Jumat, 19 April 2013

Relevansi Penegakan Hukum


Diterbitkan oleh: PadangEkspres
Pada Senin, tanggal 15 April 2013

Oleh : Ashabul Fadhli

Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang

Kekerasan bisa disebut juga sebagai bentuk melemahnya sistem dan kepercayaan masyarakat terha­dap hukum. Sistem hukum yang kerap kali luntur, menyisakan noktah di ingatan masyarakat yang kemudian bermanifestasI menjadi asumsi mas­sal. Begitu juga dengan ketidak­yakinan yang berkamungflase men­jadi paradigma baru, bahwa hukum sejatinya mempunyai role khusus. Mungkin semacam previlledge yang hanya dinikmati oleh golongan-golo­ngan tertentu.

Sistem yang deskriminatif telah menjadi persoalan biasa. Bahkan be­rubah wujud menjadi sebuah legal-in­trumen. Selanjutnya diwariskan bak sis­tem warisan. Ironisnya, semua itu dila­kukan tanpa filter. Ketika keadaan se­perti ini terus bergulir, tanpa pernah ter­sentuh kritik dan evaluasi, jangan kaget kalau masyarakat saling me­nampakkan taji dan saing sebagai powernya.

Berdasarkan opini yang terang­kum melalui stasiun TV swasta dan beberapa media cetak belakangan, kekerasan aparat  mengahadirkan stigma lain yang tak kalah kontras di benak masyarakat. Di Yogyakarta misalnya, dukungan masyarakat terhadap militer terus mengalir beru­pa aksi pemasangan spanduk yang terpasang di jalan-jalan kota. Spanduk bertajuk anti premanisme tersebut merupakan bagian dari aspirasi ma­sya­rakat. Masyarakat menilai aksi penembakan yang menewaskan em­pat penghuni lapas cebongan sleman beberapa waktu lalu, malah menjadi aksi yang selama ini dinanti-nanti. Kalangan masyarakat setuju dan mendukung aksi teror dini hari itu. Alasannya sederhana, masyarakat geram dengan proses hukum yang terkesan terlalu prosedural, formalitas dan terlalu basa-basi.

Reaksi dan spontanitas di atas menunjukkan bahwa masyarakat semakin tidak peduli dengan terlak­sananya tata tertib hukum. Mereka lebih memilih jalan pintas dengan main hakim sendiri, karena menurut mereka “hukum cendrung main-main”. Mereka seakan tidak peduli bahwa tindakan kekerasan bahkan pembunuhan yang mereka tonton adalah bagian dari pelanggaran hak azazi manusia (HAM).

Kasus kekerasan oleh 11 anggota grup 2 Kopassus Kandang Menja­ngan-Kartasura yang diduga terlibat penyerangan, mesti mendapat pena­nganan yang serius. Jangan sampai aksi yang bersifat premanisme terse­but menjadi ancaman bagi konstitusi hukum. Masyarakat dan penegak hukum perlu bekerjasama dalam mengantisipasi terjadinya kekerasan.

Walaupun tersangka sudah dite­tapkan, justru sebenarnya dari sinilah dimulai teka-teki dan peran hukum yang dilimpahkan kepada aparat penegak hukum. Baku tembak atau pe­nem­bakan misterius (petrus) bagai­manapun tentu tidak dapat d­i­benarkan. Jika diiyakan, sama halnya Indonesia balik pada masa orde baru tahun 1980-an tentang maruaknya kasus orang hilang oleh kepentingan penguasa.

Skala Prioritas
Menurut data yang pernah dihim­pun oleh llitbang Kompas tahun 2010-2011, angka kekerasan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum cen­drung meningkat. Jika pada tahun 2010 hanya ditemukan sejumlah 273 kasus saja, maka tahun 2011 melonjak menjadi 822 kasus. Artinya pada tahun 2012 angka tersebut melam­bung hingga 300,01%.

Kekerasan ini meliputi praktik penyiksaan, penganiayaan, pem­bakaran, pembunuhan, upaya pem­bunuhan, pelecehan seksual, penang­kapan, penahanan sewenang-wenang dan intimidasi/terror, baik yang dilakukan oleh TNI maupun Polri.

Sementara itu, menurut catatan LBH Padang bahwasanya kasus keke­rasan serupa yang terjadi di Sumatera Barat mencapai 45 kasus dengan korban 219 orang. Bentuk kekerasan yang umum terjadi adalah penga­niayaan, penyiksaan, penembakan dan penangkapan sewenang-wenang, baik oleh kepolisian, TNI, petugas Lembaga Permasyarakatan maupun Satpol PP. Dalam proses hukum, terjadi berbagai pernyiksaan terhadap tersangka, terdakwa maupun terpi­dana sebanyak 15 kasus dengan jum­lah korban sebanyak 106 orang.

Kekisruhan ini dapat dijadikan indikator bahwa kebiasaan-kebiasan yang dibiarkan berlarut-larut, mem­beri kesan bahwa bentuk terror, penyiksaan, salah tangkap yang dila­kukan oleh oknum penegak hukum dianggap menjadi hal yang biasa/lumrah. Akibatnya, sangsi ringan bagi para pelaku tidak mampu mem­berikan efek jera. Hukuman yang diberikan masih jauh dari batas maksimal, seolah-olah pelaku bersifat kebal hukum. Bahkan, pada beberapa kasus yang pernah di gelar, kasus yang diproses secara pidana hanya kasus yang menyebabkan korban meninggal dunia. Itupun setelah adanya desakan keluarga dan pemberitaan media, bukan inisiatif pihak kepolisian seb­a­gai penegak hukum. Lebih lagi, masih banyak ditemui beberapa kasus yang terhenti dan tidak diproses secara hukum.

Sebagai bentuk kepedulian akan terwujudnya keadilan dan kesejah­teraan, masyarakat masih meng­harapkan tersedianya dan terciptanya peradilan yang jujur dan terbuka. Pada saat itu, masyarakat akan bertu­gas sebagai pengawal (the guardian of democracy) atas kelansungan proses hukum, pada konteks ini adalah Pengadilan Militer.

Pembiaran atas porak-poran­danya sistem hukum menebarkan harapan pesimis akan terwujudnya proses peradilan yang bersih dan tanpa memihak. Selama ini, Penga­dilan Militer di cap sebagai salah satu peradilan yang cendrung memberikan hukuman ringan dan vonis rendah kepada pelaku. Bagaimana tidak, peradilan yang digelar dicurigai hanya semacam indisipliner bagi pelaku, karena adanya semacam pembelaan sesama korps.

Walaupun di tubuh Pengadilan Militer masih menyimpan kontro­versi, terkait perencanaan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer atau beberapa judicial review di beberapa pasal tertentu, relevansi materi UU tentang penanganan kasus penye­rangan lapas tetap harus diopti­malkan. Pengadilan Militer harus membuktikan bahwa lembaganya harus terbebas dari akses dan power. Efektivitas dengan tujuan membe­rikan efek jera dan kepastian hukum harus menjadi skala prioritas. Pem­berian hukuman harus diberikan sesuai porsi yang sepantasnya, bukan tebang pilih, apalagi tebang gundul. Kritik ini untuk menggiring Penga­dilan Militer menuju Peradilan yang terbuka, transparan dan relevan untuk konteks kekinian.

Untuk mempertegas itu, campur tangan Mahkamah Agung dan kemen­trian terkait tentu harus diikut serta­kan. Tujuannya adalah menghindari terjadinya intervensi oleh sejumlah pihak yang tidak setuju dengan arah visi ini, terutama bagi internal aparat penegah hukum sendiri(..)


1 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar