Metode
pembentukan hukum dengan teori argumentasi adalah cara untuk mengkaji bagaimana
menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi secara jelas dan rasional dengan cara mengembangkan
kriteria universal dan kriteria yuridis untuk digunakan sebagai landasan rasionalitas argumentasi hukum.[1] Teori argumentasi ini merupakan salah satu penemuan hukum oleh hakim dalam
menangani dan menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi dan perkara tersebut tidak ada peraturan yang mengaturnya
secara khusus dalam undang-undang. Dengan demikian menurut penulis, argumentasi hukum merupakan keterampilan ilmiah dalam
rangka pemecahan masalah-masalah hukum (legal problem solving).
Teori ini berkembang sejak
Aristoteles yang dimulai dengan studi sistematis tentang logika yang konsisten dalam premis
hingga kesimpulan. Pemikiran
yang mendasari ditetapkannya metode argumentasi hukum adalah banyaknya
kasus-kasus baru yang muncul di masyarakat, sementara di dalam undang-undang
belum ada yang mengaturnya secara khusus, maka hakim dapat melakukan argumentasi
hukum guna menjawab kasus-kasus tersebut.[2]
Untuk mewujudkan konsep keadilan dalam menyelesaikan
kasus hukum yang terjadi di dalam masyarakat, maka seorang hakim
harus menggunakan metode berfikir yuridis, yangmempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:[3]
1.
Argumentasi (Penalaran hukum), yaitu berusaha mewujudkan konsistensi
dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Dasar pemikirannya adalah keyakinan bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang..
2.
Dalam
penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal,
yakni menimbang-nimbang klaim yang berlawanan, baik dalam perdebatan
pada pembentukan undang-undang maupun dalam proses pertimbangan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan.
Ragam Teori
Argumentasi
Dalam keadaan tidak ada aturannya dalam undang-undang,
berarti hakim menghadapi kekosongan, sehingga hakim harus mengisi atau
melengkapinya. Selain itu, hakim sekali-kali tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang hukumnya tidak ada tersebut. Untuk
mengisi kekosongan tersebut, maka
hakim dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan tindakan
penemuan hukum, salah satunya adalah dengan
metode argumentasi, yang dibagi menjadi 3, yaitu: argumentasi analogi
(argumen a fortiori), argumen a contrari, dan penyempitan hukum. Sebenarnya metode argumentasi berbasis teks, artinya metode
ini digunakan apabila aturannya ada, tetapi
tidak lengkap.[4] Untuk
lebih jelasnya metode argumentasi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Argumentasi analogi (argumen a fortiori)
Metode ini pada dasarnya adalah upaya hakim untuk menerapkan undang-undang pada peristiwa konkret dengan cara memperluas permasalahan dan ruang lingkup yang diatur dalam undang-undang, sehingga dapat diterapkan pada peristiwa yang sama, sejenis
atau mirip yang diatur dalam undang-undang
itu. Metode argumentasi
analogi ini didasarkan pada cara
berpikir dari sesuatu yang khusus kepada yang khusus, jadi tidak menggunakan cara berpikir deduktif maupun
induktif.[5]
Imam Syafi’i membagi argumen ini menjadi 2 macam, yaitu argumen
a minori ad maius dan argumen a maiori ad minus. Argumen a
minori ad maius adalah bahwa jika sesuatu yang sedikit dilarang, maka
sesuatu yang banyak juga akan dilarang. Sebaliknya, argumen a maiori ad
minus adalah apabila sesuatu yang banyak diperbolehkan, maka sesuatu yang
kecil juga diperbolehkan.[6]
2. Metode a contrario (argumen a contrario)
Argumen a contrario merupakan
metode penemuan hukum yang dilakukan dengan menentukan hal yang sebaliknya.[7]
Dalam hukum Islam, teori ini sama dengan mafhum
mukhalafah.[8]
Para ahli ushul fiqh, mendefinisikan argumen a contrario sebagai penunjukan nas atau undang-undang atas berlakunya kebalikan
hukum yang disebutkan terhadap kasus yang tidak disebutkan dalam nas atau
undang-undang tersebut, karena tidak adanya kualifikasi yang menjadi dasar
penetapan hukum tersebut.[9] Kualifikasi tersebut bisa berupa sifat,
syarat, jumlah (kadar), ataupun batasan-batasan yang penetapan hukumnya
didasarkan kepadanya.[10] Oleh karena adanya kualifikasi itu, maka
ahli ushul fiqh membagi mafhum mukhalafah ini menjadi lima macam, yaitu mafhum sifat,
mafhum syarat, mafhum batas, mafhum bilangan, mafhum nama.[11]
Para ahli ushul fiqh memberikan syarat-syarat agar mafhum
mukholafah (argumen a
contrario) diterima sebagai salah satu
metode penemuan hukum Islam, diantranya adalah:[12]
a.
Kasusnya tidak disebutkan secara tersurat (mantuq)
dalam nas ataupun undang-undang.
b.
Mafhum mukhalafah tidak boleh bertentangan dengan mafhum
muwafaqah.
c.
Bahwa kualifikasi yang disebutkan hukumnya secara khusus
di dalam nas itu dimaksudkan untuk menjelaskan hukum, bukan menjelaskan yang
lain.
Mengenai kehujjahan (nilai autoritatif) mafhum mukholafah (argumen
a contrario), para ahli ushul fiqh berbeda
pendapat. Mayoritas ulama’ (Syafi’i, Maliki, Hanbali) menerima metode ini,
sementara ulama’ yang menolak metode ini, diantaranya adalah Hanafi dan
al-Ghazali. Alasan bagi para pendukung metode ini bahwa berlakunya hukum
terhadap kasus yang tidak disebutkan itu adalah karena mafhum mukholafah
(konsekuensi kebalikan dari pernyataan tersebut). Sedangkan alasan yang menolak
metode ini, dikarenakan bahwa ketiadaan hukum asal. [13]
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian dalam pembahasan yang telah
dikemukakan di atas, penulis
merumuskan kesimpulan, bahwa metode argumentasi
atau metode penalaran hukum adalah metode berfikir yuridis normatif dan yuridis empiris
yang dilakukan oleh
hakim atau juris muslim dalam rangka menyelesaikan persoalan yang
aturannya belum ada atau tidak lengkap, demi mewujudkan konsep keadilan.
Metode argumentasi terbagi menjadi tiga,
yaitu: analogi (argumen a fortiori), argumen a contrario,
dan penyempitan hukum. Dalam hukum Islam, ketiganya masuk dalam kriteria
metode interpretasi literal. Selain itu, dalam hukum Islam, antara analogi
(Qiyas) dan argumen a fortiori (mafhum muwafaqah),
keduanya dibedakan. Sedangkan dalam hukum Barat (hukum positif), nampaknya
keduanya disamakan.
[1]Abdul Haris Semendawai, “Argumentasi Hukum”, Slide dalam PKPA yang diselenggarakan oleh PBHI
– PERADI, tanggal 4–11 Agustus 2008, hlm. 15.
[2]http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/11/hubptai-gdl-hmfahmiala-525-1-penemuan.
pdf, (akse 29 Maret 2011).
[3] Saifullah
Bombang, “Metode
Penemuan dan Penciptaan Hukum oleh Hakim dalam Spirit Reformasi”,Jurnal
reformasi Hukum, Vol XI, No. 1, Juni 2008, hlm. 10.
[6] Contoh argumen a minori ad
maius adalah jika Nabi melarang su’udzon (berprasangka buruk) kepada
orang mukmin, maka sesuatu yang lebih besar dari itu, seperti berbohong juga
termasuk perbuatan yang dilarang Nabi. Contoh argumen a maiori ad
minus adalah diperbolehkan membunuh prajurit musuh, maka yang lebih ringan
dari membunuh, seperti memenjara mereka juga diperbolehkan. Lihat Ibid.,
hlm. 8.
[8]Makhrus
Munajat, “Metode Penemuan Hukum…, hlm. 20.
[9] Syamsul Anwar, "Argumen a Contrario
dalam Metode Penemuan Hukum Islam",
JurnalAsy-Syir’ah, Vol. 1, No. II, 2004, hlm. 188.
[10] Ibid.,
hlm. 191.
[11] Ibid.,
hlm. 193-196.
[12] Ibid.,
hlm. 191-192.
[13] Ibid.,
hlm. 197-199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar