Sabtu, 29 Juni 2013

Darurat Perlindungan Anak

Merinding membaca laporan kekerasan terhadap anak yang dirilis Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA). Selama 2012, Komnas PA menerima sebanyak 2.637 laporan kekerasan terhadap anak-anak. Dari jumlah tersebut, 62 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual, sisanya merupakan kekerasan fisik.

Kondisi pilu anak Indonesia pada 2012 meningkat dari laporan tahun sebelumnya. Pada 2011, Komnas PA menerima 2.509 laporan kekerasan terhadap anak. Komposisinya masih sama, kekerasan seksual lebih mendominasi. Sekitar 52 persen merupakan kekerasan seksual dan pada 2012 naik 10 persen. Tentu, data di atas merupakan fenomena gunung es.

Kondisi memilukan anak-anak di atas sejatinya sangat ironis karena kita memiliki instrumen perlindungan anak, baik berupa amanat konstitusi, peraturan perundangan, maupun lembaga negara. Negara, melalui amanat Pasal 34 UUD 1945, dengan tegas menyatakan, fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara. 

Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak tahun 1989 dengan Kepres 36 tahun 1990, sehingga Konvensi PBB menjadi hukum Indonesia dan mengikat bagi seluruh warga negara In donesia. Pemerintah melalui DPR juga melahirkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga mengatur hak dan kewajiban anak serta pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga negara independen.

Kondisi Lemah

Jika semua instrumen telah kita miliki, lalu di mana letak masalahnya sehingga kasus kekerasan seksual pada anak marak terjadi. Secara sederhana, kita bisa katakan bahwa instrumen perlindungan anak tidak berjalan atau bekerja efektif. Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak merupakan bentuk kegagalan pemerintah melakukan perlindungan terhadap anak. 

Terakhir, peristiwa memilukan hati menimpa bocah berinisial RI di Jakarta. RI diindikasikasikan mengalami kekerasan seksual hingga meninggal. Maka, sudah seharusnya pemerintah menjadikan momentum ini sebagai evaluasi dan bekerja keras memperbaiki upaya perlindungan anak dari kekerasan seksual.

Sejatinya, pemerintah telah mencanangkan program nasional kota layak anak, tapi pada praktiknya pengarusutamaan program-program semacam ini sering dikalahkan oleh kepentingan lain, seperti komersialisasi. Banyak kota yang tidak ramah anak. Ruang publik yang seharusnya memiliki fasilitas tumbuh kembang anak justru terabaikan. 

Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan hal yang sangat menggembirakan karena dapat mengisi kekosongan aturan yang terdapat dalam undang-undang lainnya. Kasus kekerasan seksual terhadap anak erat kaitannya dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku kekerasan seksual cenderung mengacu pada orang-orang yang berada dekat dengan korban dalam kehidupan sehari-harinya.

Instrumen hukum yang menjerat pelaku kekerasan seksual pada anak juga dinilai terlalu lemah, sehingga tidak memberikan efek jera yang efektif.
Dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya dapat dihukum maksimal 15 tahun penjara (Pasal 82). Hukuman maksimal ini pun belum tentu diberlakukan bagi si pelaku karena nyatanya vonis hakim selalu di bawah tuntutan maksimal. 

Dari sisi korban, sampai saat ini bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh aparat penegak hukum masih terbatas sifatnya karena lebih terpaku pada ada-tidaknya aturan yang mengharuskan mereka untuk melakukan hal itu. Padahal, kedudukan seorang anak yang menjadi korban sekaligus menjadi saksi dalam kasus kekerasan seksual sangat penting.

Praktiknya, penegak hukum kedapatan mengabaikan hak-hak anak sebagai saksi, yaitu dalam hal penerapan Pasal 171 KUHAP. Dalam ketentuan tersebut, masalah mendasar yang harus diutamakan dalam pemeriksaan saksi maupun korban kekerasan seksual yang masih anak-anak adalah membantu mengatasi penderitaan fisik maupun psikis korban.

Revitalisasi Peran

Pemerintah dinilai belum mempunyai sistem mekanisme dan manajemen perlindungan terhadap anak. Padahal, sudah ada Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Masalahnya ada pada implementasi dari undang-undang tersebut. Dalam UU No 23 Tahun 2002 diamanahkan penanggung jawab perlindungan terhadap anak ada di tangan masyarakat, keluarga, pemerintah, dan negara. Pada kenyataannya, keempat unsur tersebut belum berperan maksimal melindungi anak.

Pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
harus menyosialisasikan secara efektif mengenai Pengarusutamaan Hak Anak (Puha) untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Saat ini, sudah mulai dicanangkan kota/kabupaten layak anak. Seharusnya, hal itu tidak hanya jadi ikon, tapi pemerintah daerah dan masyarakat setempat harus benar-benar melaksanakan indikator dari kota/kabupaten layak anak.

Masyarakat juga harus proaktif dalam mencegah dan melaporkan kejadian kekerasan pada anak-anak. Dan, aparat pun harus cepat tanggap merespons hal tersebut, sehingga masyarakat yang me laporkan tidak merasa dipersulit dan malah membuat mereka enggan melapor. Pemerintah harus memberi pendampingan kepada anak yang men- jadi korban kekerasan seksual.

Keluarga sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak sudah semestinya dikembalikan peran vitalnya dalam mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak serta mampu memproteksi anak dari segala tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Pencegahan budaya permisif dan penjagaan atas keutuhan rumah tangga harus menjadi kesadaran kolektif semata-mata untuk menjaga masa depan anak Indonesia.

Terakhir, upaya hukum harus memberikan efek jera pada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak. Memperberat sanksi pada pelaku tindak kekerasan dan pencabulan pada anak patut diupayakan secara serius agar hukum benar-benar berpihak pada anak Indonesia.

Jazuli Juwaini ; Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI
REPUBLIKA, 12 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar