Sabtu, 29 Juni 2013

Pesantren dan Budaya Islam

Sebagai warisan budaya Islam di Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan kebudayaan Islam itu sendiri. Hal ini terkait dengan corak dasar peradaban Islam yang memuliakan pendidikan. Serta pola keislaman di Indonesia yang memusat di dalam proses pendidikan. Oleh karenanya, pendidikan tidak menjadi proses didaktik an sich, melainkan mode of being dari keberislaman.

Sejak masa pertama Madinah, tradisi keilmuan telah terbentuk melalui mun culnya sahabat-sahabat yang menciptakan spesialisasi pengetahuan. Misalnya, Abdullah ibn `Abbas yang ahli da lam bidang penafsiran Alquran, Abdullah ibn Mas'ud yang menjadi ahli fikih, serta Zaid ibn Tsabit yang mencatat dan menghafalkan Alquran. Satu abad kemudian, muncul tujuh ahli fikih di Makkah dan Madinah yang menjadi rintisan sistem mazhab. 

Tradisi keilmuan ini hadir di Nusantara. Seperti diketahui, Islam yang hadir di kepulauan ini adalah Islam yang telah dikembangkan di Persia dan kemudian anak Benua India yang berorientasi kuat pada tasawuf. Inilah yang menjelma gelombang Islamisasi di abad ke-13 yang menjadi akar pertama pesantren.
Gelombang ini bercorak fikih-sufistik, di mana pengajaran atas syariah berjalin- kelindan dengan pendalaman tasawuf. 

Maka, di abad itu kitab fikih-sufi stik seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam al- Ghazali telah menjadi tren di Nusantara. Di kisaran abad itu pula (ke-16) terjadi `pemurnian tasawuf' melalui kritik al- Raniri atas ajaran `Wujudiyah' Hamzah Fansuri, serta hukuman atas Siti Jenar oleh Dewan Walisongo. Akar keislaman ini yang disempurnakan oleh gelombang Islamisasi kedua abad ke-19 oleh `jaringan ulama Jawi'. 

Jaringan ulama ini merupakan putra-pu-tra terbaik bangsa yang belajar di Mak- kah dan mendirikan pesantren setelah pulang ke Tanah Air. Nama-nama besar ini meliputi Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai Abdus Shomad Palembang, dan Kiai Khalil Bangkalan. 

Jaringan ulama ini membawa tradisi baru, yakni pendalaman ilmu fikih secara tuntas melalui pengembangan alat-alat bantu seperti ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadis, dan tidak lupa ilmu akhlak. Hal ini tecermin dalam karya para ulama tersebut, misalnya Sabil al-Muhtadin karya Tuan Guru Arsyad Banjar, Nur al-Zhalam karya Kiai Nawawi Banten, dan seterusnya. 

Merekalah yang mengenalkan pendalaman bahasa Arab beserta cabang- cabang ilmunya di pesantren. Pada titik ini, pendalaman atas ilmu fikih secara tuntas tetap dilambari oleh pengamalan fikih-sufistik di dalam laku kehidupan.
Maka, ulama seperti Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Mahfudz Termas tidak dikenal sebagai guru tarekat atau tokoh sufi , melainkan sebagai sarjana Islam yang memiliki kapasitas keilmuan sangat tinggi. 

Hanya, meskipun para ulama tersebut merupakan `ulama syariat', akhlak sufistik tetap menjadi pegangan utama dalam pengamalan Islam. Penguasaan atas ilmu syariat dan pengamalan fikih-sufistik ini merupakan gabungan gelombang Islamisasi abad ke-13 dan ke-19 yang melembaga di dalam pesantren (Abdurrahman, 2004: 214--227). 

Subkultur Islam

Dengan demikian, pesantren merupakan produk paripurna Islamisasi Nusantara. Bahkan, sebagai lem baga pendidikan, ia merupakan kesinambungan dari lembaga pendidikan Mandala era Hindu-Buddha. Kata pesantren pun diambil dari bahasa Sansekerta, sashtri (pengkaji kitab suci Hindu), yang bertransformasi menjadi santri. 

Oleh karena itu, pesantren merupakan perwujudan kultural Islam sebagai hasil dari proses pribumisasi Islam. Perwujudan kultural ini merupakan pertemuan antara ajaran normatif Islam dan tradisi spiritual Hindu-Buddha. Tentu pertemuan ini telah terislamkan, sehingga corak spiritualitas Islam bersifat syar'i sebagaimana terlihat di dalam corak fikih-sufi stik. Pola kultural ini tidak terlepas dari model dakwah Walisongo yang memang telah menggerakkan pribumisasi Islam. Dari sini terlihat cikal-bakal pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, dan Sunan Giri di Giri Kedaton.

Dari pola kultural ini maka pesantren menjelma sebagai sub-kultur yang unik, independen, sekaligus bisa memengaruhi kultur mainstream. Dalam kaitan ini terdapat tiga keunikan yang menjadi karakter dari sub-kultur pesantren. Pertama, asketisisme (zuhud). Ini me rupakan nilai khas pesantren yang menempatkan kualitas spiritual sebagai nilai utama.

Kedua, perilaku unik yang lahir dari nilai unik di atas. Berdasarkan asketisisme, para santri kemudian mencintai ilmu-ilmu agama dan mencintai ahli ilmu agama (kiai). Dengan demikian, asketisisme pesantren akhirnya bersifat ilmiah. Ketiga, kepemimpinan unik yang lahir dari nilai dan perilaku unik. Kepemimpinan unik ini diperankan oleh kiai, yang bukan pemimpin administratif, melainkan moral-intelektual. Hal ini mendasar, sebab kiai telah memandatkan kepemimpinan administratif kepada lurah pondok yang berfungsi sebagai eksekutif pengatur organisasi. Dalam kaitan ini, kepemimpinan kiai sering menjadi `oposisi kultural' bagi kepemimpinan negara.
Segenap gambaran di atas menunjukkan lanskap luas pesantren sebagai bagian dari sub-kultur Islam di Indonesia. Pola pendidikan di dalam pesantren merupakan pola keislaman di Nusantara yang memusat dalam proses pendidikan. Pemahaman ini yang perlu dimiliki oleh para penggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren, yang kini marak dibicarakan. Sayangnya, logika di balik RUU ini telah menempatkan pesantren, murni sebagai lembaga pendidikan yang akhirnya membutuhkan `dukungan struktural' dari negara. Jika pun dibutuhkan "penanganan pemerintah", hal ini perlu didasarkan pada penghormatan.

Penempatan pesantren an sich sebagai lembaga pendidikan akan mencerabut khazanah bangsa ini dari akar budayanya dan, tentu saja, akar kemanfaatannya bagi republik ini. Hal ini mendasar, sebab pesantren merupakan fondasi utama bagi Islam moderat, toleran, dan rahmatan lil `alamin yang berperan sebagai pembentuk kebangsaan Indonesia. Seperti di ketahui, para ulama pesantrenlah yang merumuskan nasionalisme Islam yang kompatibel dengan negara-bangsa, demokrasi, dan kemodernan (..)

REPUBLIKA, 18 Januari 2013


2 komentar:

  1. cialis 5mg generic most users ever online was
    [url=http://cialiswithoutadoctorprescriptions.com]cialis without a doctor prescription
    [/url] cialis for women does it work your last visit
    cialis without a prescription
    - cialis 5mg replies
    cialis it is currently

    BalasHapus
  2. Mas, coba kontak lewat email saja.
    fadhli_bull@yahoo.co.id

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar