anak adalah membantu mengatasi penderitaan fisik maupun psikis korban.
Revitalisasi Peran
Pemerintah dinilai belum
mempunyai sistem mekanisme dan manajemen perlindungan terhadap anak. Padahal,
sudah ada Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Masalahnya
ada pada implementasi dari undang-undang tersebut. Dalam UU No 23 Tahun 2002
diamanahkan penanggung jawab perlindungan terhadap anak ada di tangan
masyarakat, keluarga, pemerintah, dan negara. Pada kenyataannya, keempat unsur
tersebut belum berperan maksimal melindungi anak.
Pemerintah melalui Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI)
harus menyosialisasikan secara efektif mengenai Pengarusutamaan Hak Anak (Puha) untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Saat ini, sudah mulai dicanangkan kota/kabupaten layak anak. Seharusnya, hal itu tidak hanya jadi ikon, tapi pemerintah daerah dan masyarakat setempat harus benar-benar melaksanakan indikator dari kota/kabupaten layak anak.
harus menyosialisasikan secara efektif mengenai Pengarusutamaan Hak Anak (Puha) untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Saat ini, sudah mulai dicanangkan kota/kabupaten layak anak. Seharusnya, hal itu tidak hanya jadi ikon, tapi pemerintah daerah dan masyarakat setempat harus benar-benar melaksanakan indikator dari kota/kabupaten layak anak.
Masyarakat juga harus proaktif
dalam mencegah dan melaporkan kejadian kekerasan pada anak-anak. Dan, aparat
pun harus cepat tanggap merespons hal tersebut, sehingga masyarakat yang me
laporkan tidak merasa dipersulit dan malah membuat mereka enggan melapor.
Pemerintah harus memberi pendampingan kepada anak yang men- jadi korban
kekerasan seksual.
Keluarga sebagai sekolah
pertama dan utama bagi anak sudah semestinya dikembalikan peran vitalnya dalam
mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak serta mampu
memproteksi anak dari segala tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Pencegahan
budaya permisif dan penjagaan atas keutuhan rumah tangga harus menjadi
kesadaran kolektif semata-mata untuk menjaga masa depan anak Indonesia.
Terakhir, upaya hukum harus
memberikan efek jera pada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak.
Memperberat sanksi pada pelaku tindak kekerasan dan pencabulan pada anak patut
diupayakan secara serius agar hukum benar-benar berpihak pada anak Indonesia.
Jazuli Juwaini ; Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI
REPUBLIKA,
12 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar