Sejak masa pertama Madinah,
tradisi keilmuan telah terbentuk melalui mun culnya sahabat-sahabat yang
menciptakan spesialisasi pengetahuan. Misalnya, Abdullah ibn `Abbas yang ahli
da lam bidang penafsiran Alquran, Abdullah ibn Mas'ud yang menjadi ahli fikih,
serta Zaid ibn Tsabit yang mencatat dan menghafalkan Alquran. Satu abad
kemudian, muncul tujuh ahli fikih di Makkah dan Madinah yang menjadi rintisan
sistem mazhab.
Tradisi keilmuan ini hadir di
Nusantara. Seperti diketahui, Islam yang hadir di kepulauan ini adalah Islam
yang telah dikembangkan di Persia dan kemudian anak Benua India yang
berorientasi kuat pada tasawuf. Inilah yang menjelma gelombang Islamisasi di
abad ke-13 yang menjadi akar pertama pesantren.
Gelombang ini bercorak
fikih-sufistik, di mana pengajaran atas syariah berjalin- kelindan dengan
pendalaman tasawuf.
Maka, di abad itu kitab
fikih-sufi stik seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam al- Ghazali telah
menjadi tren di Nusantara. Di kisaran abad itu pula (ke-16) terjadi
`pemurnian tasawuf' melalui kritik al- Raniri atas ajaran `Wujudiyah' Hamzah
Fansuri, serta hukuman atas Siti Jenar oleh Dewan Walisongo. Akar
keislaman ini yang disempurnakan oleh gelombang Islamisasi kedua abad ke-19
oleh `jaringan ulama Jawi'.
Jaringan ulama ini merupakan
putra-pu-tra terbaik bangsa yang belajar di Mak- kah dan mendirikan pesantren
setelah pulang ke Tanah Air. Nama-nama besar ini meliputi Kiai Nawawi Banten,
Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Arsyad
Banjar, Kiai Abdus Shomad Palembang, dan Kiai Khalil Bangkalan.
Jaringan ulama ini membawa
tradisi baru, yakni pendalaman ilmu fikih secara tuntas melalui pengembangan
alat-alat bantu seperti ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadis, dan tidak
lupa ilmu akhlak. Hal ini tecermin dalam karya para ulama tersebut, misalnya
Sabil al-Muhtadin karya Tuan Guru Arsyad Banjar, Nur al-Zhalam karya Kiai
Nawawi Banten, dan seterusnya.
Merekalah yang mengenalkan
pendalaman bahasa Arab beserta cabang- cabang ilmunya di pesantren. Pada titik
ini, pendalaman atas ilmu fikih secara tuntas tetap dilambari oleh pengamalan
fikih-sufistik di dalam laku kehidupan.
Maka, ulama seperti Kiai Hasyim
Asy'ari dan Kiai Mahfudz Termas tidak dikenal sebagai guru tarekat atau tokoh
sufi , melainkan sebagai sarjana Islam yang memiliki kapasitas keilmuan sangat
tinggi.
Hanya, meskipun para ulama
tersebut merupakan `ulama syariat', akhlak sufistik tetap menjadi pegangan
utama dalam pengamalan Islam. Penguasaan atas ilmu syariat dan pengamalan
fikih-sufistik ini merupakan gabungan gelombang Islamisasi abad ke-13 dan ke-19
yang melembaga di dalam pesantren (Abdurrahman, 2004: 214--227).
Subkultur Islam
Dengan demikian, pesantren
merupakan produk paripurna Islamisasi Nusantara. Bahkan, sebagai lem baga
pendidikan, ia merupakan kesinambungan dari lembaga pendidikan Mandala era
Hindu-Buddha. Kata pesantren pun diambil dari bahasa Sansekerta, sashtri
(pengkaji kitab suci Hindu), yang bertransformasi menjadi santri.
Oleh karena itu, pesantren
merupakan perwujudan kultural Islam sebagai hasil dari proses pribumisasi
Islam. Perwujudan kultural ini merupakan pertemuan antara ajaran normatif Islam
dan tradisi spiritual Hindu-Buddha. Tentu pertemuan ini telah terislamkan,
sehingga corak spiritualitas Islam bersifat syar'i sebagaimana terlihat di
dalam corak fikih-sufi stik. Pola kultural ini tidak terlepas dari model dakwah
Walisongo yang memang telah menggerakkan pribumisasi Islam. Dari sini terlihat
cikal-bakal pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
dan Sunan Giri di Giri Kedaton.
Dari pola kultural ini maka
pesantren menjelma sebagai sub-kultur yang unik, independen, sekaligus bisa
memengaruhi kultur mainstream. Dalam kaitan ini terdapat tiga keunikan yang
menjadi karakter dari sub-kultur pesantren. Pertama, asketisisme (zuhud). Ini
me rupakan nilai khas pesantren yang menempatkan kualitas spiritual sebagai
nilai utama.
Kedua, perilaku unik yang lahir
dari nilai unik di atas. Berdasarkan asketisisme, para santri kemudian
mencintai ilmu-ilmu agama dan mencintai ahli ilmu agama (kiai). Dengan
demikian, asketisisme pesantren akhirnya bersifat ilmiah. Ketiga, kepemimpinan
unik yang lahir dari nilai dan perilaku unik. Kepemimpinan unik ini
diperankan oleh kiai, yang bukan pemimpin administratif, melainkan
moral-intelektual. Hal ini mendasar, sebab kiai telah memandatkan kepemimpinan
administratif kepada lurah pondok yang berfungsi sebagai eksekutif pengatur
organisasi. Dalam kaitan ini, kepemimpinan kiai sering menjadi `oposisi
kultural' bagi kepemimpinan negara.
Segenap gambaran di atas
menunjukkan lanskap luas pesantren sebagai bagian dari sub-kultur Islam di
Indonesia. Pola pendidikan di dalam pesantren merupakan pola keislaman di
Nusantara yang memusat dalam proses pendidikan. Pemahaman ini yang perlu
dimiliki oleh para penggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren, yang kini
marak dibicarakan. Sayangnya, logika di balik RUU ini telah menempatkan
pesantren, murni sebagai lembaga pendidikan yang akhirnya membutuhkan `dukungan
struktural' dari negara. Jika pun dibutuhkan "penanganan
pemerintah", hal ini perlu didasarkan pada penghormatan.
Penempatan pesantren an sich
sebagai lembaga pendidikan akan mencerabut khazanah bangsa ini dari akar
budayanya dan, tentu saja, akar kemanfaatannya bagi republik ini. Hal ini
mendasar, sebab pesantren merupakan fondasi utama bagi Islam moderat, toleran,
dan rahmatan lil `alamin yang berperan sebagai pembentuk kebangsaan
Indonesia. Seperti di ketahui, para ulama pesantrenlah yang merumuskan
nasionalisme Islam yang kompatibel dengan negara-bangsa, demokrasi, dan
kemodernan (..)
REPUBLIKA,
18 Januari 2013
cialis 5mg generic most users ever online was
BalasHapus[url=http://cialiswithoutadoctorprescriptions.com]cialis without a doctor prescription
[/url] cialis for women does it work your last visit
cialis without a prescription
- cialis 5mg replies
cialis it is currently
Mas, coba kontak lewat email saja.
BalasHapusfadhli_bull@yahoo.co.id