Diterbitkan
oleh: PadangEkspres
Pada Senin, tanggal 15 April 2013
Oleh : Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar dan
bergiat di Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang
Kekerasan bisa disebut juga sebagai bentuk
melemahnya sistem dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Sistem hukum yang
kerap kali luntur, menyisakan noktah di ingatan masyarakat yang kemudian
bermanifestasI menjadi asumsi massal. Begitu juga dengan ketidakyakinan yang
berkamungflase menjadi paradigma baru, bahwa hukum sejatinya mempunyai role khusus. Mungkin semacam previlledge yang hanya dinikmati
oleh golongan-golongan tertentu.
Sistem yang deskriminatif telah menjadi
persoalan biasa. Bahkan berubah wujud menjadi sebuah legal-intrumen. Selanjutnya
diwariskan bak sistem warisan. Ironisnya, semua itu dilakukan tanpa filter. Ketika keadaan seperti
ini terus bergulir, tanpa pernah tersentuh kritik dan evaluasi, jangan kaget
kalau masyarakat saling menampakkan taji dan saing sebagai powernya.
Berdasarkan opini yang terangkum melalui
stasiun TV swasta dan beberapa media cetak belakangan, kekerasan aparat
mengahadirkan stigma lain yang tak kalah kontras di benak masyarakat. Di
Yogyakarta misalnya, dukungan masyarakat terhadap militer terus mengalir berupa
aksi pemasangan spanduk yang terpasang di jalan-jalan kota. Spanduk bertajuk
anti premanisme tersebut merupakan bagian dari aspirasi masyarakat.
Masyarakat menilai aksi penembakan yang menewaskan empat penghuni lapas
cebongan sleman beberapa waktu lalu, malah menjadi aksi yang selama ini
dinanti-nanti. Kalangan masyarakat setuju dan mendukung aksi teror dini hari
itu. Alasannya sederhana, masyarakat geram dengan proses hukum yang terkesan
terlalu prosedural, formalitas dan terlalu basa-basi.
Reaksi dan spontanitas di atas menunjukkan
bahwa masyarakat semakin tidak peduli dengan terlaksananya tata tertib hukum.
Mereka lebih memilih jalan pintas dengan main hakim sendiri, karena menurut
mereka “hukum cendrung main-main”. Mereka seakan tidak peduli bahwa tindakan
kekerasan bahkan pembunuhan yang mereka tonton adalah bagian dari pelanggaran
hak azazi manusia (HAM).
Kasus kekerasan oleh 11 anggota grup 2
Kopassus Kandang Menjangan-Kartasura yang diduga terlibat penyerangan, mesti
mendapat penanganan yang serius. Jangan sampai aksi yang bersifat premanisme
tersebut menjadi ancaman bagi konstitusi hukum. Masyarakat dan penegak hukum
perlu bekerjasama dalam mengantisipasi terjadinya kekerasan.
Walaupun tersangka sudah ditetapkan, justru
sebenarnya dari sinilah dimulai teka-teki dan peran hukum yang dilimpahkan
kepada aparat penegak hukum. Baku tembak atau penembakan misterius (petrus)
bagaimanapun tentu tidak dapat dibenarkan. Jika diiyakan, sama halnya
Indonesia balik pada masa orde baru tahun 1980-an tentang maruaknya kasus orang
hilang oleh kepentingan penguasa.
Skala Prioritas
Menurut data yang pernah dihimpun oleh
llitbang Kompas tahun 2010-2011, angka kekerasan yang dilakukan oleh oknum
penegak hukum cendrung meningkat. Jika pada tahun 2010 hanya ditemukan
sejumlah 273 kasus saja, maka tahun 2011 melonjak menjadi 822 kasus. Artinya
pada tahun 2012 angka tersebut melambung hingga 300,01%.
Kekerasan ini meliputi praktik penyiksaan,
penganiayaan, pembakaran, pembunuhan, upaya pembunuhan, pelecehan seksual,
penangkapan, penahanan sewenang-wenang dan intimidasi/terror, baik yang
dilakukan oleh TNI maupun Polri.
Sementara itu, menurut catatan LBH Padang
bahwasanya kasus kekerasan serupa yang terjadi di Sumatera Barat mencapai 45
kasus dengan korban 219 orang. Bentuk kekerasan yang umum terjadi adalah penganiayaan,
penyiksaan, penembakan dan penangkapan sewenang-wenang, baik oleh kepolisian,
TNI, petugas Lembaga Permasyarakatan maupun Satpol PP. Dalam proses hukum,
terjadi berbagai pernyiksaan terhadap tersangka, terdakwa maupun terpidana
sebanyak 15 kasus dengan jumlah korban sebanyak 106 orang.
Kekisruhan ini dapat dijadikan indikator
bahwa kebiasaan-kebiasan yang dibiarkan berlarut-larut, memberi kesan bahwa
bentuk terror, penyiksaan, salah tangkap yang dilakukan oleh oknum penegak
hukum dianggap menjadi hal yang biasa/lumrah. Akibatnya, sangsi ringan bagi
para pelaku tidak mampu memberikan efek jera. Hukuman yang diberikan masih
jauh dari batas maksimal, seolah-olah pelaku bersifat kebal hukum. Bahkan, pada
beberapa kasus yang pernah di gelar, kasus yang diproses secara pidana hanya
kasus yang menyebabkan korban meninggal dunia. Itupun setelah adanya desakan
keluarga dan pemberitaan media, bukan inisiatif pihak kepolisian sebagai
penegak hukum. Lebih lagi, masih banyak ditemui beberapa kasus yang terhenti
dan tidak diproses secara hukum.
Sebagai bentuk kepedulian akan terwujudnya
keadilan dan kesejahteraan, masyarakat masih mengharapkan tersedianya dan
terciptanya peradilan yang jujur dan terbuka. Pada saat itu, masyarakat akan
bertugas sebagai pengawal (the guardian
of democracy) atas kelansungan proses hukum, pada konteks ini
adalah Pengadilan Militer.
Pembiaran atas porak-porandanya sistem hukum
menebarkan harapan pesimis akan terwujudnya proses peradilan yang bersih dan
tanpa memihak. Selama ini, Pengadilan Militer di cap sebagai salah satu
peradilan yang cendrung memberikan hukuman ringan dan vonis rendah kepada
pelaku. Bagaimana tidak, peradilan yang digelar dicurigai hanya semacam indisipliner bagi pelaku, karena
adanya semacam pembelaan sesama korps.
Walaupun di tubuh Pengadilan Militer masih
menyimpan kontroversi, terkait perencanaan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer atau beberapa judicial
review di beberapa pasal tertentu, relevansi materi UU tentang
penanganan kasus penyerangan lapas tetap harus dioptimalkan. Pengadilan
Militer harus membuktikan bahwa lembaganya harus terbebas dari akses dan power. Efektivitas dengan tujuan
memberikan efek jera dan kepastian hukum harus menjadi skala prioritas. Pemberian
hukuman harus diberikan sesuai porsi yang sepantasnya, bukan tebang pilih,
apalagi tebang gundul. Kritik ini untuk menggiring Pengadilan Militer menuju
Peradilan yang terbuka, transparan dan relevan untuk konteks kekinian.
Untuk mempertegas itu, campur tangan Mahkamah
Agung dan kementrian terkait tentu harus diikut sertakan. Tujuannya adalah
menghindari terjadinya intervensi oleh sejumlah pihak yang tidak setuju dengan
arah visi ini, terutama bagi internal aparat penegah hukum sendiri(..)
Mantap bro,, Keep Moving!!
BalasHapus