Senin, 18 Maret 2013

Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Prinsip Keluarga


Perjalanan Ismail Raji al-Faruqi 
Ismail Raji al-Faruqi adalah orang Jaffa, Palestina. Beliau dilahirkan pada 1 Januari 1921.[1] Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya (Abd al-Huda al-Faruqi), seorang hakim dan tokoh agama terkemuka di kalangan sarjana Islam. Pada tahun 1926, Faruqi mulai bersekolah di The Frence Dominical College des Freres (sebuah sekolah yang menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa pengantarnya) dan lulus pada tahun 1936, kemudian melanjutkan studinya di sekolah ilmu seni dan pengetahuan pada The American University di Beirut dan mendapat gelar sarjana muda (BA) di bidang filsafat pada 1941.

Pada tahun 1948, ketika Palestina diduduki oleh penjajah Yahudi, kondisi ini mengharuskan Faruqi dan keluarganya hengkang dari tanah airnya dan terpaksa mengungsi ke Amerika Serikat. Di sana Faruqi mendaftarkan diri di Indiana University’s Graduate School of Arts and Sciences dan memperoleh gelar MA di bidang filsafat. Awal tahun 1953, Faruqi dan istrinya tinggal di Syria, kemudian ke Mesir (1954-1958) untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman pada Universitas al-Azhar Kairo dan berhasil memperoleh gelar Ph.D.[2]

Karirnya sebagai guru besar dimulai pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi sebagai guru besar studi Islam bersama dengan Fazlur Rahman (1961-1963). Kemudian tahun 1964 sebagai guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Fakultas Theologi Universitas Chicago dan pada tahun itu pula Faruqi memperoleh posisi permanen pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama Universitas Syracuse.[3]
Aktivitas ilmiahnya yang tinggi telah melahirkan sejumlah karya tulis. Menurut catatan Muhammad Shafiq, ada sekitar 129 karya tulis al-Faruqi yang terbagi atas 22 dalam bentuk buku, 3 karya persnya serta 104 karya artikelnya.[4]

Faruqi meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 karena dibunuh bersama istrinya (Lois Lamya al-Faruqi) di kediamannya di Wyncote, Pensylvania, Amerika Serikat. Kematiannya diduga akibat suara-suara pedasnya yang mengundang kemarahan masyarakat Afro-Amerika dan para imigran muslim serta kritiknya pada Zionisme‑Israel.[5]

Makna Filosofis Tauhid: Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Tauhid menurut Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai prinsip dalam kehidupan; mulai dari prinsip keluarga, pengetahuan, etika, metafisika, sejarah, tata negara (politik, sosial, dan ekonomi), ummah, dan estetika.[6]
Tauhid sebagai prinsip pengetahuan artinya tauhid sebagai asas epistemologi dan metodologi pengetahuan[7]. Epistemologi memunculkan rasa sadar nilai sebagai pengantar manusia mencapai kebenaran nilai. Metodologi berfungsi sebagai pendorong manusia untuk mencari dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.[8]
Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersumber dari Allah. Allah sebagai sumber nilai yang kehendak-Nya merupakan norma-norma yang mesti diikuti dan menempatkannya sebagai tujuan akhir dan motif bagi setiap tindakan moral manusia. Inilah substansi yang terkandung dalam tauhid prinsip etika.[9] Dengan landasan inilah, tauhid sebagai prinsip sejarah menghendaki agar manusia terlibat langsung dalam kehidupan untuk menciptakan perubahan sejarah menurut pola Ilahi.[10] Perubahan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial.
Secara politis, tauhid menghendaki agar khilafah (negara) melaksanakan syariat untuk mewujudkan keadilan. Khilafah bertanggung jawab atas ketentraman dan kesejahteraan umat.[11] Secara sosial ekonomi, tauhid mensyaratkan kedermawanan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.[12] Tauhid sebagai prinsip estetika artinya, yang disebut keindahan adalah sesuatu yang dapat membawa kesadaran penanggap seni kepada ide transendensi sehingga penanggap seni tersebut akan berusaha memenuhi kehendak-Nya sebagai bukti atas eksistensinya sebagai manusia. Dan pada akhirnya kesadaran inilah yang akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden.[13]
Menurut Faruqi, tauhid sebagai prinsip keluarga, memandang keluarga sebagai suatu sarana untuk memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu hubungan yang luas dan kompleks karena di dalamnya tercipta suatu pendidikan dasar. Seperti mencintai, menolong, mendukung (supporting), dan sebagainya.[14]
Keluarga merupakan unit pembentuk-pembangun masyarakat. Pembangunan ini tentu saja mensyaratkan adanya interaksi edukatif di dalamnya. Maka sangat tepat ketika Khalid Syantuh menyebut keluarga sebagai satu lembaga pendidikan yang paling essensial. Peranannya dalam perkembangan anak lebih besar daripada peranan sekolah. Sebab anak lebih banyak menghabiskan waktu dalam keluarga daripada tempat-tempat lainnya.[15]
Gagasannya tentang tauhid ini muncul atas kegelisahannya terhadap kondisi umat Islam yang masih tergantung pada Barat, baik dalam hal produksi maupun pertahanan diri dari intervensi pihak luar serta ketidakkompakan negara Islam.[16] Keprihatinannya atas fenomena tersebut, Faruqi mengajak umat Islam untuk kembali kepada asas Islam (tauhid). Dalam ungkapan yang sederhana, tauhid menurutnya adalah:
The conviction and witnessing that there is no God but God.[17] The name of God, Allah which simply means The God, occupies the central position in every muslim place, every muslim action and every muslim thought.[18]
Dari pernyataannya tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tauhid menurut Faruqi bukanlah tauhid pasif yang hanya sekedar pernyataan atas satu Tuhan, akan tetapi tauhid menurutnya adalah tauhid aktif, yang senantiasa melandasi setiap aktivitas muslim. Jadi tauhid berarti dzikrullah (senantiasa ingat kepada Allah). Dengan menyatakan dan mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka seluruh manusia adalah sama yakni sama-sama makhluk Allah. Jadi tidak ada superioritas satu orang atas orang lain. Maka nampak bahwa tauhid berarti pula deklarasi persamaan manusia.
Secara detail, Faruqi mengungkapkan tiga makna yang terkandung dalam tauhid. Pertama, manusia sebagai makhluk hanyalah materi (ciptaan) yang mesti menghamba kepada Sang Pencipta, mengikuti segala kehendak dan perintah-Nya sesuai rumusan tujuan penciptaan (penghambaan).[19] Kedua, pemenuhan kehendak Ilahi tersebut ditujukan untuk meraih kebahagiaan, sebab Allah telah menjanjikan balasan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Adapun upaya pemenuhan tersebut harus dilakukan sendiri oleh pribadi (diri sendiri, bukan diwakilkan orang lain) dalam mengarungi lika-liku kehidupan dengan segala konsekuensi dan resikonya. Karena setiap balasan akan diberikan langsung dari Allah kepada individu tanpa perantara (juru selamat). Ketiga, Allah adalah satu-satunya Tuhan seluruh alam. Titah-Nya bersifat universal, maka manusia harus tunduk pada perintah-Nya. Ketundukan ini sebagai suatu pemenuhan kewajiban dari makhluk kepada Khalik.[20]

Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Dari penjabaran atas makna filosofis tauhid tersebut, Faruqi meyakini bahwa tauhid adalah esensi Islam yang harus melandasi setiap gerak aktivitas umat agar tercipta suatu tatanan peradaban Islam. Sebuah peradaban yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, sampai ummah.
Pembentukan ini harus dimulai dari diri sendiri melalui pengakuan atas eksistensi diri (dengan menyadari bahwa ia mengemban beban moral) sehingga mampu melestarikan dan mengembangkan kepribadiannya untuk tunduk pada kehendak Tuhan.[21] Selanjutnya sifat pribadi tersebut dikembangkan dalam lembaga keluarga sehingga akhirnya terwujud suatu ummah yang satu.
Ummah yang Faruqi maksud tidak hanya sekedar sekumpulan orang-orang sebangsa, sebahasa ataupun sesama ras dan suku, akan tetapi ummah menurutnya adalah ummah universal yang terbangun atas dasar agama, ideologi dan merupakan suatu masyarakat universal yang keanggotaannya mencakup ragam etnis, sehingga terbentuk komunitas luas yakni komunitas berdasarkan komitmen atas Islam.[22]
Secara umum, konsep tauhid sebagai prinsip keluarga menurut ­Faruqi adalah keluarga merupakan media untuk memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan) dan pemenuhan tujuan ini mensyaratkan agar manusia menikah, melahirkan keturunan dan juga hidup bersama.[23]
Keluarga (Islam) menurut Faruqi adalah mereka yang terikat dan hidup bersama dalam suasana yang diliputi dengan rasa cinta, percaya dan peduli.[24] Faruqi menjunjung tinggi nilai suci sebuah keluarga. Keluarga yang merupakan perkumpulan antara pria dan wanita mesti dilandasi dengan nilai tauhid (dzikrullah dan persamaan manusia), sehingga dengan landasan tauhid tersebut diharapkan terjadi harmonisasi hubungan.
Keluarga (Islam) adalah keluarga patriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan pria), bukan keluarga matriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan wanita). Keluarga menurut Faruqi mengemban misi sosial yaitu sebagai media sosialisasi anak. Keluarga bertugas mempersiapkan warga negara yang baik yakni generasi yang menjunjung tinggi sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi, serta ikut serta mensejahterakan masyarakat dan membela umat bila diperlukan.[25]
Keluarga menurut Faruqi merupakan media penerjemahan tauhid, artinya aktivitas dalam keluarga mesti dilandasi nilai-nilai tauhid (dzikrullah dan persamaan). Bahwa keluarga adalah media untuk mensosialisasikan kandungan tauhid atau tauhid sebagai energi akhlak keluarga, artinya tauhid sebagai pokok daya kerja yang utama bagi manusia untuk berbuat segala kebaikan bagi dirinya, keluarga, masyarakat dan negaranya. Islam mengajarkan bahwa akhlak tidak didasarkan pada perasaan, tetapi pada tauhid.[26]
Maka jelas bahwa nilai-nilai tersebut (akhlak-tauhid) mesti menjadi landasan dalam keluarga, sebab keluarga mengemban tugas sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.[27] Keluarga juga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tinggi.[28]
Jadi tauhid sebagai landasan dalam kehidupan keluarga untuk mempersiapkan anak sebagai hamba yang mengabdi melalui pendidikan akhlak. Sebuah pendidikan yang mengarahkan potensi anak untuk berbuat baik dan senantiasa mengingat Allah dalam setiap langkahnya. Bahwa setiap perbuatan diniati atas nama Allah sekaligus untuk mencapai keridhaan-Nya.
Bentuk real tauhid adalah akhlak, yang merupakan kristalisasi dari tauhid.[29] Jadi prinsip-prinsip akhlak merupakan prasyarat pembinaan keluarga sejahtera. Akhlak ini diwujudkan melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban moral dalam setiap relasi yang tengah terjadi. Relasi ini meliputi relasi hak dan kewajiban antara suami terhadap istri, orang tua terhadap anak dan sebaliknya.[30]
Dari uraian di atas nampak bahwa pemikiran Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga berkaitan dengan pendidikan akhlak. Keluarga sebagai media edukasi-religi dengan akhlak sebagai materi utamanya memerlukan tauhid sebagai landasannya. Landasan ini dapat berpijak pada pemikiran Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam pembahasan yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1.         Bahwa tauhid sebagai inti ajaran Islam tidak hanya sekedar dimaknai sebagai pengakuan atas satu Tuhan, akan tetapi al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam seluruh aspek kehidupan agar seseorang dapat berjalan sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata.
2.     Pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga, yaitu keluarga sebagai salah satu media penerjemahan tauhid. Jadi tauhid sebagai prinsip keluarga merupakan sarana pemenuhan tujuan Ilahi (penghambaan) dan menjadi landasan untuk setiap aktivitas dalam keluarga. Sementara bentuk implementasi tauhid sebagai prinsip keluarga adalah dalam pendidikan akhlak dalam keluarga.



[1] M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 13.
[2] Ibid, hlm. 14-16.
[3] John L Esposito dan John O Voll, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Sugeng Hariyanto, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 264.

[4] Muhammad Shafiq, Mendidik Generasi..., hlm. 209-222.
[5]  Ibid., hlm. 1.
[6] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: its Implications for Thought and Life, (Kuala Lumpur: the International Institute of Islamic Thought, 1982).
[7] Ibid., hlm. 46-57.
[8] Islamisasi pengetahuan adalah salah satu wujud konkretnya yang merupakan tindak lanjut dari gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Muhyidin, cet. 1 (Bandung: Pustaka, 1984)
[9] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid..., hlm.70-97.
[10] Ibid., hlm. 40-45.
[11] Ibid., hlm. 170-186.
[12] Ibid., hlm. 98-121.
[13] Ibid., hlm. 235-265.
[14] Ibid., hlm. 157-169.
[15] Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi, cet. 3, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1994), hlm.12.
[16] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, cet. 1, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. vii.   
[17] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid..., hlm. 11
[18] Ibid, hlm. 32
[19] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, hlm. 17.
[20] Ibid, hlm. 31.
[21] Ibid, hlm. 5.
[22] Ibid, hlm. 138.
[23] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, hlm. 138.
[24] Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, cet.1 (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 163.
[25] Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, hlm. 185.
[26] Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, cet. 4 (Jakarta; Kalam Mulia, 2001), hlm. 10.
[27] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Umum, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38.
[28] Ibid., hlm. 39.
[29] Burhanuddin Salam, Etika Individual, cet. 1 (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 196.
[30] Ibid., hlm. 192.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar