Perjalanan Ismail Raji al-Faruqi
Ismail
Raji al-Faruqi adalah orang Jaffa, Palestina. Beliau dilahirkan pada
1 Januari 1921.[1]
Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya (Abd al-Huda al-Faruqi), seorang
hakim dan tokoh agama terkemuka di kalangan sarjana
Islam. Pada tahun 1926, Faruqi mulai bersekolah
di The Frence Dominical College des Freres (sebuah sekolah yang
menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa pengantarnya) dan lulus pada tahun 1936, kemudian melanjutkan studinya di
sekolah ilmu seni dan pengetahuan pada The American University di
Beirut dan mendapat gelar sarjana muda (BA) di bidang filsafat pada 1941.
Pada
tahun 1948,
ketika Palestina diduduki oleh penjajah Yahudi, kondisi ini mengharuskan Faruqi
dan keluarganya hengkang dari tanah airnya dan terpaksa mengungsi ke Amerika
Serikat. Di sana Faruqi mendaftarkan diri di Indiana
University’s Graduate School of Arts and Sciences dan memperoleh
gelar MA di bidang filsafat. Awal tahun
1953, Faruqi dan istrinya tinggal di
Syria, kemudian ke Mesir (1954-1958) untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman pada Universitas al-Azhar Kairo dan berhasil memperoleh gelar Ph.D.[2]
Karirnya
sebagai guru besar dimulai pada Institut Pusat Riset Islam
di Karachi sebagai guru besar studi Islam bersama dengan Fazlur Rahman (1961-1963).
Kemudian tahun 1964 sebagai guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Fakultas Theologi Universitas Chicago dan pada
tahun itu pula Faruqi memperoleh posisi permanen pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama Universitas
Syracuse.[3]
Aktivitas ilmiahnya yang tinggi telah melahirkan
sejumlah karya tulis. Menurut catatan Muhammad Shafiq, ada sekitar 129 karya
tulis al-Faruqi yang terbagi atas 22 dalam bentuk buku, 3 karya persnya serta 104 karya
artikelnya.[4]
Faruqi meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 karena dibunuh bersama istrinya (Lois Lamya al-Faruqi) di
kediamannya di Wyncote, Pensylvania, Amerika Serikat. Kematiannya diduga akibat
suara-suara pedasnya yang mengundang kemarahan masyarakat Afro-Amerika dan para
imigran muslim serta kritiknya pada Zionisme‑Israel.[5]
Makna
Filosofis Tauhid: Pemikiran Ismail Raji
al-Faruqi
Tauhid menurut Faruqi adalah inti ajaran Islam yang
mendasari berbagai prinsip dalam
kehidupan; mulai dari prinsip keluarga, pengetahuan, etika, metafisika, sejarah, tata negara (politik,
sosial, dan ekonomi), ummah, dan estetika.[6]
Tauhid
sebagai prinsip pengetahuan artinya tauhid sebagai asas epistemologi
dan metodologi pengetahuan[7].
Epistemologi memunculkan rasa sadar nilai sebagai pengantar manusia mencapai kebenaran
nilai. Metodologi berfungsi sebagai pendorong
manusia untuk mencari dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.[8]
Nilai
yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersumber dari Allah. Allah sebagai
sumber nilai yang kehendak-Nya merupakan norma-norma yang mesti diikuti dan
menempatkannya sebagai tujuan akhir dan motif bagi setiap tindakan moral
manusia. Inilah substansi yang terkandung dalam tauhid prinsip etika.[9]
Dengan landasan inilah, tauhid
sebagai prinsip sejarah menghendaki agar manusia
terlibat langsung dalam kehidupan untuk menciptakan perubahan sejarah menurut
pola Ilahi.[10]
Perubahan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial.
Secara politis, tauhid
menghendaki agar khilafah (negara) melaksanakan syariat untuk mewujudkan keadilan. Khilafah bertanggung jawab
atas ketentraman dan kesejahteraan
umat.[11] Secara
sosial ekonomi, tauhid mensyaratkan kedermawanan untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama.[12]
Tauhid sebagai prinsip estetika artinya, yang disebut keindahan adalah sesuatu yang dapat membawa kesadaran penanggap
seni kepada ide transendensi sehingga
penanggap seni tersebut akan berusaha memenuhi kehendak-Nya sebagai
bukti atas eksistensinya sebagai manusia. Dan pada akhirnya kesadaran inilah
yang akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden.[13]
Menurut Faruqi, tauhid sebagai
prinsip keluarga, memandang keluarga sebagai suatu sarana untuk memenuhi
tujuan Ilahi (penghambaan). Keluarga
melahirkan suatu hubungan yang luas dan kompleks karena di dalamnya tercipta
suatu pendidikan dasar. Seperti mencintai, menolong, mendukung (supporting),
dan sebagainya.[14]
Keluarga merupakan unit
pembentuk-pembangun masyarakat. Pembangunan
ini tentu saja mensyaratkan adanya interaksi edukatif di dalamnya. Maka sangat tepat
ketika Khalid Syantuh menyebut keluarga sebagai satu lembaga pendidikan yang paling essensial.
Peranannya dalam perkembangan anak lebih besar daripada peranan sekolah.
Sebab anak lebih banyak menghabiskan waktu dalam keluarga daripada
tempat-tempat lainnya.[15]
Gagasannya
tentang tauhid ini muncul atas kegelisahannya terhadap kondisi umat Islam yang masih
tergantung pada Barat, baik dalam hal produksi maupun pertahanan diri dari
intervensi pihak luar serta ketidakkompakan negara Islam.[16]
Keprihatinannya atas fenomena tersebut, Faruqi mengajak umat Islam untuk kembali
kepada asas Islam (tauhid). Dalam ungkapan yang sederhana, tauhid menurutnya
adalah:
The conviction and witnessing that there is no God but
God.[17]
The name of God, Allah which simply means The God, occupies the central
position in every muslim place, every muslim action and every muslim thought.[18]
Dari
pernyataannya tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
tauhid menurut Faruqi bukanlah tauhid pasif yang hanya sekedar
pernyataan atas satu Tuhan, akan tetapi tauhid menurutnya adalah tauhid aktif, yang
senantiasa melandasi setiap aktivitas muslim. Jadi tauhid berarti dzikrullah
(senantiasa ingat kepada Allah). Dengan menyatakan dan mengakui bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah, maka seluruh manusia
adalah sama yakni sama-sama makhluk
Allah. Jadi tidak ada superioritas satu orang atas orang lain. Maka nampak bahwa tauhid berarti pula
deklarasi persamaan manusia.
Secara detail, Faruqi
mengungkapkan tiga makna yang terkandung dalam tauhid. Pertama, manusia
sebagai makhluk hanyalah materi (ciptaan) yang
mesti menghamba kepada Sang Pencipta, mengikuti segala kehendak dan perintah-Nya sesuai rumusan tujuan penciptaan
(penghambaan).[19] Kedua, pemenuhan kehendak Ilahi tersebut ditujukan untuk meraih kebahagiaan, sebab Allah telah menjanjikan balasan
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Adapun upaya pemenuhan tersebut
harus dilakukan sendiri oleh pribadi (diri
sendiri, bukan diwakilkan orang lain) dalam mengarungi lika-liku
kehidupan dengan segala konsekuensi dan resikonya. Karena setiap balasan akan diberikan langsung dari Allah kepada individu
tanpa perantara (juru selamat). Ketiga,
Allah adalah satu-satunya Tuhan seluruh alam. Titah-Nya bersifat universal, maka manusia harus tunduk pada
perintah-Nya. Ketundukan ini sebagai suatu pemenuhan kewajiban dari
makhluk kepada Khalik.[20]
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Dari penjabaran atas makna filosofis tauhid
tersebut, Faruqi meyakini bahwa tauhid adalah esensi Islam yang harus
melandasi setiap gerak aktivitas umat agar tercipta suatu tatanan peradaban
Islam. Sebuah peradaban yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, sampai ummah.
Pembentukan ini harus dimulai dari
diri sendiri melalui pengakuan atas
eksistensi diri (dengan menyadari bahwa ia mengemban beban moral) sehingga
mampu melestarikan dan mengembangkan kepribadiannya
untuk tunduk pada kehendak Tuhan.[21]
Selanjutnya sifat pribadi tersebut dikembangkan dalam lembaga keluarga
sehingga akhirnya terwujud suatu ummah yang satu.
Ummah
yang Faruqi maksud tidak hanya sekedar sekumpulan orang-orang sebangsa,
sebahasa ataupun sesama ras dan suku, akan tetapi ummah menurutnya adalah ummah
universal yang terbangun atas dasar agama, ideologi dan merupakan
suatu masyarakat universal yang keanggotaannya
mencakup ragam etnis, sehingga terbentuk komunitas luas yakni komunitas
berdasarkan komitmen atas Islam.[22]
Secara
umum, konsep tauhid sebagai prinsip keluarga menurut Faruqi adalah keluarga merupakan
media untuk memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan)
dan pemenuhan tujuan ini mensyaratkan agar manusia menikah, melahirkan
keturunan dan juga hidup bersama.[23]
Keluarga (Islam)
menurut Faruqi adalah mereka yang terikat dan hidup
bersama dalam suasana yang diliputi dengan rasa cinta, percaya dan peduli.[24] Faruqi menjunjung tinggi nilai suci sebuah keluarga. Keluarga yang merupakan perkumpulan antara
pria dan wanita mesti dilandasi dengan nilai tauhid (dzikrullah dan persamaan manusia), sehingga dengan landasan
tauhid tersebut diharapkan terjadi harmonisasi hubungan.
Keluarga (Islam) adalah keluarga
patriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan pria), bukan keluarga matriarkal (pimpinan keluarga
ada di tangan wanita). Keluarga menurut Faruqi mengemban misi sosial yaitu
sebagai media sosialisasi anak. Keluarga
bertugas mempersiapkan warga negara yang baik yakni generasi yang
menjunjung tinggi sistem sosial, budaya,
politik, dan ekonomi, serta ikut serta mensejahterakan masyarakat dan membela umat bila diperlukan.[25]
Keluarga menurut Faruqi
merupakan media penerjemahan tauhid, artinya aktivitas dalam keluarga mesti dilandasi nilai-nilai
tauhid (dzikrullah dan persamaan). Bahwa keluarga adalah media untuk
mensosialisasikan kandungan tauhid atau tauhid sebagai energi akhlak keluarga, artinya tauhid sebagai pokok daya kerja
yang utama bagi manusia untuk berbuat
segala kebaikan bagi dirinya, keluarga, masyarakat dan negaranya. Islam mengajarkan bahwa akhlak tidak didasarkan
pada perasaan, tetapi pada tauhid.[26]
Maka jelas bahwa nilai-nilai tersebut (akhlak-tauhid) mesti menjadi landasan dalam keluarga, sebab keluarga mengemban
tugas sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup
keagamaan.[27]
Keluarga juga merupakan tempat belajar
bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai
perwujudan nilai hidup yang tinggi.[28]
Jadi tauhid sebagai
landasan dalam kehidupan keluarga untuk mempersiapkan
anak sebagai hamba yang mengabdi melalui pendidikan akhlak. Sebuah
pendidikan yang mengarahkan potensi anak untuk berbuat baik dan senantiasa
mengingat Allah dalam setiap langkahnya. Bahwa setiap perbuatan diniati atas nama Allah sekaligus untuk mencapai keridhaan-Nya.
Bentuk real tauhid adalah
akhlak, yang merupakan kristalisasi dari
tauhid.[29]
Jadi prinsip-prinsip akhlak merupakan
prasyarat pembinaan keluarga sejahtera. Akhlak ini diwujudkan melalui
pelaksanaan kewajiban-kewajiban moral dalam setiap relasi yang tengah terjadi. Relasi ini meliputi relasi hak dan
kewajiban antara suami terhadap istri, orang tua terhadap anak dan
sebaliknya.[30]
Dari uraian di atas nampak bahwa pemikiran Faruqi
tentang tauhid sebagai prinsip keluarga
berkaitan dengan pendidikan akhlak. Keluarga sebagai media
edukasi-religi dengan akhlak sebagai materi utamanya memerlukan tauhid sebagai landasannya. Landasan ini dapat berpijak pada
pemikiran Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam pembahasan yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Bahwa tauhid sebagai inti ajaran Islam tidak hanya sekedar
dimaknai sebagai pengakuan atas satu Tuhan,
akan tetapi al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan)
tauhid ke dalam seluruh aspek kehidupan agar
seseorang dapat berjalan sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan
kepada Allah semata.
2.
Pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga,
yaitu keluarga sebagai salah satu media penerjemahan
tauhid. Jadi tauhid sebagai prinsip keluarga merupakan sarana pemenuhan tujuan Ilahi (penghambaan) dan menjadi landasan untuk
setiap aktivitas dalam keluarga. Sementara bentuk implementasi tauhid sebagai prinsip keluarga adalah dalam pendidikan akhlak dalam
keluarga.
[1] M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, cet. 1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hlm. 13.
[2] Ibid, hlm. 14-16.
[3] John L Esposito dan John O Voll, Tokoh-Tokoh
Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Sugeng Hariyanto, cet. 1 (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 264.
[4] Muhammad Shafiq, Mendidik Generasi..., hlm. 209-222.
[5] Ibid., hlm. 1.
[6] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid:
its Implications for Thought and Life,
(Kuala Lumpur: the International Institute of Islamic Thought, 1982).
[7] Ibid., hlm. 46-57.
[8] Islamisasi pengetahuan adalah salah satu wujud
konkretnya yang merupakan tindak lanjut dari gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Lihat Ismail Raji
al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Muhyidin, cet.
1 (Bandung: Pustaka, 1984)
[9] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid...,
hlm.70-97.
[10] Ibid., hlm. 40-45.
[11] Ibid., hlm. 170-186.
[12] Ibid., hlm. 98-121.
[13] Ibid.,
hlm. 235-265.
[14] Ibid.,
hlm. 157-169.
[15] Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri
dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi, cet. 3, (Jakarta: Pustaka al Kautsar,
1994), hlm.12.
[16] Ismail Raji
al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, cet. 1, (Bandung: Pustaka,
1988), hlm. vii.
[17] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid..., hlm. 11
[18] Ibid, hlm. 32
[19] Ismail Raji
al-Faruqi, Tauhid, hlm. 17.
[20] Ibid, hlm. 31.
[21] Ibid, hlm. 5.
[22] Ibid, hlm. 138.
[23] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid,
hlm. 138.
[24] Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas
Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, cet.1 (Bandung: Mizan, 1998), hlm.
163.
[25] Ismail Raji al-Faruqi, Atlas
Budaya Islam, hlm. 185.
[26] Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga,
cet. 4 (Jakarta; Kalam Mulia, 2001), hlm. 10.
[27] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Umum,
cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38.
[28] Ibid., hlm. 39.
[29] Burhanuddin Salam, Etika Individual, cet. 1 (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm. 196.
[30] Ibid., hlm. 192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar