Rabu, 27 Februari 2013

Politik Keluarga

Politik rupanya tidak lahir dari rahim penguasa yang bernama negara semata. Gaya berpolitik yang diciptakan sendiri oleh  negara dan segenap anteknya adalah simbol betapa hebatnya tangan penguasa. Kekuasaan adalah ladang yang siap dipanen setiap saat. Seuntai materi, status sosial, ambisi, nafsu dan prstise mengiming-imingi para pengikutnya untuk terus berlari ke arah istana. Walaupun tidak secara nyata  duduk di dalamnya, tapi mereka (para penguasa) senantiasa turut merasakan nikmatnya hidangan istana yang disuguhi oleh para koki kelas dunia.

Kini, apalah daya. Politik telah dieksploitasi hingga ke ranah keluarga. Sebuah tempat pertahanan terakhir ketika suatu saat mereka tersungkur, terjebak dan divonis sebagai tersangka. Para penguasa mempunyai cara pandang lain tentang keluarga. Keluarga tak sekedar forum indah yang dihabiskan untuk berbasa-basi dan bercengkrama. Justru dari keluarga akan lahir ribuan bibit penguasa masa depan yang kuat dengan karakter baru di kepalanya. Dari jumlah seribu, akan lahir satu atau dua orang yang akan tumbuh menjadi seorang elite politik. Meski tak jelas suara siapa yang akan mereka usung esok, yang pasti mereka tahu bahwa berpolitik adalah cara agar mereka survive di tengah menjamurnya penguasa.

Dalam sebuah keluarga yang nota-bene suami-istri adalah aktor politik daerah, melahirkan sosok buah hati berjenis kelamin laki-laki. Dalam usia yang sangat belia, ia bertanya kepada seorang kepala daerah yang tak lain adalah ayah kandungnya. “Yah, dapatkah ayah menjelaskan apa itu politik?” Ayahnya menjawab, “Nak, agar kamu mudah mengerti apa itu politik, ayah akan menjelaskan bahwa politik bisa dipelajari dari perangkat dan peran yang ada dalam keluarga kita. Di keluarga ini Ayah adalah pencari nafkah, maka ayah disebut kapitalis. Ibu berperan sebagai pengatur keuangan, maka ibu disebut sebagai pemerintah. Ayah dan Ibu memenuhi kebutuhanmu, maka dari itu kamu disebut sebagai rakyat. Masih ada satu lagi, Bibi. Karena bibi berperan sebagai pembantu kita, maka bibi disebut sebagi buruh. Sedangkan adikmu yang masih bayi kita sebut sebagi masa depan.”

Selesai mengobrol panjang dengan ayahnya, Anak itu kemudian mengantuk dan segera masuk ke kamar untuk beristirahat. Ternyata gelapnya malam tak membuat matanya lama terpejam. Ia terbangun mendengar suara adiknya menangis. Dia bangun dan memeriksa. Ayahnya basah kuyup karena ngompol dan berlumur pup. Segera ia berlari ke kamar orang tuanya. Ia mendapati ibunya tertidur pulas. Tak ingin menggangu tidur ibunya, ia pun segera berlari berpindah haluan ke kamar pembantu. Kaget, ia mendapati ayahnya sedang bermesraan dengan bibi si pembantu. Dia terperangah. Karena tak punya kuasa, ia berlari dan hanya berdiam di kamarnya hingga pagi menjelang.

Keesokan paginya, ia kembali mengajak sang ayah untuk melanjutkan pembicaraan semalam. Anak itu berkata, “Ayah, sekarang aku mengerti apa itu politik.” “Bagus nak, coba ceritakan kepada ayah, apa itu politik”, jawab ayah. “Saat kapitalisme memanfaatkan buruh, pemerintah nikmat tertidur. Pada saat itu rakyat hanya bisa menonton dan bingung mendapati masa depan berada dalam kesulitan besar.”

Jadi, memang tak keliru ketika saya  asumsikan bahwa politik lahir dari rahim penguasa yang berdalih sebagai negara. Walaupun tak jelas entah negara apa dan negara mana yang  mereka maksud. (..)

Mengisi waktu, menunggu keringnya masker pokat+madu di muka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar