Rabu, 10 April 2013

Sistem hukum (bukan) warisan


Kekerasan bisa disebut juga sebagai bentuk melemahnya sistem dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Sistem hukum yang kerap kali luntur, menyisakan noda di ingatan masyarakat yang kemudian bermanifestasi menjadi asumsi massal. Ketidak yakinan berkamungflase menjadi paradigm baru bahwa hukum sejatinya mempunyai role khusus. Mungkin semacam previlledge yang hanya dinikmati oleh golongan-golongan tertentu.

Sistem yang deskriminatif telah menjadi persoalan biasa. Bahkan berubah wujud menjadi sebuah legal-intrumen. Kemudian diwariskan hingga menjadi sistem warisan. Ironisnya, dilakukan tanpa filter. Ketika keadaan seperti ini terus bergulir, tanpa pernah tersentuh kritik dan evaluasi, jangan kaget kalau masyarakat saling menampakkan taji dan saing sebagai powernya.

Sedikit berkaca pada kasus premanisme cebongan. Walaupun tersangka sudah ditetapkan yaitu sejumlah anggota kopassus korps Surakarta, justru sebenarnya dari sinilah dimulai teka-teki dan peran hukum yang dilimpahkan kepada aparat penegak hukm (APH). Baku tembak atau penembakan misterius (petrus) bagimanapun tentu tidak dapat dibenarkan. Jika diiyakan, sama halnya Indonesia balik pada masa parlementer tahun 1980-an tentang maruaknya kasus orang hilang oleh kepentingan penguasa.

Sebagai bantuk kepedulian akan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan, masyarakat masih mengharapkan tersedianya dan terciptanya peradilan yang jujur dan terbuka. Pada saat itu, masyarakat akan bertugas sebagai pengawas atas kelansungan proses hukum di Mahakamah Militer.

Sejauh ini, saya melihat bahwa beberapa pengamat politik, politisi, akademisi dan sejawatnyapun menaruh harapan tipis tentang terwujudnya proses peradilan yang bersih dan tanpa memihak. Selama ini, Mahkamah Militer di cap sebagai salah satu peradilan yang cendrung memberikan hukuman ringan dan vonis terendah kepada tergugat. Bagaimana tidak, peradilan yang digelar dicurigai hanya semacam indisipliner bagi tergugat, karena adanya semacam pembelaan sesama korps.

Jika mahkamah militer ingin berbenah, terdapat hal mendasar yang menurut saya yang harus terlebih dahulu mendapat sentuhan awal. Sebagai lembaga peradilan Mahkamah Militer harus membuktikan bahwa lembaganya harus terbebas dari akses dan power. Pemberian hukuman harus diberikan sesuai porsi yang sepantasnya, bukan tebang pilih, apalagi tebang gundul. Kritik ini untuk menggiring Mahkamah Militer menuju Peradilan yang terbuka dan transparan.

Untuk mempertegas itu, campur tangan Mahkamah Agung tentu harus diikut sertakan. Tujuannya adalah menghindari terjadinya intervensi oleh sejumlah pihak yang tidak setuju dengan arah visi ini, terutama bagi internal APH sendiri. (..)

Ba’da shalatil isya, kamar lantai dua.

1 komentar:

  1. Hal ini sudah lama menjadi perdebatan di kalangan praktisi hukum maupun akademisi.
    Bahkan seorang Hakim di Mahkamah Militer tidak dibenarkan mengadili seseorang yang mempunyai pangkat lebih tinggi dari Hakim Militer yang menangani kasus tersebut.

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar