Sekilas tentang Biografi Hamka
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Beliau dilahirkan pada tanggal 16 Pebruari 1908 M (1327 H) di Maninjau Sumatra
Barat.[1]
Beliau menerima pendidikan awalnya dari ayahnya sendiri dan beberapa sekolah
formal. Hamka mempelajari karya-karya Islam, tidak hanya yang ditulis oleh
sarjana-sarjana Muslim klasik, tetapi juga oleh Muslim modernis seperti
Muhammad Abduh[2]
dan Jamâl al-Dîn al-Afghanî.[3]
Menurut Nurcholish Madjid, berkat kemampuan membacanya yang luas
menyebabkan Hamka mempunyai banyak akses keilmuwan, dibanding pemikir Islam
modernis lain di Indonesia.[4]
Abdurrahman Wahid, bahkan mengakui penguasaan Hamka terhadap keilmuan Islam
ini.[5]
Bukti
bahwa Hamka telah menguasai tentang Islam terlihat dari gelar doktor (honoris
causa) dan professor yang diberikan kepadanya. Pertama, oleh Majlis
Tinggi al-Azhar pada 20 Sya’ban 1378 H/ 28 Pebruari 1959, memberikan gelar “Syaraf
Ilmiyah Syahadah al-‘Alimiyah”. Surat penghargaan itu sendiri
ditandatangani oleh Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Jami’ al-Azhar. Kedua,
dari Universitas kebangsaan Malaysia pada tanggal 8 Juni 1974.[6]
Pada
saat perkembangan politik di Indonesia semakin memburuk, Hamka sebagai
masyarakat dan ulama tak luput dari berbagi hasutan. Dia dituduh
menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan Presiden Sukarno dan
atas tuduhan tersebut, Hamka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.[7]
Akan tetapi pengalaman dalam penjara ini justru sangat berkesan bagi Hamka, selama
penahanan ini, selain menyelesaikan tafsirnya, Hamka juga mendapat kesempatan
di malam hari untuk salat tahajud, mengkhatamkan Al-Quran lebih dari 100 kali.
Beliau juga membaca buku-buku tasawuf, tauhid, filsafat agama, hadits-hadits
Rasulullah, tarikh pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan
ulama’.[8]
Dengan demikian selama dalam penjara merupakan masa-masa untuk menambah ilmu
pengetahuan dan meresapkan ajaran agama ke dalam jiwa.
Makna Filosofis Tauhid: Pemikiran Hamka
Tauhid juga sering disebut
aqidah atau aqo’id yang berarti kepercayaan atau keimanan. Hamka sendiri
mengartikan aqo’id adalah kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa
termasuk di dalamnya kepercayaan adanya Malaikat, Kitab Suci (wahyu) dan
Nabi-Nabi, kepercayaan pada Hari Akhir, kepercayaan pada iradah dan penentuan
nasib manusia. Buya Hamka menjelaskan bahwa tauhid itu adalah ajaran islam yang paling pokok, mengakui akan keesaan Tuhan, satu kekuasan tertinggi, satu pengatur alam raya,
tidak bercabang dan tidak pecah. Selain Allah adalah makhluk atau benda belaka.[9]
Secara etimologi, tauhid
menurut Hamka adalah mengesakan Allah (Tuhan). Sementara secara terminologi
adalah mempercayai bahwasannya hanya Dia sendiri yang Maha Kuasa di atas alam ini.
Dari penjelasan Hamka tentang tauhid tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa
definisi tauhid tersebut mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah
dan tauhid rububiyyah, menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan
praktis. Tauhid rububiyah yaitu mengakui bahwa di dunia ini hanya ada satu
tuhan, yaitu Allah. Sementara tauhid uluhiyyah adalah menyembah, beribadah dan
memuji-Nya.[10] Jadi,
tauhid menurut Hamka melibatkan unsur ibadah, dimana terjalin hubungan yang
saling mengkait satu sama lainnya. Hal ini sesuai dengan pengertian iman dalam
perspektif islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan saja, tetapi juga
menyangkut perbuatan atau ibadah.
Inti ajaran
tauhid adalah memerdekakan manusia dari pengertian syirik.[11] Seluruh
aktifitas manusia selama hidup ini bertujuan untuk mencari atau
mengusahakan agar
semua aktifitasnya itu mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua
manusia berkedudukan sama di mata Tuhan.
Tidak ada perbedaan warna kulit, atau diskriminasi ras dan tidak ada perbedaan
karena keturunan.[12]
Makhluk paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa
kepada-Nya. Hak dan kewajiban semua manusia
sama, tidak dibeda-bedakan. Setiap orang
harus berusaha meningkatkan kualitas imannya. Setelah itu, berusaha meningkatkan kualitas iman dalam
lingkungannya dari sekup yang paling
kecil (keluarga), meluas hingga tetangga, kampung, negeri, sampai ke
tingkat dunia.[13]
Jiwa
manusia adalah sempurna. Manusia adalah makhluk yang dijadikan oleh Allah untuk
menjadi khalifah-Nya dimuka bumi ini. Oleh karena itu, maka hubungan tiap
manusia dengan Allah hendaklah langsung. Jiwa yang dipenuhi dengan perasaan
tauhid adalah jiwa yang merdeka. Apabila manusia telah mempertuhankan yang
lain, sedang yang lain itu hanyalah makhluk/benda belaka, maka manusia sendiri
yang membawa jiwanya jadi budak orang lain. Mempersekutukan yang lain dengan
Allah adalah aniaya yang paling besar. Sebab tujuan hidup bisa jadi pecah
berderai dan manusia sendiri pun jadi berpecah-pecah karena syirik. [14]
Menurut Hamka, pokok kepercayaan
artinya haram mempersekutukan-Nya dan wajib mentauhidkan-Nya. Kemusyrikan yang
haram itu bukan hanya menyembah berhala. Bahkan jika ada tempat tunduk, tempat
berlindung diri, serta tempat memohon selain Allah, maka itu juga musyrik.
Sehingga meskipun beramal baik, akan tetapi bukan karena Allah, melainkan semata-mata mencari
penghargaan manusia, itu disebut riya’, dan riya’itu merupakan
syirik khafi (mempersekutukan Allah secara halus).[15]
Orang yang tidak percaya kepada
tuhan seakan-akan orang tersebut tidak ada pegangan hidup dan tidak ada tanah
untuk berpijak. Percaya kepada Allah akan menaikkan tingkatan manusia kepada
martabat yang lebih tinggi, sedangkan kekufuran akan membawa manusia ke tempat
kebinatangan.[16]
Pemikiran Hamka Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Menurut ilmu jiwa pendidikan,
keluarga (orang tua) adalah lingkungan pertama yang didapati oleh seorang anak
ketika dia lahir ke dunia.[17]
Dalam surat al-Luqman disebutkan tentang Wasiat Lukman kepada anaknya, yaitu:
janganlah mempersekutukan Tuhan yang lain dengan Allah, karena yang selain dari
Allah itu adalah alam belaka dan ciptaan Tuhan belaka. Allah tidak bersekutu
atau berkonotasi dengan tuhan yang lain di dalam menciptakan alam ini.
Mempersekutukan Allah artinya menganiaya diri sendiri dan memperbodoh diri
sendiri. Menganiaya diri sendiri, sebab Tuhan mengajaknya agar membebaskan
jiwanya dari segala sesuatu selain Dia.[18]
Dari ayat-ayat yang mengandung wasiat Luqman
kepada anaknya (surat al-Luqman: 12-19), dapat diambil kesimpulan bahwa
ayat-ayat itu mengandung dasar-dasar pendidikan bagi seorang muslim, menjadi
sumber inspirasi yang mengatur pokok-pokok pendidikan bagi anak-anak kaum
muslimin. Disana terkandung pokok akidah, yaitu kepercayaan tauhid terhadap
Tuhan, yang menyebabkan timbulnya jiwa merdeka dan bebas dari pengaruh benda
dan alam. Selain itu, disana merupakan dasar utama tegaknya rumah tangga
muslim, yaitu sikap hormat, penuh cinta dan kasih sayang dari anak kepada orang
tuanya. Diberikan pula pedoman hidup apabila bertikai pendapat diantara orang
tua dan anak. Jika orang tuanya masih hidup dalam keadaan kufur, padahal anak sudah
memeluk agama yang benar, maka cinta tidaklah berubah, tetapi kecintaan
terhadap ibu-bapak tidak boleh mengalahkan akidah. Disini disuruh untuk berlaku
yang patut, ma’ruf kepada keduanya.[19]
Menurut Hamka, dalam melaksanakan fungsinya
sebagai lembaga pendidikan yang pertama bagi anak, hendaknya orang tua bersifat
arif dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Tugas lainnya
adalah memberikan contoh yang baik, menasehati, membimbing, serta mengontrol,
sehingga anak berkembang sesuai dengan ajaran agama.[20] Dalam pelaksanaannya, Umar bin Khattab
telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik anak. Kata beliau “ajar dan
didiklah anakmu sesuai dengan zaman yang akan dihadapinya”.[21]
Berkaitan dengan memberikan contoh perilaku yang
baik, Hamka mengungkapkan bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk berperilaku
baik, karena bertanggung jawab terhadap anaknya, termasuk menjadi tauladan yang
baik, yang dinyatakan bahwa: “Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh,
berwibawa, dan disegani, maka hendaklah perangai dan tingkah lakunya dapat
dijadikan contoh oleh anaknya, agar anak bisa menjadi kebanggaan dan kemegahan
bagi keluarganya”.[22]
Rumah
tangga menurut Hamka adalah benteng tempat mempertahankan budi dan harga diri.[23] Oleh
karena itu, Hamka
memberikan rambu-rambu bagi orang tua dalam pendidikan anak, diantaranya
adalah:[24]
1. Membiasakan anak untuk bangun lebih cepat, karena jika
banyak tidur maka akan membuat anak malas dan tidak berkreatifitas.
2.
Menanamkan sikap sederhana.
3.
Membiasakan diri bagi anak untuk percaya diri dan mandiri,
serta menanamkan nilai-nilai tauhid dan ilahiyah.
Samsul Nizar mengutip pendapat Hamka, bahwa ada 2
bentuk kewajiban orang tua terhadap anaknya, yaitu:
1.
Kewajiban memelihara lahiriyah, yang meliputi kesehatan, makan, minum,
serta kebutuhan fisik lainnya.
2. Kebutuhan memelihara batiniyah, yang meliputi ketentraman, kenyamanan,
serta pendidikan sebagai persiapan untuk kehidupan di belakang hari.
3. Berdasarkan uraian
diatas, maka nilai-nilai pendidikan yang pertama kali harus diberikan kepada
anak adalah nilah ilahiyah (ketauhidan), karena dengan nilai-nilai tersebut,
menurut Hamka, diharapkan anak-anak akan terpatri dengan nilai-nilai ketundukan
kepada Khaliknya.[25]
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam pembahasan yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa tauhid sebagai inti ajaran Islam tidak hanya sekedar
dimaknai sebagai pengakuan atas satu Tuhan,
akan tetapi al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan)
tauhid ke dalam seluruh aspek kehidupan agar
seseorang dapat berjalan sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan
kepada Allah semata.
2. Tauhid menurut
Hamka mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid
rububiyyah, berarti menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis. Jadi,
tauhid menurut Hamka melibatkan unsur ibadah. Hal ini sesuai dengan pengertian
iman dalam perspektif islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan saja, tetapi
juga menyangkut perbuatan atau ibadah.
3. Keluarga
sebagai lingkungan pertama pendidikan bagi seorang anak, maka menurut Hamka orang tua wajib memberikan nilai-nilai pendidikan
kepada anak, yang harus pertama kali diberikan adalah nilah ilahiyah
(ketauhidan), karena dengan nilai-nilai tersebut, diharapkan anak-anak akan
terpatri dengan nilai-nilai ketundukan kepada Khaliknya. Bentuk implementasi pengajaran
tauhid ini dilakukan dengan cara memberikan tauladan yang baik bagi anak,
sehingga terciptalah generasi yang menjadi kebanggaan orang tuanya.
[1] Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992),
hlm. 284.
[2] Mengenai pengaruh pemikiran Abduh dalam gerakan reformasi di
Indonesia—termasuk Hamka sendiri tentunya—Hamka menulis makalah dengan judul “Pengaruh
Fikiran Syeikh Mohammad `Abduh di Indonesia” yang disampaikan di gedung
Asya-Syubbanul Muslimun di Mesir, Pebruari 1958. Melalui pidatonya inilah Hamka
memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar.
[3] Sebagai
tanda hormatnya kepada al-Afghânî, Hamka menulis buku khusus mengenai tokoh ini
(lihat Hamka, Said Jamaluddin
Al-Afghani: Pelopor Kebangkitan Muslimin, Jakarta:
Bulan Bintang, 1981).
[4] Nurcholish
Madjid, Dialog Keterbukaan:
Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 320.
[5] Abdurrahman
Wahid, “Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar”, dalam Nasir
Tamara, Buntaran Sanusi dan Vincent Djauhari (penyunting), Hamka di Mata Umat
(Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 30.
[6] Solichin Salam, Kenang-kenangan
70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979), hlm. 192.
[11] Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Juzu’ IX, hlm. 213.
[12] Shobahussurur,
“Relasi Islam dan Kekuasaan dalam Perspektif Hamka”, Jurnal Asy-Syir’ah,
Vol. 43, No. 41, 2009, hlm. 3.
[13] Ibid., hlm. 4
[14] Ibid.
[15] Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Juzu’ VIII, hlm. 102.
[16] Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Juzu’ XV, hlm. 38.
[19] Ibid, hlm. 135.
[20] Samsul Nizar, Memperbincangkan
Dinamika Intelektual..., hlm. 143.
[21] Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Juzu’ XXI, hlm. 135.
[22] Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Juzu’ XXVIII, hlm. 371-372.
[23] Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Juzu’ XVIII, hlm. 264.
[24] Samsul Nizar, Memperbincangkan
Dinamika Intelektual..., hlm. 44.
[25] Ibid., hlm.139-140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar