Jumat, 31 Mei 2013

Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Anak

Dimuat di Harian Padang Ekspres
Pada Senin, 6 Mei 2013 

Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang.

Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi anak menjadi korban kekerasan. Kasus pembunuhan yang terungkap di Kabupaten Agam beberapa waktu lalu (29/4), menjadi catatan panjang kisah pilu tentang kejahatan kemanusiaan. Berdasarkan kasus yang ditangani lansung oleh Polresta Bukittinggi, diketahui bahwa korban adalah anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah. Dari olah TKP (tempat kejadian perkara), korban sempat diperkosa sebelum dihilangkan nyawanya secara mengenaskan.
Fenomena di atas merupakan satu dari kompleksnya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang akhir-akhir ini selalu menjadi buah bibir. Tidak hanya di Sumatera Barat, di beberapa daerah lain kasus serupa tengah berada dalam keadaan yang sama. Pencabulan dan perkosaan terhadap anak sudah menempati angka tertinggi dalam kurun waktu terakhir. Isu ini bak laris manis di pasaran dan tidak pernah kehabisan. Senantiasa ramai menghiasi layar kaca dan media cetak. Pada skala nasional, tingginya angka kasus kekerasan anak disinyalir sebagai wabah darurat nasional.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, terdapat 2.509 laporan pada tahun 2011, 59% diantaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sementara pada tahun 2012, terdapat 2.637 laporan, 62% diantaranya adalah kekerasan seksual. Lebih mencengangkan lagi adalah terhitung sejak januari hingga Maret 2013 ini, ditemukan 87 kasus dari 127 pengaduan. Itupun statistiknya diduga masih menggunakan skala pusat saja, dan belum termasuk in-put data dari lembaga-lembaga layanan lain di sejumlah daerah se-Indonesia.

Pada skala yang lebih kecil, angka berbeda ditunjukkan oleh Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang. Terdapat 24 kasus kekerasan seksual tahun 2011, 13 diantaranya adalah kasus perkosaan. Tahun 2012 terdapat 29 kasus, 22 diantaranya adalah kasus perkosaan. Sedangkan sejak bulan Januari hingga April tahun ini setidaknya ada 11 kasus, 9 diantaranya adalah kasus perkosaan.

Jika dirangkum seluruh jumlah kasus di atas, dapat diasumsikan bahwa semenjak bulan Januari hingga Maret tahun ini, setidaknya terjadi 1 kali tindak kekerasan terhadap anak hampir disetiap harinya di Nusantara.

Dari analisa kasus, rupanya terdapat kecendrungan bagi korban kekerasan seksual untuk tidak melaporkan peristiwa yang dialami. Banyak faktor yang melatar belakangi. Beberapa diantaranya adalah korban merasa malu karena menganggap hal ini merupakan aib sehingga orang lain tidak boleh tahu, faktor usia anak membuat korban masih labil untuk bisa menyikapi persoalannya secara rasional, rasa takut akan ancaman pelaku ditambah oleh rasa khawatir karena mendapatkan tekanan, sehingga menyebabkan kasus kekerasan tidak terdeteksi, karena tidak dilaporkan.

Fenomena ini tentu sangat merugikan anak selaku korban, baik secara fisik maupun piskis anak. Bahkan anak kehilangan hak dan kesempatannya untuk hidup layak seperti anak-anak pada umumnya. Sebagaimana prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang tertera dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak pasal 2; (a) non-deskriminasi, (b) kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup, kelansungan hidup dan perkembangan, (d) penghargaan terhadap pendapat anak.

Pendidikan moral
Faktor yang beragam dinilai sebagai penyebab terjadinya tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Layanan tekonologi berbasis internet di klaim berkontribusi besar sebagai pemicu aksi kekerasan. Tayangan televisi yang luput sensor serta konten pornografi menjadi gerbang dimulainya kisah kelabu tentang penyimpangan seksual.

Selain pengaruh teknologi, pemicu lain juga dipengaruhi oleh disorientasi nilai, yakni kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Kondisi yang tidak stabil dan mobilitas yang terlalu berlebihan membuat beban dan fungsi nalar menjadi lebih berat. Indikasinya akan melahirkan pribadi-pribadi yang keluar jalur (out-reach) atau berantakan. Jika sudah begini, sejumlah prilaku yang bersifat devian atau menyimpang seperti agresi akan lahir sebagai warna baru, yaitu kekerasan.

Perilaku agresi sendiri merupakan bentuk tingkah laku yang ditunjukkan untuk melukai dan mencelakakan individu lain (Leonard Berkowitz: 2006). Agresi dalam konteks pelaku kekerasan, kadangkala lahir melalui proses meniru, dimana pola asuh orang tua yang agresif turut menularkan pandangan agresif mereka kepada anak-anaknya. Selanjutnya, anak-anak tumbuh dan berkembang melalui pengalaman hidup yang mereka peroleh dari peran ayah dan ibu di rumah.

Begitu juga ketika keluarga tersebut rentan diwarnai cek-cok dan pertengkaran, seperti kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Secara tidak lansung anak akan terpengaruh, meniru bahkan menerima pola tersebut sebagai aturan hidup yang lumrah bagi kehidupannya kelak. Konflik suami istri yang disaksikan anak berulang-ulang akan menghadirkan frame baru bagi perkembangan anak. Tidak menutup kemungkinan, kelak anak akan melakukan prilaku kekerasan serupa.

Pada konteks ini, meningkatnya jumlah pelaku kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh kehilangan konsep diri (frustasi) dan lemahnya daya kontrol diri (self protection). Keduanya itu merupakan turunan dari moral. Penanaman nilai-nilai atau yang lebih populis dengan sebutan norma-norma tak ayal menjadi suatu keharusan. Tidak hanya yang bersifat duniawi semata, pendidikan agama yang diterapkan dalam keluarga harus menjadi porsi utama.

Pendidikan moral adalah metode ideal yang seharusnya telah dibiasakan sejak usia dini. Bahkan dimulai sejak bayi masih di dalam kandungan. Seluruh anggota keluarga ditanamkan kesadaran  untuk melakukan pilihan antara nilai-nilai yang dikategorikan salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat dimulai dengan mempraktekkannya dalam kegiatan sehari-hari. Kemudian berlanjut dengan internalisasi nilai-nilai sebagaimana di atas, hingga mendarah daging dalam kehidupan seluruh anggota keluarga.

Mengutip pendapat Immanuel Kant (1724-1804), bahwa norma (moral) itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung apakah norma itu menguntungkan atau tidak. Manusia mempunyai tugas agar senantiasa menebar kebaikan dan cinta kasih. Hal itu disebabkan karena manusia memiliki kecendrungan kepada kebaikan. Ketika setiap individu telah secara sadar (awareness) memproyeksikan ke dalam dirinya bahwa kekerasan merupakan sebuah pelanggaran atas hak-hak sesama manusia, kekerasan terhadap anak setidaknya akan berkurang. Terutama bagi masa depan anak dan kemajuan bangsa. (..)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar