Siapa yang tidak mengenal Kartini?
Sosok perempuan progresif yang selalu terkukung oleh lingkaran sosial yang
bernama feodalisme. Nilai-nilai yang melekat dari trah sosialnya (baca: adat)
ternyata tidak menempatkan Kartini pada posisi yang kokoh sebagai perempuan.
Tidak hanya Kartini, kaum perempuan kala itu tidak diberi kesempatan untuk
mengembangkan dirinya. Potret Kartini yang terlahir dari keluarga priyayi yang
makmur dan berpendidikan tinggi, rupanya tidak menjadi alasan bahwa setiap
hak-haknya sebagai perempuan akan terpenuhi sebagaimana laki-laki di
lingkungannya.
Meski demikian, ide dan semangat
Kartini jauh lebih besar melebihi persoalan di depan matanya. Satu persatu ide
dan gagasannya lahir. Saat itu, kebanyakan gagasan Kartini berangkat dari
pengamatannya terhadap kondisi perempuan Jawa tentang kekerasan, marginalisasi
dan subordinasi. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, Kartini bersorak
lantang bahwa “Kita
harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita yang sesuai dengan
keperluan serta kebutuhan kita sebagai kaum wanita dan harus mendapat
pendidikan yang cukup seperti halnya kaum laki-laki”.
Semasa hidupnya yang sangat singkat (25
tahun), Kartini telah menulis beberapa artikel di majalah de Hollansche Lelie,
membuat semacam paguyuban pengrajin kayu Jepara untuk membantu para pengrajin
kecil ini mencarikan pasar yang lebih luas untuk hasil karyanya (Kartini,
Sebuah Biografi karya Siti Soemandari). Kartini juga membuat sekolah untuk
anak-anak. Bila kita lihat konteks zaman di wilayah ia tinggal, tindakannya ini
bisa dikatakan di luar kelaziman masa itu, terlebih ia pun berhasil mendapatkan
beasiswa ke Nederland. Kondisi kultur lingkungan Kartini, berbeda dengan
wilayah dimana Rahma El Yunusiyah dan Rohana Kudus hidup. Di Minangkabau tak
ada tradisi anak gadis mesti dipingit. Lingkungan keluarga dua perempuan ini
pun bisa dibilang terpelajar. Potensi hebat Rahma El Yunusiyah dan Rohana Kudus
diasah dan dipertajam oleh keluarga dan masyarakatnya. Sementara, potensi
Kartini terkerdilkan oleh kultur keluarga dan masyarakatnya. Ketiga tokoh ini,
menurut saya sama luar biasa, meski pencapaian berbeda. (ed.)
Sepertinya
dulu Kartini pernah bermimpi, bahwa isu kekerasan terhadap perempuan (KtP)
dalam bentuk apapun akan terkikis selang beberapa periode setelah kehidupannya.
Ternyata mimpi Kartini keliru. Mimpi itu hanya menjadi asa yang selalu
diharapkan namun tak berkesudahan.
Realitasnya,
kasus-kasus KtP hingga saat ini setiap harinya selalu meningkat. Sepanjang
tahun 2011 kemarin saja, total kekerasan yang didata dan dilaporkan sebesar
119.107, selisih 20.000 kasus lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Lebih
dari 95% dari kekerasan itu dialami perempuan di ranah domestik berupa
kekerasan dalam rumah tangga dengan istri sebagai korban kekerasan yang paling
dominan. Begitu juga dengan kasus KtP lainnya seperti pelecehan seksual,
perkosaan, penyiksaan, marginalisasi, subordinasi, stereotype, beban ganda dan
sebagainya.
Sosok Lain
Ada orang-orang yang ditokohkan karena
pemikirannya, ada karena tindakannya, ada pula karena keduanya. Masuk kategori
pertama adalah Kartini dan Ahmad Wahib. Ahmad Wahib disebut-sebut sebagai tokoh
pembaharu Islam Indonesia, padahal yang ia lakukan hanyalah menulis
pemikiran-pemikirannya dalam diari, lalu ketika meninggal, diari itu
diterbitkan oleh kawan-kawannya. Orang-orang bisa saja mengatakan penokohan itu
tidak pantas, tapi toh kita tidak bisa memungkiri kenyataan, bahwa ada
orang-orang yang terinspirasi dan tergerak karena tulisan-tulisan mereka
berdua.
Untuk kategori kedua, kita bisa menyebut Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Kapitan Patimura, Pangeran Antasari, dan sederet nama-nama lainnya. Mereka mewariskan kisah kegagahberanian melawan ketidakadilan, dan kisah itu menginspirasi banyak orang. Sementara tokoh-tokoh yang masuk kategori ketiga, kita bisa menyebut nama Bung Hatta, Bung Karno, Agus Salim dan Hamka. Mereka bukan hanya mewariskan pemikiran tapi juga tindakan, kisah-kisah heroik yang nyaris tidak kita jumpai lagi pada kebanyakan pemimpin Indonesia masa sekarang.
Kartini telah lebih seabad wafat, tapi kisahnya, pemikiran-pemikirannya akan terus dibaca, dan akan terus menginspirasi banyak orang. Terlepas dari apakah penokohan Kartini dikarenakan kepentingan politik etis Belanda atau tidak, sudah selayaknya kita menaruh hormat atas pemikiran-pemikirannya. Kartini, Rohana Kudus, Rahma El Yunusiyah, Cut Nyak Dien, Sultanah Safiatuddin Syah dan perempuan-perempuan Indonesia hebat lainnya, adalah tokoh-tokoh emansipasi yang pantas mendapat salut dan penghormatan dari kita semua. (ed.)
Banyak perempuan yang muncul, bahkan untuk sekedar lalu
lalang.
Tapi tidak datang untuk memprakarsai dirinya bahwa dia
adalah penerus sosok Kartini, Rahma El Yunusiyah dan Rohana Kudus yang selama ini
dinanti.
malahayati mana bull?
BalasHapus