Senin, 18 Maret 2013

Pemikiran Hamka Tentang Prinsip Keluarga


Sekilas tentang Biografi Hamka
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau dilahirkan pada tanggal 16 Pebruari 1908 M (1327 H) di Maninjau Sumatra Barat.[1] Beliau menerima pendidikan awalnya dari ayahnya sendiri dan beberapa sekolah formal. Hamka mempelajari karya-karya Islam, tidak hanya yang ditulis oleh sarjana-sarjana Muslim klasik, tetapi juga oleh Muslim modernis seperti Muhammad Abduh[2] dan Jamâl al-Dîn al-Afghanî.[3]

Menurut Nurcholish Madjid, berkat kemampuan membacanya yang luas menyebabkan Hamka mempunyai banyak akses keilmuwan, dibanding pemikir Islam modernis lain di Indonesia.[4] Abdurrahman Wahid, bahkan mengakui penguasaan Hamka terhadap keilmuan Islam ini.[5]

Bukti bahwa Hamka telah menguasai tentang Islam terlihat dari gelar doktor (honoris causa) dan professor yang diberikan kepadanya. Pertama, oleh Majlis Tinggi al-Azhar pada 20 Sya’ban 1378 H/ 28 Pebruari 1959, memberikan gelar “Syaraf Ilmiyah Syahadah al-‘Alimiyah”. Surat penghargaan itu sendiri ditandatangani oleh Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Jami’ al-Azhar. Kedua, dari Universitas kebangsaan Malaysia pada tanggal 8 Juni 1974.[6]

Pada saat perkembangan politik di Indonesia semakin memburuk, Hamka sebagai masyarakat dan ulama tak luput dari berbagi hasutan. Dia dituduh menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan Presiden Sukarno dan atas tuduhan tersebut, Hamka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.[7] Akan tetapi pengalaman dalam penjara ini justru sangat berkesan bagi Hamka, selama penahanan ini, selain menyelesaikan tafsirnya, Hamka juga mendapat kesempatan di malam hari untuk salat tahajud, mengkhatamkan Al-Quran lebih dari 100 kali. Beliau juga membaca buku-buku tasawuf, tauhid, filsafat agama, hadits-hadits Rasulullah, tarikh pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan ulama’.[8] Dengan demikian selama dalam penjara merupakan masa-masa untuk menambah ilmu pengetahuan dan meresapkan ajaran agama ke dalam jiwa.

Makna Filosofis Tauhid: Pemikiran Hamka
Tauhid juga sering disebut aqidah atau aqo’id yang berarti kepercayaan atau keimanan. Hamka sendiri mengartikan aqo’id adalah kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa termasuk di dalamnya kepercayaan adanya Malaikat, Kitab Suci (wahyu) dan Nabi-Nabi, kepercayaan pada Hari Akhir, kepercayaan pada iradah dan penentuan nasib manusia. Buya Hamka menjelaskan bahwa tauhid itu adalah ajaran islam yang paling pokok, mengakui akan keesaan Tuhan, satu kekuasan tertinggi, satu pengatur alam raya, tidak bercabang dan tidak pecah. Selain Allah adalah makhluk atau benda belaka.[9]

Secara etimologi, tauhid menurut Hamka adalah mengesakan Allah (Tuhan). Sementara secara terminologi adalah mempercayai bahwasannya hanya Dia sendiri yang Maha Kuasa di atas alam ini. Dari penjelasan Hamka tentang tauhid tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa definisi tauhid tersebut mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah, menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis. Tauhid rububiyah yaitu mengakui bahwa di dunia ini hanya ada satu tuhan, yaitu Allah. Sementara tauhid uluhiyyah adalah menyembah, beribadah dan memuji-Nya.[10] Jadi, tauhid menurut Hamka melibatkan unsur ibadah, dimana terjalin hubungan yang saling mengkait satu sama lainnya. Hal ini sesuai dengan pengertian iman dalam perspektif islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan saja, tetapi juga menyangkut perbuatan atau ibadah.

Inti ajaran tauhid adalah memerdekakan manusia dari pengertian syirik.[11] Seluruh aktifitas manusia selama hidup ini bertujuan untuk mencari atau mengusahakan agar semua aktifitasnya itu mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia berkedudukan sama di mata Tuhan. Tidak ada perbedaan warna kulit, atau diskriminasi ras dan tidak ada perbedaan karena keturunan.[12] Makhluk paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa kepada-Nya. Hak dan kewajiban semua manusia sama, tidak dibeda-bedakan. Setiap orang harus berusaha meningkatkan kualitas imannya. Setelah itu, berusaha meningkatkan kualitas iman dalam lingkungannya dari sekup yang paling kecil (keluarga), meluas hingga tetangga, kampung, negeri, sampai ke tingkat dunia.[13]

Jiwa manusia adalah sempurna. Manusia adalah makhluk yang dijadikan oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya dimuka bumi ini. Oleh karena itu, maka hubungan tiap manusia dengan Allah hendaklah langsung. Jiwa yang dipenuhi dengan perasaan tauhid adalah jiwa yang merdeka. Apabila manusia telah mempertuhankan yang lain, sedang yang lain itu hanyalah makhluk/benda belaka, maka manusia sendiri yang membawa jiwanya jadi budak orang lain. Mempersekutukan yang lain dengan Allah adalah aniaya yang paling besar. Sebab tujuan hidup bisa jadi pecah berderai dan manusia sendiri pun jadi berpecah-pecah karena syirik. [14]

Menurut Hamka, pokok kepercayaan artinya haram mempersekutukan-Nya dan wajib mentauhidkan-Nya. Kemusyrikan yang haram itu bukan hanya menyembah berhala. Bahkan jika ada tempat tunduk, tempat berlindung diri, serta tempat memohon selain Allah, maka itu juga musyrik. Sehingga meskipun beramal baik, akan tetapi bukan  karena Allah, melainkan semata-mata mencari penghargaan manusia, itu disebut riya’, dan riya’itu merupakan syirik khafi (mempersekutukan Allah secara halus).[15]

Orang yang tidak percaya kepada tuhan seakan-akan orang tersebut tidak ada pegangan hidup dan tidak ada tanah untuk berpijak. Percaya kepada Allah akan menaikkan tingkatan manusia kepada martabat yang lebih tinggi, sedangkan kekufuran akan membawa manusia ke tempat kebinatangan.[16]

Pemikiran Hamka Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Menurut ilmu jiwa pendidikan, keluarga (orang tua) adalah lingkungan pertama yang didapati oleh seorang anak ketika dia lahir ke dunia.[17] Dalam surat al-Luqman disebutkan tentang Wasiat Lukman kepada anaknya, yaitu: janganlah mempersekutukan Tuhan yang lain dengan Allah, karena yang selain dari Allah itu adalah alam belaka dan ciptaan Tuhan belaka. Allah tidak bersekutu atau berkonotasi dengan tuhan yang lain di dalam menciptakan alam ini. Mempersekutukan Allah artinya menganiaya diri sendiri dan memperbodoh diri sendiri. Menganiaya diri sendiri, sebab Tuhan mengajaknya agar membebaskan jiwanya dari segala sesuatu selain Dia.[18]

Dari ayat-ayat yang mengandung wasiat Luqman kepada anaknya (surat al-Luqman: 12-19), dapat diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat itu mengandung dasar-dasar pendidikan bagi seorang muslim, menjadi sumber inspirasi yang mengatur pokok-pokok pendidikan bagi anak-anak kaum muslimin. Disana terkandung pokok akidah, yaitu kepercayaan tauhid terhadap Tuhan, yang menyebabkan timbulnya jiwa merdeka dan bebas dari pengaruh benda dan alam. Selain itu, disana merupakan dasar utama tegaknya rumah tangga muslim, yaitu sikap hormat, penuh cinta dan kasih sayang dari anak kepada orang tuanya. Diberikan pula pedoman hidup apabila bertikai pendapat diantara orang tua dan anak. Jika orang tuanya masih hidup dalam keadaan kufur, padahal anak sudah memeluk agama yang benar, maka cinta tidaklah berubah, tetapi kecintaan terhadap ibu-bapak tidak boleh mengalahkan akidah. Disini disuruh untuk berlaku yang patut, ma’ruf kepada keduanya.[19]

Menurut Hamka, dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang pertama bagi anak, hendaknya orang tua bersifat arif dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Tugas lainnya adalah memberikan contoh yang baik, menasehati, membimbing, serta mengontrol, sehingga anak berkembang sesuai dengan ajaran agama.[20] Dalam pelaksanaannya, Umar bin Khattab telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik anak. Kata beliau “ajar dan didiklah anakmu sesuai dengan zaman yang akan dihadapinya”.[21] 
Berkaitan dengan memberikan contoh perilaku yang baik, Hamka mengungkapkan bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk berperilaku baik, karena bertanggung jawab terhadap anaknya, termasuk menjadi tauladan yang baik, yang dinyatakan bahwa: “Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, dan disegani, maka hendaklah perangai dan tingkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anaknya, agar anak bisa menjadi kebanggaan dan kemegahan bagi keluarganya”.[22]

Rumah tangga menurut Hamka adalah benteng tempat mempertahankan budi dan harga diri.[23] Oleh karena itu, Hamka memberikan rambu-rambu bagi orang tua dalam pendidikan anak, diantaranya adalah:[24]
1.    Membiasakan anak untuk bangun lebih cepat, karena jika banyak tidur maka akan membuat anak malas dan tidak berkreatifitas.
2.       Menanamkan sikap sederhana.
3.       Membiasakan diri bagi anak untuk percaya diri dan mandiri, serta menanamkan nilai-nilai tauhid dan ilahiyah.
Samsul Nizar mengutip pendapat Hamka, bahwa ada 2 bentuk kewajiban orang tua terhadap anaknya, yaitu:
1.       Kewajiban memelihara lahiriyah, yang meliputi kesehatan, makan, minum, serta kebutuhan fisik lainnya.
2.   Kebutuhan memelihara batiniyah, yang meliputi ketentraman, kenyamanan, serta pendidikan sebagai persiapan untuk kehidupan di belakang hari.
3.     Berdasarkan uraian diatas, maka nilai-nilai pendidikan yang pertama kali harus diberikan kepada anak adalah nilah ilahiyah (ketauhidan), karena dengan nilai-nilai tersebut, menurut Hamka, diharapkan anak-anak akan terpatri dengan nilai-nilai ketundukan kepada Khaliknya.[25]

Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam pembahasan yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1.   Bahwa tauhid sebagai inti ajaran Islam tidak hanya sekedar dimaknai sebagai pengakuan atas satu Tuhan, akan tetapi al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam seluruh aspek kehidupan agar seseorang dapat berjalan sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata.
2.   Tauhid menurut Hamka mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah, berarti menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis. Jadi, tauhid menurut Hamka melibatkan unsur ibadah. Hal ini sesuai dengan pengertian iman dalam perspektif islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan saja, tetapi juga menyangkut perbuatan atau ibadah.
3.    Keluarga sebagai lingkungan pertama pendidikan bagi seorang anak, maka menurut Hamka orang tua wajib memberikan nilai-nilai pendidikan kepada anak, yang harus pertama kali diberikan adalah nilah ilahiyah (ketauhidan), karena dengan nilai-nilai tersebut, diharapkan anak-anak akan terpatri dengan nilai-nilai ketundukan kepada Khaliknya. Bentuk implementasi pengajaran tauhid  ini dilakukan dengan cara memberikan tauladan yang baik bagi anak, sehingga terciptalah generasi yang menjadi kebanggaan orang tuanya.



[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 284.
[2] Mengenai pengaruh pemikiran Abduh dalam gerakan reformasi di Indonesia—termasuk Hamka sendiri tentunya—Hamka menulis makalah dengan judul “Pengaruh Fikiran Syeikh Mohammad `Abduh di Indonesia” yang disampaikan di gedung Asya-Syubbanul Muslimun di Mesir, Pebruari 1958. Melalui pidatonya inilah Hamka memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar.
[3] Sebagai tanda hormatnya kepada al-Afghânî, Hamka menulis buku khusus mengenai tokoh ini (lihat Hamka, Said Jamaluddin Al-Afghani: Pelopor Kebangkitan Muslimin, Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
[4] Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 320.
[5] Abdurrahman Wahid, “Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar”, dalam Nasir Tamara, Buntaran Sanusi dan Vincent Djauhari (penyunting), Hamka di Mata Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 30.
[6] Solichin Salam, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979), hlm. 192.
[7] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 45.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XXX, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 55.
[9] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XII, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 258.
[10] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XV, hlm. 39.
[11] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ IX, hlm. 213.
[12] Shobahussurur, “Relasi Islam dan Kekuasaan dalam Perspektif Hamka”, Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 43, No. 41, 2009, hlm. 3.
[13] Ibid., hlm. 4
[14] Ibid.
[15] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ VIII, hlm. 102.
[16] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XV, hlm. 38.
[17] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ VIII, hlm. 103.
[18] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XXI, hlm. 128
[19] Ibid, hlm. 135.
[20] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual..., hlm. 143.
[21] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XXI, hlm. 135.
[22] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XXVIII, hlm. 371-372.
[23] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XVIII, hlm. 264.
[24] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual..., hlm. 44.
[25] Ibid., hlm.139-140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar