Edaran itu berlaku tiga bulan
sebelum diteken menjadi peraturan wali kota.
Sebagaimana diketahui, dalam pidatonya untuk menyambut Tahun Baru, Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya mengumumkan rencananya untuk memberlakukan perda yang akan melarang wanita dari duduk mengangkang saat berboncengan sepeda motor dengan alasan bahwa hal demikian memancing pengendara laki-laki melakukan kejahatan. Lebih lanjut ia mengungkapkan, hal tersebut untuk melindungi perempuan dari kondisi yang tidak diinginkan.
Sebagaimana diketahui, dalam pidatonya untuk menyambut Tahun Baru, Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya mengumumkan rencananya untuk memberlakukan perda yang akan melarang wanita dari duduk mengangkang saat berboncengan sepeda motor dengan alasan bahwa hal demikian memancing pengendara laki-laki melakukan kejahatan. Lebih lanjut ia mengungkapkan, hal tersebut untuk melindungi perempuan dari kondisi yang tidak diinginkan.
Tidak pelak rencana
pemberlakukan perda ini menghebohkan banyak pihak di republik ini. Resistensi
terbesar muncul dari kalangan aktivis HAM, kaum feminis, dan Islam liberal.
Dalam sebuah program di TV One, Ulil Abshar Abdalla, pentolan Jaringan Islam
Liberal, mempertanyakan syariat yang melarang perempuan pakai celana jins dan
duduk mengangkang di motor. Hematnya, tak ada hukum atau fikihnya. Tidak ada
syariat Islam yang mengatur soal duduk mengangkang, seperti halnya tidak ada
hukum yang mengatur perempuan naik unta mengangkang atau tidak.
Sekilas apa yang diutarakan
Ulil atau tokoh-tokoh Islam liberal boleh jadi memiliki logika tersendiri. Bagi
kelompok ini, perda syariah atau qanun bukanlah syariat itu sendiri. Jika
syariat sebagai jalan menuju Tuhan seharusnya lentur, apalagi qanun yang
diproduksi oleh kecenderungan politik yang tidak sehat.
Dalam banyak gagasan dan
pemikiran mereka, kalangan Islam liberal tersebut kerap berdalih bahwa
penerapan syariat di banyak daerah merupakan wujud betapa Islam tidak bisa
memainkan peran pembebasannya dan tidak bisa mengurusi yang substansial dalam
agama. Karena itulah, yang diurus pasti yang teknis-partikular, semisal aurat,
jilbab, sampai larangan duduk mengangkang.
Hanya, perdebatan ini sejatinya
meninggalkan kesalahpahaman yang meluas tentang hakikat perda tersebut.
Banyak yang tidak memahami
pokok persoalannya. Sebetulnya, yang dipersoalkan tentang perempuan yang duduk
mengangkang di belakang pengendara sepeda motor adalah dalam relasinya dengan
yang bukan muhrim.
Cara duduk demikian dianggap
tidak santun dan etis karena memungkinkan persentuhan dada perempuan dan
punggung laki-laki. Keadaan demikian bukan saja merangsang munculnya berahi
bagi yang binal, melainkan memberikan pandangan yang tidak elok bagi masyarakat
yang melihatnya.
Ketidaknyaman publik ini
mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan yang mencegah
terjadinya kemungkinan yang tidak baik.
Seyogianya perda pelarangan
perempuan mengangkang saat diboncengkan di sepeda motor di Lhokseumawe atau
Aceh ini juga dibarengi dengan perda-perda lain yang menyentuh isu-isu yang tak
kalah dahsyatnya melahirkan penyakit masyarakat, misal perda larangan
berpacaran. Sebab, apa bedanya naik becak motor dan mobil dengan pacar yang
bukan muhrimnya? Lebih parah kalau naik mobil karena bisa lebih merapat
dan melakukan hubungan layaknya suami-istri di mobil. Jadi, di samping
pengaturan masalah mengangkang sebaiknya juga mengatur persoalan muda-mudi yang
pacaran, apalagi yang naik motor dan mobil.
Benar bahwa Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) dihadapkan oleh hal yang
tak kalah peliknya. Berdasarkan
data yang dirilis oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(Fitra) pada 2012 lalu, ditemukan bahwa Aceh adalah provinsi terkorup ke-2
setelah DKI Jakarta dengan kerugian negara Rp 669,8 miliar dan 620
kasus. Karenanya, pendekatan syariah holistik seharusnya juga bekerja ke
arah sana, misalnya dengan melahirkan perda syariah antikorupsi atau perda syariah
menyangkut kesejahteraan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan untuk kaum
perempuan. Qanun seharusnya juga perlu bergerak progresif mengadvokasi
perempuan-perempuan tertindas atau yang menjadi korban, seperti dalam banyak
kasus pemerkosaan.
Pola pikir pemerintah dan
politisi harus diubah dari kecenderungan mengendalikan perempuan pada membujuk
masyarakat untuk mengakhiri budaya mengambinghitamkan korban (perempuan) dan
menekan laki-laki untuk menahan diri dari melakukan tindakan perkosaan. Ada kebutuhan
mendesak untuk hal demikian mengingat kita kini tengah melakukan sebuah
kezaliman besar kepada perempuan dengan melemahkan mereka dalam banyak hal
selaku korban.
Sebaliknya, kerap pelaku
pemerkoaan yang sebenarnya dibiarkan begitu saja.
Para pelaku sadar bahwa sebagian besar kasus perkosaan tersebut tidak mencapai pengadilan karena stigma sosial yang melekat pada korban dan keluarga mereka jika mengajukan laporan.
Para pelaku sadar bahwa sebagian besar kasus perkosaan tersebut tidak mencapai pengadilan karena stigma sosial yang melekat pada korban dan keluarga mereka jika mengajukan laporan.
REPUBLIKA, 10 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar