Rabu, 24 April 2013

Menakar peran Kartini


Siapa yang tidak mengenal Kartini? Sosok perempuan progresif yang selalu terkukung oleh lingkaran sosial yang bernama feodalisme. Nilai-nilai yang melekat dari trah sosialnya (baca: adat) ternyata tidak menempatkan Kartini pada posisi yang kokoh sebagai perempuan. Tidak hanya Kartini, kaum perempuan kala itu tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Potret Kartini yang terlahir dari keluarga priyayi yang makmur dan berpendidikan tinggi, rupanya tidak menjadi alasan bahwa setiap hak-haknya sebagai perempuan akan terpenuhi sebagaimana laki-laki di lingkungannya.

Meski demikian, ide dan semangat Kartini jauh lebih besar melebihi persoalan di depan matanya. Satu persatu ide dan gagasannya lahir. Saat itu, kebanyakan gagasan Kartini berangkat dari pengamatannya terhadap kondisi perempuan Jawa tentang kekerasan, marginalisasi dan subordinasi. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, Kartini bersorak lantang bahwa “Kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita yang sesuai dengan keperluan serta kebutuhan kita sebagai kaum wanita dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti halnya kaum laki-laki”.

Semasa hidupnya yang sangat singkat (25 tahun), Kartini telah menulis beberapa artikel di majalah de Hollansche Lelie, membuat semacam paguyuban pengrajin kayu Jepara untuk membantu para pengrajin kecil ini mencarikan pasar yang lebih luas untuk hasil karyanya (Kartini, Sebuah Biografi karya Siti Soemandari). Kartini juga membuat sekolah untuk anak-anak. Bila kita lihat konteks zaman di wilayah ia tinggal, tindakannya ini bisa dikatakan di luar kelaziman masa itu, terlebih ia pun berhasil mendapatkan beasiswa ke Nederland. Kondisi kultur lingkungan Kartini, berbeda dengan wilayah dimana Rahma El Yunusiyah dan Rohana Kudus hidup. Di Minangkabau tak ada tradisi anak gadis mesti dipingit. Lingkungan keluarga dua perempuan ini pun bisa dibilang terpelajar. Potensi hebat Rahma El Yunusiyah dan Rohana Kudus diasah dan dipertajam oleh keluarga dan masyarakatnya. Sementara, potensi Kartini terkerdilkan oleh kultur keluarga dan masyarakatnya. Ketiga tokoh ini, menurut saya sama luar biasa, meski pencapaian berbeda. (ed.)

Sepertinya dulu Kartini pernah bermimpi, bahwa isu kekerasan terhadap perempuan (KtP) dalam bentuk apapun akan terkikis selang beberapa periode setelah kehidupannya. Ternyata mimpi Kartini keliru. Mimpi itu hanya menjadi asa yang selalu diharapkan namun tak berkesudahan.

Realitasnya, kasus-kasus KtP hingga saat ini setiap harinya selalu meningkat. Sepanjang tahun 2011 kemarin saja, total kekerasan yang didata dan dilaporkan sebesar 119.107, selisih 20.000 kasus lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Lebih dari 95% dari kekerasan itu dialami perempuan di ranah domestik berupa kekerasan dalam rumah tangga dengan istri sebagai korban kekerasan yang paling dominan. Begitu juga dengan kasus KtP lainnya seperti pelecehan seksual, perkosaan, penyiksaan, marginalisasi, subordinasi, stereotype, beban ganda dan sebagainya.


Sosok Lain
Ada orang-orang yang ditokohkan karena pemikirannya, ada karena tindakannya, ada pula karena keduanya. Masuk kategori pertama adalah Kartini dan Ahmad Wahib. Ahmad Wahib disebut-sebut sebagai tokoh pembaharu Islam Indonesia, padahal yang ia lakukan hanyalah menulis pemikiran-pemikirannya dalam diari, lalu ketika meninggal, diari itu diterbitkan oleh kawan-kawannya. Orang-orang bisa saja mengatakan penokohan itu tidak pantas, tapi toh kita tidak bisa memungkiri kenyataan, bahwa ada orang-orang yang terinspirasi dan tergerak karena tulisan-tulisan mereka berdua.

Untuk kategori kedua, kita bisa menyebut Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Kapitan Patimura, Pangeran Antasari, dan sederet nama-nama lainnya. Mereka mewariskan kisah kegagahberanian melawan ketidakadilan, dan kisah itu menginspirasi banyak orang. Sementara tokoh-tokoh yang masuk kategori ketiga, kita bisa menyebut nama Bung Hatta, Bung Karno,  Agus Salim dan Hamka. Mereka bukan hanya mewariskan pemikiran tapi juga tindakan, kisah-kisah heroik yang nyaris tidak kita jumpai lagi pada kebanyakan pemimpin Indonesia masa sekarang.

Kartini telah lebih seabad wafat, tapi kisahnya, pemikiran-pemikirannya akan terus dibaca, dan akan terus menginspirasi banyak orang. Terlepas dari apakah penokohan Kartini dikarenakan kepentingan politik etis Belanda atau tidak, sudah selayaknya kita menaruh hormat atas pemikiran-pemikirannya. Kartini, Rohana Kudus, Rahma El Yunusiyah, Cut Nyak Dien, Sultanah Safiatuddin Syah dan perempuan-perempuan Indonesia hebat lainnya, adalah tokoh-tokoh emansipasi yang pantas mendapat salut dan penghormatan dari kita semua. (ed.)

Banyak perempuan yang muncul, bahkan untuk sekedar lalu lalang.
Tapi tidak datang untuk memprakarsai dirinya bahwa dia adalah penerus sosok Kartini, Rahma El Yunusiyah dan Rohana Kudus yang selama ini dinanti.

1 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar