Selasa, 25 Juni 2013

Kontestasi Perda Syariah

Edaran pelarangan perempuan mengangkang saat diboncengkan di sepeda motor mulai ditempel di tempat-tempat umum di Lhokseumawe, Aceh.

Edaran itu berlaku tiga bulan sebelum diteken menjadi peraturan wali kota.
Sebagaimana diketahui, dalam pidatonya untuk menyambut Tahun Baru, Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya mengumumkan rencananya untuk memberlakukan perda yang akan melarang wanita dari duduk mengangkang saat berboncengan sepeda motor dengan alasan bahwa hal demikian memancing pengendara laki-laki melakukan kejahatan. Lebih lanjut ia mengungkapkan, hal tersebut untuk melindungi perempuan dari kondisi yang tidak diinginkan. 

Tidak pelak rencana pemberlakukan perda ini menghebohkan banyak pihak di republik ini. Resistensi terbesar muncul dari kalangan aktivis HAM, kaum feminis, dan Islam liberal. Dalam sebuah program di TV One, Ulil Abshar Abdalla, pentolan Jaringan Islam Liberal, mempertanyakan syariat yang melarang perempuan pakai celana jins dan duduk mengangkang di motor. Hematnya, tak ada hukum atau fikihnya. Tidak ada syariat Islam yang mengatur soal duduk mengangkang, seperti halnya tidak ada hukum yang mengatur perempuan naik unta mengangkang atau tidak.

Sekilas apa yang diutarakan Ulil atau tokoh-tokoh Islam liberal boleh jadi memiliki logika tersendiri. Bagi kelompok ini, perda syariah atau qanun bukanlah syariat itu sendiri. Jika syariat sebagai jalan menuju Tuhan seharusnya lentur, apalagi qanun yang diproduksi oleh kecenderungan politik yang tidak sehat.
Dalam banyak gagasan dan pemikiran mereka, kalangan Islam liberal tersebut kerap berdalih bahwa penerapan syariat di banyak daerah merupakan wujud betapa Islam tidak bisa memainkan peran pembebasannya dan tidak bisa mengurusi yang substansial dalam agama. Karena itulah, yang diurus pasti yang teknis-partikular, semisal aurat, jilbab, sampai larangan duduk mengangkang.
Hanya, perdebatan ini sejatinya meninggalkan kesalahpahaman yang meluas tentang hakikat perda tersebut. 

Banyak yang tidak memahami pokok persoalannya. Sebetulnya, yang dipersoalkan tentang perempuan yang duduk mengangkang di belakang pengendara sepeda motor adalah dalam relasinya dengan yang bukan muhrim.
Cara duduk demikian dianggap tidak santun dan etis karena memungkinkan persentuhan dada perempuan dan punggung laki-laki. Keadaan demikian bukan saja merangsang munculnya berahi bagi yang binal, melainkan memberikan pandangan yang tidak elok bagi masyarakat yang melihatnya. 

Ketidaknyaman publik ini mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan yang mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak baik.
Seyogianya perda pelarangan perempuan mengangkang saat diboncengkan di sepeda motor di Lhokseumawe atau Aceh ini juga dibarengi dengan perda-perda lain yang menyentuh isu-isu yang tak kalah dahsyatnya melahirkan penyakit masyarakat, misal perda larangan berpacaran. Sebab, apa bedanya naik becak motor dan mobil dengan pacar yang bukan muhrimnya? Lebih parah kalau naik mobil karena bisa lebih merapat dan melakukan hubungan layaknya suami-istri di mobil. Jadi, di samping pengaturan masalah mengangkang sebaiknya juga mengatur persoalan muda-mudi yang pacaran, apalagi yang naik motor dan mobil.

Benar bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dihadapkan oleh hal yang 
tak kalah peliknya. Berdasarkan data yang dirilis oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada 2012 lalu, ditemukan bahwa Aceh adalah provinsi terkorup ke-2 setelah DKI Jakarta dengan kerugian negara Rp 669,8 miliar dan 620 kasus. Karenanya, pendekatan syariah holistik seharusnya juga bekerja ke arah sana, misalnya dengan melahirkan perda syariah antikorupsi atau perda syariah menyangkut kesejahteraan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan untuk kaum perempuan. Qanun seharusnya juga perlu bergerak progresif mengadvokasi perempuan-perempuan tertindas atau yang menjadi korban, seperti dalam banyak kasus pemerkosaan. 

Pola pikir pemerintah dan politisi harus diubah dari kecenderungan mengendalikan perempuan pada membujuk masyarakat untuk mengakhiri budaya mengambinghitamkan korban (perempuan) dan menekan laki-laki untuk menahan diri dari melakukan tindakan perkosaan. Ada kebutuhan mendesak untuk hal demikian mengingat kita kini tengah melakukan sebuah kezaliman besar kepada perempuan dengan melemahkan mereka dalam banyak hal selaku korban. 

Sebaliknya, kerap pelaku pemerkoaan yang sebenarnya dibiarkan begitu saja.
Para pelaku sadar bahwa sebagian besar kasus perkosaan tersebut tidak mencapai pengadilan karena stigma sosial yang melekat pada korban dan keluarga mereka jika mengajukan laporan.

Benar bahwa kecelakaan sepeda motor bukan disebabkan cara duduk yang dibonceng, melainkan karena kedisiplinan berkendara. Namun demikian, Aceh lebih mengerti apa yang dibutuhkannya. Tak perlu orang luar reaktif mencibir kebijakan di sana. Perbaiki saja diri sendiri, apa sudah benar berkendara, apa sudah benar aurat dijaga. Itulah masalah sebenarnya.

 REPUBLIKA,  10 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar