Kekerasan terhadap pacaran biasanya terjadi dengan modus:
(1) Pacaran yang kemudian terjadi hubungan seksual dengan janji-jani atau
bujukan. Setelah itu korban (laki-laki atau perempuan) ditinggalkan. (2)
Terjadinya kekerasan fisik atau emosional, dan lain sebagainya.
Pada kasus yang sampai menyebabkan kehamilan banyak
terjadi pada perempuan yang ditinggalkan pasangannya begitu saja atau justru
dipaksa untuk melakukan aborsi. Dalam masa pacaran tak jarang juga terjadi pola
hubungan seksual dengan paksaan dengan ancaman kekerasan fisik.
Adapun akibat-akibat yang diderita korban kekerasan dalam
pacaran (KDP) sangat beragam dan bertingkat-tingkat. Seperti (1) bagi
perempuan, adanya trauma terhadap laki-laki, (2) takut membuat relasi baru
dengan laki-laki dan (3) perempuan merasa tidak berharga karena kehilan
virginitasnya, begitujuga sebaliknya. KDP juga sering mengakibatkan kehamilan
yang tidak dikehendaki, selain berdampak pada negatif perempuannya, perbuatan
tersebut juga berdampak pada bayi yang akan dilahirkan.
Dalam aturan hukum di Indonesia, belum ada aturan yang
secra spesifik mengatur tentang ini, sehingga seringkali korban
(laki/perempuan) tidak terlindungi. Hal lain yang menyebabkan kekerasan ini
tidak tercover adalah karena tidak adanya keberanian korban untuk melakukan
pengaduan. Kekurangan bukti-bukti formal yang disyaratkan hukum dan pandangan
aparat penegak hukum yang hanya mengedepankan hal-hal yang bersifat legal
formal sempit. Kekerasan dalam hukum lebih dipahami secara fisik dengan
penegertian yang sangat terbatas. Untuk itu, perlindungan terhadap korban dapat
digunakan ketentuan hukum yang berlaku secara umum baik dalam KUH Pidana maupun
KUH Perdata.
Untuk saat ini, pada kasus kekerasan fisik pada
prinsipnya para pelaku dapat dituntut dengan pasal-pasal KUH Pidana seperti
penganiayaan pasal 351-358 KUH Pidana. Bila terjadi pada korban yang masih di
bawah umur maka akan dikenakan hukuman atas tuduhan melakukan cabul atau Undang
Undang Perlindunagn Anak .
Adapun secra perdata bila kekerasan tersebut menyebabkan
kerugian materil dan immateril maka korban dapat menuntut dengan ganti rugi
dengan menggunakn pasal 1365 KUH Perdata dengan mengajukan gugatan perdata
lewat Pengadilan Negeri. Proses persidangan kasus perdata ini biasanya memakan
waktu yang lama sehingga korban tak jarang menghadapi beban psikologis tambahan
yang cukup berat.
Berdasarkan hal itu, angka statistik yang saya peroleh
dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2004 telah terjadi KDP
sebanyak 321 kasus, tahun 2005 sebanyak 635 kasus, tahun 2006 sebanyak 816
kasus, tahun 2007 sebanyak 776 kasus. Artinya secara akumulasi kekerasan ini
selalu bertambah secara signifikan setiap tahunnya.
Upaya untuk memperkarakan pelaku melalui jalur perdata
inipun tidak semua dapat berhasil secara maksimal. Dalam gugatan pengakuan anak
diluar perkawinan misalnya, sidang harus melalui pembuktian yang rumit untuk
memenangkan gugtan tersebut. Kecuali jika korban harus menyediakan dana yang
tidak sedikit untuk biaya perkara pada peradilan perdata.
Berangkat dari itu, upaya-upaya non litigasi seperti
pendidikan, penyadaran dan pemberdayaan juga harus dilakukan agar supaya
terjadi perubahan persepsi yang pada akhirnya diharapkan dapat menghasilkan
perubahan kebijakan dalam melihat kasus dating violence.
Potret kasus
Kasus penganiayaan terhadap pacar dapat Anda lihat dalam Putusan No.
538/PID.B/2012/PN-SBG, yang mana terdakwa adalah pacar dari saksi korban.
Terdakwa dan saksi korban telah berhubungan pacaran hampir 3 (tiga) tahun.
Suatu hari dikarenakan cemburu, terdakwa menganiaya saksi korban dengan
menggunakan kedua tangan dan kaki terdakwa serta mulut terdakwa. Perbuatan
penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa antara lain menjambak rambut,
menyeret saksi, menggigit tangan, menonjok atau menampar wajah, bagian dada,
lengan kiri dan kanan, meremas atau menarik payudara saksi korban dan juga
mencekik leher saksi korban serta menendang perut saksi korban. Akibat
penganiayaan tersebut, saksi korban mengalami batuk, sesak napas, tangan saksi
korban bengkak, dan saksi korban terhalang mengerjakan pekerjaan serta susah
berbicara. Saksi korban mengatakan bahwa setelah ia dan terdakwa berhubungan
pacaran sudah 2 (dua) tahun, terdakwa sering melakukan penganiayaan terhadap
saksi. Atas perbuatan penganiayaan tersebut, terdakwa didakwa dengan Pasal 351
ayat (1) KUHP. Majelis Hakim memutuskan menghukum terdakwa dengan pidana
penjara selama 10 (sepuluh) bulan. (..)
ed. Fadhli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar