Minggu, 25 Desember 2011

Pesan Perdamaian



”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Setiap orang berhak atas kebebasan dan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Kutipan ayat dari Undang-Undang 1945 pasal 28E di atas, tentu tidak berangkat dari ruang yang kosong. Tersirat pesan penting agar segera dipecahkan dan dikompromikan. Melaui semangat toleransi, pesan Undang-Undang tersebut seyogyanya dapat diwacanakan di masyarakat, guna meminimalisir  kekerasan atas nama agama yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi, serta berusaha meleburkan pemahaman antar umat beragama secara toleran dan berkemanusiaan.

Menutup jalan dialog dengan menjalankan kehidupan beragama secara eksklusif cendrung melahirkan perbedaan. Respon yang berdasarkan kapasitas dan pengetahuan, menunjukkan bahwa manusia bebas memilih keyakinan dan sikap keagamaan yang kelak dimintai pertanggungjawaban. Dalam kajian lintas agama yang dilakukan oleh banyak pemikir kontemporer dunia menunjukkan, bahwa semua agama yang berbeda dan beragam sesungguhnya memiliki hubungan satu sama lain, keterkaitan, titik temu bahkan kesatuan, karena berasal dari Tuhan yang Esa.

Oleh karena itu, dalam kehidupan beragama, dialog adalah peluang bagi terwujudnya pemahaman yang toleran serta ruang dalam menciptakan perdamaian. Dialog yang sejati akan membawa harapan baru bagi manusia. Ketika orang menemui jalan buntu dan atau tidak mempunyai harapan lagi, dialog membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan dialog juga, memungkinkan warga membangun suatu masyarakat yang harmonis berdasarkan nilai kebenaran, keadilan, kasih, dan kebebasan. Dialog membuka ruang untuk memelihara dan mengembangkan relasi yang benar (right relationship) antara pencipta, sesama, diri sendiri, dan alam-lingkungan.

Dalam Al Qur’an sendiri telah ditegaskan, bahwa Nabi tidak diutus kecuali untuk mengemban misi penyebaran kasih sayang universal. Kasih sayang Islam tidak hanya dikhususkan untuk kaum Muslimin, namun juga dapat dirasakan oleh seluruh makhluk di muka bumi. QS. Al Anbiya’ (21): 107.

Habis nyuci banyak ni, Griya Apem.

Satu Tuhan Banyak Agama


Judul Buku       : Satu Tuhan Banyak Agama
Penulis              : Media Zainul Bahri
Penerbit            : PT. Mizan Publika
Cetakan           : I, Agustus 2011
Tebal                : xv + 535
Harga               : Rp. 89.000,-
Peresensi          : Ashabul Fadhli

Sebuah pemikiran dan gagasan yang menarik. Begitulah sekiranya kata-kata yang dapat mewakili tulisan dalam buku ini. Buku yang lebih kental dengan kajian akademik ini mencoba mengeksplorasi suatu pandangan keagamaan secara konkret tentang konsep wahdatul wujud, the unity of being atau pluralisme agama.

Buku yang diterbitkan pada Agustus 2011 ini, menawarkan konsep kesatuan wujud yang dikaitkan dengan diskursus seputar pluralisme agama. Tuhan, alam, dan manusia pada dasarnya satu, yang berputar pada Tuhan sebagai wujud Absolout. Sekilas topik ini melahirkan kontroversial. Namun, dalam dunia akademis apa yang bagi masyarakat disebut kontroversial, sesungguhnya merupakan hal yang biasa-biasa saja. Karena ilmu pengetahuan berkembang justru ketika dihadapkan pada berbagai persoalan konteroversial untuk menemukan teori dan pemahaman baru yang lebih mendekati kebenaran.

Sebagai terbitan dari PT. Mizan Publika Jakarta, buku ini juga merupakan hasil disertasi penulis dalam meraih gelar Doktor pada sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui buah karya yang telah berwujud buku ini, penulis yang juga dosen pada Fakultas Ushuludin dan Filsafat, mengulas tiga pemikir Muslim seperti Ibnu ’Arabi, Rumi, dan Al Jili yang konsen terhadap kajian kesatuan agama-agama dalam pandangan kaum sufi. Bagi penulis, pemikiran dari tiga tokoh di atas penting untuk diangkat. Hal itu dikarenakan Ibnu ’Arabi, Rumi, dan Al Jili adalah tokoh sentral dan menonjol dan amat signifikan atas konsep kesatuan agama-agama.

Pertanyaan tentang ”Bagaimana agama-agama bisa memiliki kesatuan secara esoterik (bathin)” tentu bisa sedikit menggilitik dan menjadi bahan pikiran bagi pengkaji agama. Bagaimana tidak, realitas umat beragama menunjukkan sangat tertutup dan enggan berkomentar untuk hal semacam ini. Namun hal tersebut berbanding terbalik ketika buku yang diberi judul ”Satu Tuhan Banyak Agama”, mengkajinya secara serius dan mendalam. Dengan pembahasan panjang yang dikelompokkan dalam VIII Bab, sudah barang tentu penulis bermaksud membongkar kajian lintas agama dengan perspektif berbeda bahwa betapa agama masih relevan untuk terus diperbincangkan.

Kajian dalam buku ini tergolong berat dan serius secara akademik. Jika dilihat secara garis besar, fokus studi buku setebal xv + 535  ini, dirumuskan dalam dua rumusan masalah. Pertama, bagaimana pandangan Ibn ’Arabi, Rumi dan Al Jili tentang kesatuan agama-agama; dan kedua, dimana letak kesatuan dan perbedaan (agama-agama). Adapun mengenai dua permasalahan tersebut, akan dibahas menggunakan pendekatan hermeneutik rekonstruksi, yaitu membangun kembali pemahaman atau penafsiran atas (makna) teks seperti yang dimaksud oleh pengarangnya, dan bukan membuat makna baru yang berbeda dengan apa yang dibangun oleh penulis teks.

Dialog Sebagai Upaya Mewujudkan Kesatuan

Dalam kehidupan beragama, dialog adalah peluang bagi terwujudnya pemahaman yang toleran serta ruang dalam menciptakan perdamaian. Dialog yang sejati akan membawa harapan baru bagi manusia. Ketika orang menemui jalan buntu dan atau tidak mempunyai harapan lagi, dialog membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan dialog juga, memungkinkan warga membangun suatu masyarakat yang harmonis berdasarkan nilai kebenaran, keadilan, kasih, dan kebebasan. Dialog membuka ruang untuk memelihara dan mengembangkan relasi yang benar (right relationship) antara pencipta, sesama, diri sendiri, dan alam-lingkungan.

Menutup jalan dialog dengan menjalankan kehidupan beragama secara eksklusif cendrung melahirkan perbedaan. Menurut penulis dengan nama lengkap Media Zainul bahri, perbedaan dari bentuk-bentuk agama lebih disebabkan oleh interaksi antara Pencipta dan respon manusia. Respon yang berdasarkan kapasitas dan pengetahuan, menunjukkan bahwa manusia bebas memilih keyakinan dan sikap keagamaan yang kelak dimintai pertanggungjawaban. Jika dihadapkan pada ketiga pandangan tokoh dalam kajian lintas agama ini menunjukkan, bahwa semua agama yang berbeda dan beragam sesungguhnya memiliki hubungan satu sama lain, keterkaitan, titik temu bahkan kesatuan, karena berasal dari Tuhan yang Esa.

Di tengah usaha mempertemukan dialog antar agama, buku ini tentu saja sangat mendukung dijadikan sebagai pegangan, apalagi gagasan-gagasan dalam buku ini didukung secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak tangung-tangung, buku yang juga diperkaya oleh tulisan Kamarudin Hidayat-Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dalam tulisan pembuka, merupakan salah satu bentuk apresiasi atas kapabilitas penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

Dalam konteks Indonesia yang majemuk, penulis beranggapan, pandangan-pandangan keagamaan yang toleran dan inklusif perlu terus diupayakan dan disosialisasikan. Apalagi mayoritas Muslim Indonesia dengan nilai-nilai ketimuran yang dikenal santun dan toleran merupakan modal sosial yang baik. Ibarat benih yang unggul, tinggal terus disirami dan diberi pupuk yang memadai.

Negara Paripurna


Judul Buku       : Negara Paripurna
Penulis              : Yudi Latif
Penerbit            : Gramedia Jakarta
Cetakan           : Mei 2010
Tebal                : xxvii + 667
Harga               : Rp.
Peresensi          : Ashabul Fadhli, S.H.I

Pembicaraan seputar Nasionalisme atau yang akhir-akhir ini sering kita dengar dengan istilah Pancasila, bukanlah suatu hal yang dianggap baru lagi. Wujud pancasila yang diasumsikan sebagai semangat gotong royong adalah bukti bahwa Pancasila bukan hanya rumusan yang sifatnya tersirat, namun tersurat. Begitu juga hal nya dengan isi Pancasila sebagai dasar negara. Nilai-nilai moralitas ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat persatuan, konsesus secara bijaksana, serta keadilan sosial, sekiranya telah tertanam dalam benak anak cucu bangsa.
Melalui tulisan dalam buku terbarunya yang berjudul “Negara Paripurna-Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”, Yudi Latif memberikan gagasan cemerlang dengan ulasan panjang lebar yang tidak hanya membahas seputar Pancasila saja. Dalam tulisannya, Akademisi Paramadina ini menggali secara rinci mengenai historisitas, rasionalitas, dan aktualitas masing-masing Pancasila dengan menggunakan kacamata sejarah. Yudi Latif merasa dengan menggunakan kacamata sejarah, akan memungkinkan kita untuk melihat jauh ke belakang ke dalam sejarah Nusantara, melalui seluk-beluk perjuangan kemerdekaan sampai ke suasana debat ideologis yang berkembang saat ini.
Buku yang diterbitkan oleh Gramedia pada Mei 2011 ini, dimaksudkan sebagai sumber rujukan, dengan cara merekonstruksi alam pemikiran pancasila seperti yang diidealisasikan oleh pendiri bangsa ini. Ibarat tambang emas bagi semua yang mau mengerti bagaimana bangsa Indonesia dan negaranya sampai menjadi kenyataan yang tetap kokoh sampai saat ini. Sekaligus menyerukan bahwa Negara Indonesia terlahir bukan hanya sambung tangan dari administrasi bekas jajahan Belanda, tetapi lebih pada tekad perjuangan dan kenyataan sosial dari wujud persatuan suku, agama, ras, dan golongan di tanah air.
Membumikan Pancasila
Dalam buku setebal xxvii + 667 yang ditulis oleh penyandang gelar doktor sosiologi politik ini, banyak mengulas tentang sosok Pancasila yang menurutnya ideal dan sesuai untuk dilaksanankan dewasa ini. Yudi Latif menggambarkan Pancasila sebagai cerminan dari komitmen bangsa Indonesia untuk melaksanakan kehidupan publik-politik yang berlandaskan nilai moralitas dan budi pekerti yang luhur.
Buku yang banyak diapresiasi oleh para tokoh politik, akademisi, dan budayawan Indonesia seperti Taufik Kiemas, fasli Jalal, Kamaruddin Hidayat, Putu Wijaya, dan beberapa tokoh negara lainnya ini, memaparkan bahwa dalam mengamalkan komitmen Pancasila tersebut, Pancasila harus dijalankan secara proposional, bahwa Pancasila bukanlah agama yang berpretensi mengatur sistem keyakinan, sistem peribadatan, sistem norma, dan identitas keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama masing-masing. Namun Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas ketuhanan. Oleh karena itu dalam usaha membumikan Pancasila dari alam idealitas menuju alam realitas, perlu mengahayati fitrah (semangat asal) bernegara seperti yang dipesankan dan dicontohkan oleh para pendiri bangsa sendiri.
Berangkat dari uraian di atas, jelas terbukti bahwa semangat Pancasila tidak akan menemukan titik akhir  Tulisan dalam buku ini telah membuktikan hal itu, dan menjadikan buku karya Yudi Latif ini layak dan sangat menarik untuk di baca. Ketua DPD RI menyebutkan dalam apresiasinya, bahwa buku ini telah berhasil membedah Pancasila dengan ruang historis, rasionalitas, dan aktualitas dari butir-butir filosofis setiap sila Pancasila, sehingga sampai menjadi dasar konstitusi Negara Indonesia.
Berbeda dengan kebanyakan buku lainnya, ulasan dalam buku ini dikemas secara apik dan tidak hanya sekedar tambahan koleksi terhadap kajian sejarah saja. Akan tetapi, buku ini dapat dijadikan sebagai bahan-bahan diskusi, alat penafsiran untuk pemersatu agama dan budaya  serta informasi mengenai bagaimana Pancasila dan UUD 1945 mencapai kesepakatan dari berbagai pemikiran yang berbeda, sejak dari si “Ketuhana yang Maha Esa”, hinga sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Buku yang diperkaya dengan suguhan sejarah ini, sudah seyogyanya menjadi pegangan wajib bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang konsen atau sekedar menjadi pengamat dalam bidang politik dan sejarah Indonesia. Walaupun demikian, narasi dalam penulisan buku inipun sangat mudah untuk dipahami, yang tidak akan menyulitkan pembaca dalam memahami isi dan kandungan dari sisi pengetahuan, hakikat, dan kemanfaatannya.

Habibie: Kecil tapi Otak Semua


Judul Buku       : Habibie: Kecil tapi Otak Semua
Penulis              : A. Makmur Makka
Penerbit            : Edelweiss, Depok
Cetakan           : Pertama, Februari 2011
Tebal                : 355
Peresensi          : Ashabul Fadhli
 
Siapa yang menyangka seorang habibie percaya dengan hal-hal yang bersifat mistis? Habibie yang semamasa kecilnya akrab dipanggil rudi, pernah diberi semacam jimat yang dililitkan ke perut dan diikatkan dengan tali kecil. Pada tali itu dicantolkan sebuah logam. Selain diberi logam, di bawah kasur Habibie kecil juga disimpan sebilah keris yang diberi oleh seorang raja sebagai bukti penjualan rudi secara simbolis. Menurut kepercayaan masyarakat Bugis yang juga dipegang teguh oleh keluarga habibie, kalu ada yang sakit dan tidak sembuh-sembuh, anak itu secara simbolis “dibeli oleh seorang raja.” Syukur setelah itu penyakit habibie sembuh. Namun, bagaimana logika seperti ini dapat diterima oleh Habibie?

Buku yang diberi judul Habibie: Kecil tapi Otak semua ini, merupakan penggalan kisah menarik seorang Habibie yang diramu dalam berbagai peristiwa oleh beberapa narasumber. Dengan rentang waktu yang sangat panjang, rangkaian kisah dalam buku ini  disusun tidak berdasarkan kronologi dan aktualitas, tetapi berdasarkan sekat-sekat tema yang disesuaikan disetiap kejadian dan kisah.
Tulisan dalam buku terbitan Edelweis Jakarta ini, secara apik dikemas berurutan, mulai kisah kecilnya yang jenaka, kebijakan dan gagasannya, hingga peristiwa-peristiwa penting lain yang bisa memberi motifasi bagi pembaca. Menariknya, pada lembaran pertama buku ini, juga ditampilkan beberapa foto habibie yang terkesan unik.
Dilahirkan di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, BJH lahir dengan bantuan dukun beranak yang disebut Sandro, bernama Indo Melo, hanya dengan menggunakan sebilah kulit bambu yang tajam. Beranjak masa kanak-kanak, Rudy, panggilan akrab BJH semasa kecil, berhasil merebut piala dalam lomba menyanyi keroncong. Hingga dewasa kegemaran menyanyi ini masih terbawa dengan lagu-lagu favoritnya antara lain; Sepasang Mata Bola, Hampir Malam di Jogja, dan Widuri. (Halaman. 31-36)

Saat menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, BJH terkenal dengan ketelitiannya. Ini mungkin karena prinsipnya the devil is in details. Wajar jika para kader baik peneliti maupun pejabat struktural di lembaga nondepartemen atau industri strategis selalu berhati-hati saat melaporkan data. BJH memang dikenal memiliki daya memori yang sangat kuat. Data yang dilaporkan seminggu atau sebulan lalu, harus konsisten dengan data yang dilaporkan hari ini.

Daya ingat BJH yang sangat kuat juga diakui oleh Wardiman Djojonegoro, teman sekamar BJH di Aachen semasa mahasiswa. Wardiman yang belajar bahasa Prancis melalui kaset di kamar sebelah tidak bisa cepat hafal pelajaran itu, sementara BJH yang tidak langsung ikut mendengar kaset pelajaran itu di kamar yang lain malah lebih cepat menghafalnya. (Halaman. 154).

Kekuatan daya ingat dan kecerdasan nampaknya menjadi stereotip kebanyakan orang terhadap BJH, demikian pula persepsi dari seorang Jaya Suprana. Budayawan yang juga kelirumolog ini, dalam sebuah acara di depan civitas akademika Universitas Indonesia tahun 2010, dengan lantang setengah berkelakar menyatakan: “Walaupun BJH berpostur kecil, namun di seluruh tubuhnya terdiri dari otak. Berbeda dengan saya yang walaupun gempal, tetapi “isinya” dengkul semua”.        

Saking cerdasnya dalam bidang teknologi, seorang teman BJH di Jerman mengatakan bahwa sebenarnya ia bukan lagi seorang teknokrat, melainkan sudah technosof, orang yang mendalami filsafat teknologi. Tidak mengherankan jika pada 10 Januari 2010, Universitas Indonesia memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada BJH dalam ilmu Filsafat Teknologi. 

Meski demikian hal itu bukan berarti BJH mengabaikan kebugaran fisiknya. BJH bisa berjam-jam menghabiskan waktunya untuk berolah raga renang. Bahkan pada hari-hari berduka setelah Ibu Ainun, sang istri, tidak ada lagi, BJH makin rajin berenang untuk memulihkan kesehatan yang dalam beberapa bulan terakhir siklus tidur malamnya banyak terganggu. (Halaman. 332).

Berjudul lengkap Habibie: Kecil tapi Otak Semua, buku ini berbeda dengan buku sejenis dalam hal setting dan nuansanya. Hal ini disebabkan rentang waktu kejadian yang cukup panjang, maka urutan kejadian disusun tidak berdasarkan kronologis waktu dan aktualitas, tetapi berdasarkan sekat-sekat tema yang sesuai setiap kejadian dan kisah.

Sejumlah kisah yang disajikan dalam buku setebal tiga ratus lima puluh lima halaman ini merupakan kisah yang dialami penulisnya, maupun dikutip dari berbagai narasumber. Banyak kemungkinan yang bisa tergali dalam buku ini yang disuguhkan secara manusiawi; penderitaan, kesedihan, keluguan, pengorbanan, dan lain-lain. Semuanya menghadirkan serba-serbi kehidupan sang technosof. Kendati ada kesan buku ini semacam anekdot karena sejumlah kisah yang dimuat di dalamnya bisa membuat pembaca tersenyum  dan tertawa ketika membacanya.

Habibie & Ainun


Judul Buku       : Habibie & Ainun
Penulis              : Bacharuddin Jusuf Habibiee
Penerbit            : PT. THC Mandiri jakarta
Cetakan           : Pertama, 30 November 2010
Tebal                : xi + 323
Harga               : Rp.
Peresensi          : Ashabul Fadhli, S.H.I

Sederhana, nasionalis, dan penuh etos kerja yang tinggi. begitulah kiranya kata-kata yang tepat untuk menggambarkan tulisan Habibie dalam bukunya yang lebih mirip novel itu. Buku tersebut merupakan hadiah kepada istrinya almarhumah Hj. Hasri Ainun Habibiee binti R. Mohamad Basari, yang biasa ia panggil Ainun, telah lebih dahulu meninggalkannya, setelah menjalani operasi 12 kali dalam 4 minggu.

Tulisan dalam buku terbitan PT. THC Mandiri Jakarta ini juga merupakan permintaan dari berbagai kalangan, yang menganjurkan Habibie untuk menuliskan pengalaman dan rumah tangganya bersama Ainun dan buah hatinya, Ilham dan Thareq. Khusus bagi kehidupan Ainun yang memberikan teladan dan inspirasi sebagai “guru kehidupan”, yang mungkin akan berharga dan bermakna bagi masyarakat untuk dipetik sari-patinya. Bagi Habibie, dengan menulis buku ini telah menjadi terapi atas rasa kerinduannya kepada Ainun. Melalui kata pengantar  Habibie mengatakan, “karena saya dan Ainun adalah dua raga tetapi hanya satu jiwa.

Nama lengkap Bachruddin Jusuf Habibiee dalam buku “Habibie & Ainun”, menyajikan kisah perjalanan hidupnya bersama Ainun sang istri. Cerita tentang pertemuan pertamanya dengan Ainun tak luput diceritakan dalam buku ini. Ainun berasal dari keluarga Besari, Ciumbeluit bandung. Sebuah keluarga yang dipandang ramah, dan intelektual, dan terpelajar. Sepulangnya Habibie dari Jerman, keluarga Besari yang dahulunya tinggal di Cieumbeluit, kini sudah pindah ke jalan Rangga Malela no. 11B Bandung. Dari tempat inilah kisah itu dimulai.

Pagi itu, Fanny adik kandung Habibie mengajak Habibie untuk berkunjung ke keluarga Besari di Rangga Malela no. 11B. Dalam kunjungan itu Habibie tak menyangka akan bertemu dengan Ainun, demikian juga dengan Ainun terhadap Habibie. Mereka terakhir bertemu selepas SMA. Setelah itu Habibie memilih belajar insinyur ke Jerman, sedangkan Ainun masuk fakultas kedokteran di Jakarta. Sudah lebih 7 tahun mereka tidak bertemu. Maka wajar saja bila pertemuan mereka saat itu agak sedikit kaku dan spontanitas, sembari memuji satu sama lain. Pertemuan itu tampaknya membekas di hati mereka. Mengenai peristiwa tersebut, saat masa produktifnya Ainun sempat menuliskannya dalam buku A. Makmur Makka “Setengah Abad Prof. Dr.-Ing. B.J.Habibiee, Kesan & Kenangan” pada tahun 1986. Sebuah kenangan yang tak kan terlupakan.

Perjuangan dan Kerja Keras
Jelas terlihat bahwa Habibie mempunyai memory ingatan yang masih  kuat di usianya sekarang. Kebersamaanya dengan Ainun semenjak usia remaja hingga Ainun mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai kata-kata terakhirnya diceritakan sejelas mungkin. Dalam beberapa cerita misalnya, saat Habibie harus berjuang hidup bersama Ainun di negeri orang. Habibie menceritakan bagaimana pahit-manisnya hidup di Oberforstbach, sekitar 30 KM dari Aachen-Jerman, tempat ia bekerja. Mulai dari kesehari-hariannya yang selalu disibukkan dengan pelbagai pekerjaan dan aktifitas. Saat malam larut Habibie baru bisa pulang ke rumah. Terkadang, Habibie harus berjalan kaki karena tidak ada bus lagi atau harus menghemat pengeluaran. Setibanya di rumah, Habibie masih harus disibukkan dengan membaca buku-buku dan thesisnya. Begitu pula ingatannya tentang Ainun, ketika Ainun bertugas untuk mengatur ekonomi keluarga (berhemat), memperhatikan kesehatan suami agar tidak mudah sakit, hingga mensiati makanan yang murah namun memenuhi gizi bagi keluarga.

Hidup dalam keterbatasan pernah dijalaninya bersama. Namun tidak sedikitpun Ainun pernah mengeluh hidup bersama Habibie yang jauh dari keluarga besarnya di Bandung. Ainun dan putra-putranya adalah semangat bagi Habibie. Habibie masih ingat bagaimana pandangan mata dan senyuman Ainun dapat menghilangkan lelah dan bebannya sepulang bekerja. Mata dan senyuman Ainun mencerminkan kebahagian dan cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi, tegas Habibie Habibie yang pernah menjadi Presiden ke-3 Indonesia itu.
Pengalaman hidup yang begitu inspiratif. Banyak hal yang bisa diambil dari kisah Habibie dan Ainun. Buku yang memuat 37 Bab ini, sangat menarik sekali untuk dibaca. Masing-masing Bab mengusung sebuah tema yang berbeda dan saling berkesinambungan. Semangat kerja keras Habibie dan ketulusan Ainun merupakan perpaduan yang sangat serasi. Dalam kacamata Hukum Keluarga, interaksi seperti ini setidaknya telah memenuhi konsep keluarga ideal.  

Sebuah keluarga bisa dikatakan sebagai keluarga ideal jika keluarga tersebut mampu mendirikan dasar rumah tangganya di atas fondasi sakinah (ketentraman), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Artinya, keluarga ideal adalah keluarga yang tidak hanya berguna bagi keluarga itu sendiri,  tapi juga berguna bagi kehidupan di lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, untuk meraih prediket ini, sebuah keluarga tidak hanya bermanfaat bagi anggota keluarganya saja, tapi juga berguna bagi masyarakat luas.

Buku dengan cerita pengalaman hidup Habibie dan Ainun ini, jelas berbeda dengan buku lain yang sejenisnya. Selain disuguhkan dalam bentuk novel agar enak dibaca, buku ini sepertinya ditulis dengan rasa penuh emosional dan kaya akan rasa. Petikan-petikan tulisan Ainun dalam beberapa referensi memperkaya tulisan Habibie yang terkesan membentuk kesatuan. Sehingga cerita dalam buku ini saling menguatkan antara tulisan Habibie dan tulisan Ainun. Pesona membaca yang jarang sekali bisa ditemukan.

Dalam akhir penulisan buku ini, sayangnya Habibie tidak menghadirkan lembaran kata penutup sebagai finishing dari tulisannya tersebut. Walaupun demikian, secara esensial hal itu tidak berpengaruh besar terhadap isi cerita. Namun, sebagai gantinya, Habibie menuliskan beberapa kesimpulan atas perasaannya kepada Ainun. Untuk menyempurnakan kesimpulan itu, pada halaman akhir ditutup dengan doa Habibie untuk Ainun yang dipanjatkannya seusai shalat subuh, untuk menenangkan dan mengurangi kegelisahannya.

Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis


 Judul Buku       : Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
Penulis              : Dr. Phil. H. kamaruddin Amin, M.A.
Penerbit            : Hikmah (PT Mizan Republika) jakarta
Cetakan           : Pertama, April 2009
Tebal                : xiii + 513
Harga               : Rp. 80.000,-
Peresensi          : Ashabul Fadhli


Hadis sebagai salah satu rujukan utama setelah Al Qur’an memiliki pengaruh yang kuat dalam sejarah dan keilmuan Islam. Dalam satu sisi, hadis juga menjadi pedoman dalam hal ubudiah, hal itu tak lepas dari asumsi keabsoloutannya serta memiliki jalur periwayatan yang jelas. Artinya hadis tersebut berada dalam posisi shahih serta mempunyai supremasi hukum yang kuat dalam Hukum Islam. Dalam dunia akademis, kajian hadis juga sangat banyak diminati sebagai suatu keilmuan. Namun, bukan hanya para akademisi dan cendekiawan muslim saja yang serius mengkaji hadis, akan tetapi mereka orang-orang Barat non-Muslim juga menggeluti hadis sebagai obyek penelitian.

Berbeda hal nya dengan para sarjana barat yang mengkaji hadis, yang sampai saat ini masih memprtanyakan bukti dan keotentikan hadis secara metodologis. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh para sarjana muslim. Sarjana barat ini tidak percaya sepenuhnya mengenai hadis yang diterima secara verbatim melalui rawi-rawi hadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Mereka masih mempertanyakan keorisinilan hadis dari sisi metodologis, baik itu isi (matan), penerima hadis (sanad), maupun perawi hadis (rawi).

Dalam buku yang berjudul Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, yang ditulis oleh Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A. menyajikan secara runtut bagaimana mengkaji hadis dari sisi metodologi, pemikiran dan polemik antara penelitian yang dilakukan sarjana muslim dan sarjana barat yang diakhiri dengan kesimpulan. Buku ini tentunya berbeda dari buku –buku hadis lainnya. Nilai plus dalam tulisan ini adalah dengan disajikannya pendekatan-pendekatan baru secara fokus dalam menyikapi isu-isu penting yang controversial diantara sarjana Muslim dan non muslim.

Sajian menarik lainnya dalam buku ini adalah bagaimana sarjana Muslim terdahulu menjustifikasi metode-metode yang mereka gunakan untuk mempertahankan kebenaran hadis. Baik itu berasal dari kritik dan isu-isu perpecahan yang dilemparkan barat serta menolak metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan mereka dengan berbagai skeptisme. 

Studi hadis dalam tulisan ini, juga bersebrangan dengan beberapa studi barat tentang topik yang menolak mentah-mentah metode-metode kritik hadis para sarjana Muslim. Menurut sarjana barat, studi hadis dalam Islam adalah suatu kenaifan dan tidak bisa dipercaya tanpa menelaah dan mengujinya secara mendalam. Maka dalam buku ini penulis mengkaji metode-metode yang diterapkan baik oleh para sarjana muslim maupun konsep-konsep atau metode-metode barat terpenting yang ditujukan untuk menentukan kepercayaan hadis sebagai sumber sejarah. Dia juga memfokuskan pada pendekatan-pendekatan baru baik dari para sarjana muslim maupun sarjana non muslim.

Tidak hanya itu, metode pengkodifikasian hadis juga dikupas dalam buku setebal 513 halaman ini. Dalam sebuah literature hadis ditemukan adanya pembukuan hadis yang dilakukan belakangan saat peristiwa hadis diriwayatkan. Kenyataan ini menimbulkan kesenjangan antara literature hadis dan peristiwa hadis yang disampaikan. Persoalan ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Tidak hanya itu, kesalahan rawi hadis terdahulu dalam pengkodifikasian hadis, melahirkan premis miring akan keorisinilan hadis. Karena ditakutkan bahwa matan hadis tidak mencerminkan kata-kata nabi dan sahabat yang sesungguhnya, atau hanya merupakan verbalisasi dari masa sesudahnya yang kemudian dianggap sebagai sunah nabi.

Berbeda halnya dengan metode pendekatan yang dilakukan oleh sarjana barat seperti Fuat Sezgin, M.M. Azami dan Nabia Abbot adalah dengan menggunakan teori common Link. Teori yang pertama diperkenalkan oleh Joseph Scahct pada tahun 1950-an  ini menjadi sumber inspirasi penelitian hadis dalam keserjanaan barat. Pemikiran Schact ini juga telah diperbaharui oleh sarjana barat lainnya seperti Josef van Ess dan Michael Cook. Hasilnya, banyak kontribusi yang mereka berikan hingga memudahkan mereka untuk memverifikasi sebuah hadis untuk dibedakan yang autentik dan yang tidak. Salah satunya dengan menggunakan penanggalan (dating) atas hadis untuk menilai asal usul atau sumbernya.

Untuk menjawab wacana yang dilemparkan sarjana barat melalui metode common link nya itu, dalam buku ini sarjana muslim lebih menitik beratkan metode Al Bani untuk menentukan antentisitas suatu hadis dan kepalsuan suatu hadis. Terutama mengenai hadis-hadis lemah yang terdapat dalam Shahih Muslim.
Adapun inti pokok buku yang ditulis oleh Rektor UIN Alaudin Makassar ini adalah, tentang “Penanggalan hadis-hadis dengan metode isnad “Cum Matn” yang menelaah baik jalur-jalur periwayatan maupun teks-teks hadis. Dalam metode ini isnad-isnad dari versi-versi tersebut diperiksa dengan membandingkan teks-teks dari versi-versi itu pada level periwayatan yang berbeda. Dia mengkaji secara sistematik 163 versi hadis tentang puasa yang ditemukan dalam 39 sumber. Dia cermat membandingkan varian-varian teks yang dimiliki oleh satu bundel isnad, merekonstruksi elemen-elemen tekstual yang dimiliki bersama dan mencatat perbedaan-perbedaan dari versi-versi tersebut.

Dengan membaca buku yang berjudul “Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis”, para pembaca diajak untuk menyelami urgensi kajian hadis. Dengan mengkaji hadis melalui metode dan pendekatan yang benar, akan mengahasilkan kesimpulan berupa asal-usul sumber informasi hadis. Karena asal-usul ini dianggap sebagai bukti atas kepercayaan dan  keantentisitas sebuah hadis.

Kamis, 22 Desember 2011

Model Penemuan Hukum Islam: Pendekatan Terpadu Hukum Islam dan Ilmu Sosial

Berkaitan dengan upaya untuk memperbaharui metode penemuan hukum yang terkesan sudah tidak memberikan sumbangsih penyelesaian masalah dalam studi Hukum Islam, ada dua model yang ditawarkan oleh Louay Safi dan  Muhammad Anas az-Zarqa’ terkait dengan metode tersebut sebagaimana berikut: 

1)        Model Louay Safi
Safi dalam model penemuan hukumnya menitiberatkan pada kajian keislaman secara umum dari segi pemahaman tekstualis ala dia dan sosial. Dari keduanya Safi kemudian berusaha mengintegratifkan keduanya dengan berpegangan kesimpulan-kesimpulan yang sudah didapatkan. Untuk lebih jelasnya berikut model penyimpulan tekstual Safi untuk menemukan hukum-hukum dan konsep-konsep dari teks-teks al-Qur’an dan hadis:

a)      Mengidentifikasi semua pernyataan tekstual yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.
b)      Memahami dan melakukan penafsiran terhadap teks-teks yang terkait tersebut baik secara tahlili (satu persatu) maupun secara maudu’i (dalam hubungan satu sama lain). Pemahaman tersebut dilakukan dalam kerangka bahasa arab dan makna setiap pernyataan ditentukan dalam tiga konteks saling berkaitan, yaitu konteks tekstual, konteks diskursif dan konteks historis.
c)      Melakukan eksplanasi terhadap teks-teks tersebut, yaitu menggali causalegis yang melandasi ketentuan atau tuntunan yang terdapat di dalam teks yang sedang dikaji. Tujuan langkah ini adalah untuk menemukan property atau atribut bersama yang dimiliki oleh sejumlah obyek yang memberi justifikasi penggunaan terma-terma yang sama sebagai referensi obyek-obyek tersebut.
d)     Menyimpulkan hukum-hukum dan aturan-aturan, kemudian melakukan suatu proses abstraksi membangun suatu sistem dan prinsip-prinsip umum yang koheren dari aturan-aturan dan hukum-hukum yang disimpulkan itu.

Adapun prosedur analisis sosialnya juga terdiri atas empat langkah yang kurang lebih parallel dengan prosedur penyimpulan tekstual, yaitu:
a)      Menganalisa tingkah laku individu-individu dalam fenomena sosial yang sedang dikaji untuk menemukan tiga faktor diterimanya, yaitu tujuan berupa sasaran-sasaran yang hendak diwujudkan oleh pelaku; motif berupa dorongan-dorongan psikologis pelaku untuk bertindak yang lahir baik dari suatu komitmen moral atau kepentingan-kepentingan; dan aturan berupa prosedur teknis yang tersedia dan yang harus diikuti oleh pelaku untuk mencapai tujuan tindakannya.
b)      Mengklasifikasi berbagai modus dan tipe tindakan berdasarkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan komponennya.
c)      Mengindentifikasi aturan-aturan umum yang menguasai interaksi berbagai kelompok yang diidentifikasi pada langkah pertama.
d)     Mensistematikakan aturan-aturan umum yang disimpulkan dalam langkah sebelumnya untuk membentuk suatu system yang koheren dan konsisten. 

Dari dua penyimpulan di atas, kemudian Safi mensistematikakan suatu pendekatan integrative yang prosedurnya sebagai berikut:
a)      Menganalisis teks dan fenomena sampai pada kesimpulan yang berupa komponen-komponen dasar yaitu terdiri dari pernyataan dan perilaku.
b)      Mengelompokkan pernyataan atau perilaku yang serupa di bawah satu kategori.
c)      Mengidentifikasi yang sekiranya bisa menyatukan berbagai kategori.
d)     Mengidentifikasi aturan umum (general rules) dan tujuan-tujuan yang mengendalikan interaksi atau interrelasi berbagai kategori.
e)      Mensistematikan himpunan hukum (aturan) yang diperoleh melalui prosedur di atas.

2)        Model az-Zarqa’
Tokoh yang memberikan kontribusi bagi metode pembaharuan khususnya pendekatan integratif adalah Muhammad Anas az-Zahra’. Dalam metodenya dia berusaha menemukan bagaimana sistem ekonomi yang berlandaskan syari’ah (al-Qur’an dan Hadis). Dia memisahkan pernyataan-pernyataan syariah dan ekonomi ke dalam dua kategori, yaitu pernyataan-pernyataan normative (preskriptif) dan pernyataan-pernyataan deskriptif (positif), kemudian mencari titik temu antara pernyataan Islam (wahyu) dan pernyataan ekonomi, dan mengganti pernyataan ekonomi yang tidak sesuai dengan pernyataan Islam (wahyu) sehingga dari proses tersebut secara keseluruhan ditemukan sintesis syari’ah dan ekonomi yang melahirkan ilmu ekonomi Islam.

Hasil akhir dari perpaduan ilmu ekonomi dengan agama Islam adalah terbentuknya ilmu ekonomi Islam, yang seharusnya terdiri dari pernyataan-pernyataan berikut:
1.        Kelompok 3, yaitu pernyataan-pernyataan normative dan postulat-postulat Islam (dalam arti wahyu), dan di antara kandungan kelompok ini adalah ketentuan-ketentuan hukum dan kaidah-kaidah system ekonomi Islam (atau mazhab sebagaimana beberapa ahli lebih suka menamakannya).
2.        Kelompok 4, yaitu kategori-kategori deskriptif Islam yang berkaitan dengan ekonomi;
3.        Kelompok 6, yaitu kategori-kategori deskriptif ekonomi.

Az-Zarqa’ lebih memposisikan diri dengan berpendapat bahwa integrasi wahyu dan rakyu dalam ilmu hukum Islam bergerak dari titik yang berbeda, namun bertemu dengan upaya para pendukung tesis integrasi ini pada titik yang sama. Islamisasi pengetahuan melakukan integrasi wahyu ke dalam aktifitas keilmuan karena dimensi wahyu inilah dalam sistem pengetahuan sekarang yang sekuler telah disisihkan. Dalam ilmu hukum Islam gerakan integrasi terjadi sebaliknya, yaitu bagaimana mengintegrasikan rakyu (akal dan pengalaman empiris) ke dalam metodologi hukum Islam, karena dimensi empiris inilah yang selama ini kurang mendapat perhatian.

Hukum Islam senyatanya harus dikembalikan kepada tradisi pembentukannya. Dengan berangkat dari metodologi dan berangkat dari pembenahannya maka akan memberikan hukum yang dihasilkan akan terkesan sebagai hukum yang memang in action bukan in book saja. Hukum yang berangkat dan menempatkan sebagai in action sebagai karakter maka penafsiran sosiologi terhadap ide-ide hukum menjadi penting. Kurang lebih penafsiran sosiologi itu menurut Roger Cotterrell meliputi tiga hal yaitu; pertama, hukum dilihat sebagai fenomena sosial dalam artian hukum merupakan bidang pengalaman yang harus difahami dari aspek hubungan sosial secara umum, baik antar individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Kedua, fenomena sosial harus difahami secara empiris melalui pengecekan sejarah sosialnya. Ketiga, harus difahami dengan sistematis, dari pemahaman yang khusus kepada pemahaman yang umum. Hal ini akan memberikan kejelasan tentang kekhasan perspektif dan kekayaan yang unik dalam konteks teoritis guna memberikan orientasi penafsiran yang beragam.

Hasil dari penafsiran tersebut tidak lain untuk memberikan keleluasaan bagi seseorang untuk memberikan solusi hukum secara lebih mengena. Hal ini tidak lain untuk meniadakan kesan kekakuan dalam memberikan solusi. Solusi hukum yang ditawarkan –sebagai bentuk pertimbangan moral- tidak terkesan dogmatis karena pilihan-pilihan perspektif yang ditawarkan mampu memberikan warna pilihan sesuai dengan prinsip agama Islam sebagai agama yang tidak menyulitkan pemeluknya. Jika az-Zarqa’ berupaya memberikan pengaruh keislaman kepada ilmu umum maka berbeda dengan yang ditawarkan oleh Nurchalish Madjid yaitu membedakan kebaikan yang normative dan kebaikan yang historis-operasional.