Jumat, 08 Maret 2013

Simbol itu bernama Matrilineal


Berawal dari jeda waktu saat menanti. Ruangan padat berukuran 5 x9 meter tanpa pendingin ruangan, menjadi alasan mengapa saya harus memilih duduk di tempat yang saya anggap strategis. Pilihan saya jatuh pada tempat duduk berbusa  yang tidak begitu empuk di depan pintu. Sebenarnya posisi di tempat saya bersandar tidak begitu nyaman. Kemeja hijau yang saya kenakan, lembab di bagian punggung, terasa ada yang mengucur.  Sumuk kalau orang Jawa bilang. Tapi kalau diperhatikan, tempat yang saya duduki adalah pilihan yang tepat untuk menanti sebuah jawaban.

Tepat berada dua meter di depan saya, duduk seorang laki-laki paruh baya yang sibuk dengan note-book berukuran 15 inc. Entah apa yang ia lakukan. Tumpukan buku dan sejumlah berkas tertata tak teratur di meja kerjanya. Untuk memecah kejenuhan, saya berniat memecah keheningan. Saya mau mengajaknya bicara.  Saya membukanya dengan berkenalan. Kita berjabat tangan. Genggamannya terasa erat membuat saya berpikir bahwa dia adalah orang yang terbuka. Dugaan saya pun tak salah. Dia pun membuka pembicaraan dengan menanyakan siapa saya. Anda dari mana? Dan seterusnya.,

Laki-laki paruh baya tersebut seorang Doktor rupanya (selanjutnya saya akan menggunakan kata ganti dia). Dia mengajar untuk sebuah program studi untuk konsentrasi di bidang pendidikan. Lima menit pertama, saya mulai suka dengan cara ia mengeksplorasikan pemikirannya. Maklumlah, seorang Doktor. Apalagi dia juga mengajar untuk kelas Pasca Sarjana.
Merasa cukup dengan berbasa-basi, kita beralih pada pembicaraan yang lebih serius. Ya, pembicaraan yang lebih akademik. Dia juga pernah aktif dalam menyoroti isu kesetaraan. Bahkan dalam naskah yang sedang dia kerjakan sekarang, dia tetap memasukkan isu tersebut ke dalam karyanya yang akan segera diterbitkan oleh salah satu penerbit di Semarang. Sepertinya Bapak ini penulis yang produktif. Walau kemungkinan dalam tulisannya hanya dibahas secara implisit, namun itu terasa sudah cukup.

Kemudian dia berlanjut pada pembicaraan tentang persoalan matrilineal di Minangkabau. Matrilineal adalah konten handal yang selalu diasumsikan sebagai simbol bahwa isu kesetaraan gender tidak layak dibahas di Minagkabau. Hampir setiap orang minang yang saya temui mengatakan seperti itu. Persoalnnya (katanya) jelas, ketika pihak ibu (perempuan) menjadi peraih tahta dan kuasa yang bersifat warisan, maka laki-laki diasumsikan sebagai golongan kedua yang harus mengalah atas nilai sosial yang ia terima dan mempengaruhinya, dan ia menyebutnya dengan custom.

Ia melanjutkan, jika dilihat dewasa ini, para perempuan yang tidak hanya di ranah minang, secara akademik, ekonomi dan sosial telah mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Indikasinya adalah, banyak perempuan yang telah merdeka secara finansial. Perempuan sekarang sudah banyak yang bekerja. Perempuan zaman sekarang tidak banyak lagi yang ekonominya bergantung kepada pasangannya. Mereka telah punya pemasukan sendiri.

Pada bagian di atas, beliau mungkin lupa, bahwa isu keadilan gender bukan terletak pada ranah siapa yang menerima waris-tidak menerima waris dan siapa yang bekerja-yang tidak bekerja. Namun sejatinya lebih pada relasi kekerasan yang terdapat di dalam pola relasi yang telah mereka ciptakan sendiri. Apalah gunanya mendapatkan warisan, namun peran pengambil kebijakan dalam ranah adat para perempuan (bundo kanduang) nya tidak pernah diikutkan? Apalah gunanya kalaw istri yang bekerja dengan penghasilan tinggi namun masih mendapatkan pola double burden di rumah tangganya? bahkan tidak jarang ditemukan KDRT. Syukur-syukur kalau ia nyaman dalam menjalankan pekerjaannya. Bagaimana kalau tekanan dan kebijakan deskriminatif adalah pernak-pernik yang selalu menghiasi hari-hari mereka di tempat bekerja? Layaknya buruh dan beberapa karyawan swasta yang sering turun ke jalan. Atau aturan-aturan perusahaan di tempat ia bekerja yang tidak ramah dan sensitive terhadap hak-haknya sebagai perempuan? Dan masih banyak lagi,

Selesai menikmati sarapan di lapau dekat kos-kosan kemarin, saya juga sempat diskusi kecil dengan teman seperjuangan sewaktu masih sekolah di antara Gung Merapi dan Singgalang. Kita membicarakan beberapa hal yang dianggap penting saat itu. Seraya saya bercerita tentang diskusi singkat dengan seorang Bapak yang saya temui tempo hari. Pendek kata, isu ini mungkin tidak akan terlahir ideal, karena masyarakat kita masih menanamkan pola relasi yang familiar dengan sebutan patriarkhi. Ini adalah masalah sosial. Tak ada salahnya ketika kita peduli untuk terlibat di dalamnya. Siapapun yang masih bisa memberikan pandangan dan masukan tentang pentingnya suatu perubahan, kenapa tidak.

Saya berfikir, aksi ini akan lebih terasa maksimal ketika sasarannya adalah orang-orang yang berada di lingkungan terdekat dengan kita, terutama remaja, dan lebih utama lagi adalah remaja laki-laki. (..)

Celebrate for International Women Day.
Selamat merayakan hari perempuan sedunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar