Oleh: Asvi Warman Adam
Terbit: KORAN SINDO, 21 Februari 2014
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI),
Penasihat Tim Penggalian Makam Tan Malaka
Tanggal 21 Februari 1949 Tan Malaka
tewas di Jawa Timur. Setelah melakukan penelitian selama berpuluh tahun,
sejarawan Belanda Harry Poeze menyimpulkan bahwa Tan Malaka menghilang sejak 19
Februari 1949 dan ditembak mati oleh Suradi Takebek atas perintah Letnan
Soekotjo (Soekotjo terakhir berpangkat brigjen dan pernah menjadi wali kota
Surabaya) di Desa Selopanggung, Kediri.
Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan
nasional oleh Presiden Soekarno tahun 1963. Semasa Orde Baru, Tan Malaka
dicekal dalam sejarah. Gelarnya tidak dicabut tetapi tokoh ini tidak diajarkan
dalam pelajaran sejarah di sekolah. Pada era reformasi, tentu sejarah dan
perjuangan Tan Malaka perlu dimasukkan dalam kurikulum. Banyak pemikirannya
yang masih relevan sampai sekarang misalnya tentang kemandirian dalam
berhadapan dengan negara asing. Ketika mengajarkan biografi Tan Malaka, mungkin
timbul pertanyaan di mana makamnya. Pada peringatan hari bersejarah, masyarakat
biasanya berziarah ke taman makam pahlawan atau kuburan figur terkenal. Untuk
kasus Tan Malaka, orang berziarah ke mana?
Tahun 2009 dilakukan penggalian di
Selopanggung, Kediri. Jenazah yang ditemukan secara antropologi forensik sesuai
dengan ciri-ciri fisik Tan Malaka. Maka para sejarawan yang terlibat dalam
pencarian ini beranggapan bahwa 90% jenazah itu memang Tan Malaka dan makamnya
di lokasi tersebut. Namun demi kesempurnaan investigasi, dibandingkan DNA dari
keponakannya (Zulfikar) dengan DNA pada tulang yang ada di makam tersebut.
Namun, DNA Tan Malaka itu tidak kunjung
muncul diduga karena keasaman tanah tersebut yang tinggi. Karena belum berhasil
di dalam negeri, ahli forensik Dr Djaja Surya Atmadja membawa beberapa gram
tulang dan gigi tersebut pada berbagai pertemuan ilmiah internasional. Pada
Februari 2012, Dr Djaja menjanjikan bahwa hasilnya akan diperoleh paling lambat
November 2012. Namun pada saat yang dijanjikan bahkan setahun kemudian,
hasilnya masih nihil. Oleh sebab itu, saya menulis artikel di Kompas tanggal 9
Desember 2013 dengan judul “Kepastian Makam Tan Malaka”. Munculnya tulisan itu
ditanggapi dengan cepat oleh beberapa pihak terkait.
Diadakan pertemuan di rumah keponakan
Tan Malaka Zulfikar tanggal 15 Desember 2013. Pada kesempatan itu diperoleh
kesepahaman bahwa dokter forensik dan pihak keluarga menginginkan proses
penentuan makam itu tidak berlarutlarut. Dr Djaja akan meneruskan membawa
beberapa gram tulang dan gigi Tan Malaka keliling dunia pada seminar forensik
regional dan internasional, sementara keluarga ingin memindahkan makam Tan
Malaka dari Selopanggung ke TMP Kalibata. Bersamaan dengan kedatangan Dr Harry
Poeze ke Indonesia dalam rangka peluncuran buku Tan Malaka jilid 4 yang terkait
dengan periode kematian tokoh tersebut, diselenggarakan pertemuan pada 27
Januari 2014.
Pada saat ini dibahas kasus pencarian
makam pahlawan nasional lainnya. Sebelum diangkat sebagai pahlawan nasional
tahun 1975 telah dilakukan penggalian makam Supriyadi di Banten. Namun,
ciri-ciri fisik mayat itu tidak cocok dengan identitas yang diberikan keluarga.
Kasus lain mengenai Oto Iskandar Dinata yang diculik dan dibunuh oleh
sekelompok pemuda pada Desember 1949. Setelah mendengar kesaksian bahwa
pembunuhan itu terjadi di Pantai Mauk, Tangerang dan jenazah telah dibuang ke
laut, maka pihak keluarga secara simbolis mengambil pasir di pantai tersebut,
membungkusnya dengan kain kafan dan memakamkan di Lembang, Bandung tahun 1952.
Setelah menganalisis beberapa kasus di
atas, akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk secara simbolis dengan mengambil
tanah di makamnya di Selopanggung dan memindahkannya ke TMP Kalibata. Tindakan
itu menjadi semacam pengakuan dari pemerintah sekaligus rehabilitasi Tan Malaka
yang dicekal selama Orde Baru. Sementara itu, kerangka Tan Malaka akan tetap
dibiarkan di tempat semula. Masyarakat setempat menginginkannya di sana. Di
situ akan dilakukan pemugaran makam dan pembangunan monumen Tan Malaka.
Di sisi lain, riset ilmiah Dr Djaja
untuk mencari DNA Tan Malaka ke seluruh dunia silakan dilanjutkan tanpa batas
waktu. Pertemuan dengan Dirjen Pemberdayaan Sosial Hartono Laras tanggal 11
Februari 2014 mengubah skenario semula. Menurut Hartono Laras bila tim
penggalian makam Tan Malaka yang terdiri atas para ahli sejarah dan pakar
forensik sudah memutuskan bahwa 90% makamnya di Selopanggung, maka pihak
Kementerian Sosial dapat menerimanya. Tentang lokasi kubur di Jawa Timur atau
Kalibata Jakarta pihak keluarga yang menentukan, dalam hal ini satu-satunya
kerabat kandung Tan Malaka yang masih hidup yakni keponakannya, Zulfikar.
Namun bagi pemerintah cuma ada dua
pilihan, yakni makamnya tetap di sana dan dipugar atas biaya Kementerian Sosial
atau dipindahkan oleh keluarga ke TMP Kalibata. Kementerian Sosial tidak
memiliki mata anggaran pemindahan makam, namun akan mengurus penempatan jenazah
di TMP Kalibata bekerja sama dengan Garnisun Jakarta. Kini pihak keluarga
sedang mencari dana untuk biaya pemindahan tersebut dan kunjungan ke Kediri pun
tertunda sementara akibat letusan Gunung Kelud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar