Minggu, 23 Februari 2014

Bersama Wujudkan Keadilan

Terbit: Haluan, 20 Februari 2014
Oleh; Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di

Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang.


Keadian sosial merupakan prinsip dasar terwujudnya pembangunan nasional yang diraih melalui penghargaan penuh terhadap hak dan martabat manusia. Keadilan sejatinya memiliki pengaruh yang kuat dalam menghasilkan kebaikan dan kebenaran atas suatu tindakan. 

Tidak ada keadilan yang terpisah dari tuntutan kemanfaatan. Begitu juga dengan tuntutan sosial. Hidup berdampingan secara adil dan damai. Sikap toleransi dengan mengembangkan budi pekerti luhur yang mencerminkan suasana kekeluargaan dan semangat gotong-royong. Sejalan dengan misi penting yang ditorehkan oleh para founding father melalui rumusan dasar Negara Indonesia. Sila kelima yang berisi tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah refleksi dan komitmen Negara untuk menjamin keadilan sosial atas hak dan prinsip fundamental bagi setiap warga negaranya.

Berkenaan dengan itu, bertepatan pada tanggal 20 Februari, diperingati sebagai hari keadilan sosial dunia atau disebut juga dengan hari perlawanan terhadap kekerasan. Setiap tahunnya, resolusi ini dikumandangkan sebagai upaya bersama agar setiap manusia dihargai dan punya hak penuh atas diri. Meskipun ide ini tidak lahir dari rahim dan dialektika putra bangsa, namun secara substansial ide dan semangatnya menunjukkan geliat yang sama dengan persoalan bangsa dewasa ini.

Tingginya angka distabilitas sosial berupa penelantaran dan perlakuan deskriminatif seakan memberikan pesan bahwa perlawanan terhadap kekerasan menjadi sangat penting untuk dibicarakan. Lebih lagi, dalam aspek penanganan persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jaminan perlindungan sosial bagi banyak korban kekerasan serta upaya pencegahan bagi pelaku kekerasan cendrung terabaikan.

Lambatnya penanganan ke arah litigasi menyebabkan korban merasa semakin tertekan dan mengalami goncangan. Penanganan yang bersifat pendampingan secara non litigasi sedikitnya memberikan kekuatan psikologis dalam membangun rasa percaya diri korban kekerasan. Karena itu, kesenjangan ini idealnya mesti tidak semata dipandang sebagai pesoalan individual, tapi diarahkan ke jenjang struktural. Pemecahannya juga dilakukan secara struktural dengan menjalin kerja sama dalam memperkuat lembaga, institusi, ormas yang berafiliasi pada akses perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Gerakan kolektif
Melihat tingginya angka kekerasan yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki sebagai pelaku kekerasan dalam wilayah publik maupun domestik (rumah tangga), tumbuh kesadaran bahwa, keikutsertaan laki-laki dalam mengkampanyekan budaya nir-kekerasan adalah penting. Tujuan dari penerapan keadilan sosial jelas tidak ditujukan untuk membentur pada persoalan suku dan jenis kelamin. Asumsinya, peran laki-laki untuk menekan dan melakukan perlawanan terhadap kekerasan akan sangat progresif.

Pelibatan laki-laki memiliki tujuan untuk mempercepat upaya penghapusan KDRT. Dalam kacamata sosial hal ini dikenal dengan dimensi pedagois, yaitu sebuah proses yang berupaya untuk melibatkan seseorang secara penuh dalam rangka mengenali dan mengembangkan potensi diri berdasarkan nilai-nilai yang dianut. Cara ini menghendaki tercapainya pribadi yang utuh dan terintegrasi secara interpersonal.

Dalam budaya patriarkhi, laki-laki selalu disandingkan dengan nilai-nilai dan konsep diri yang superior nan dominan. Dalam ranah pekerjaan misalnya, pembagian tugas ekonomi-sosial antara laki-laki dan perempuan ternyata turut mendatangkan persoalan. Laki-laki yang bekerja di luar rumah (public) rupanya lebih dihargai ketimbang perempuan yang bekerja dirumah (domestic), meski dengan beban pekerjaan yang berat dan tak ada habisnya.

Penyebabnya, laki-laki dinasabkan menguasai struktur sosial dan budaya. Melalui garis keturunan, trah, kesukuan dan status sosial, laki-laki didorong untuk membangun nilai dan norma yang mengatur yang kemudian menghasilkan kesepakatan bersama tanpa pelibatan suara perempuan yang berimbang. Akibatnya kondisi ini menghadirkan suasana baru berupa ketidak adilan gender yang semakin kusut. Fenomena tersebut semakin menegaskan bahwa kekerasan dalam relasi suami istri lebih banyak dialami oleh perempuan tinimbang laki-laki. Walaupun dalam beberapa kasus ditemui laki-laki menjadi korban, namun persentasinya sangat minim.

Di Negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat, konseling atau yang lazim disebut sebagai upaya membina atau mengarahkan sudah banyak dikembangkan. Bahkan telah memasuki wilayah formal yang menjadi bagian dalam lembaga peradilan. Berbeda dengan Indonesia, inisiasi untuk konseling laki-laki (male counseling) pelaku kekerasan baru dilakukan oleh beberapa lembaga pemerintahan saja. Saat ini sudah berada pada tahap adopsi dan pengembangan.

Melalui konseling, laki-laki diajak untuk mengenal diri, membiasakan sharing dan memahami posisinya ketika berhadapan dengan perempuan, terutama kepada pasangan. Dilakukannya konseling bukan sekedar untuk perbaikan hubungan pada masa konflik atau pasca thalaq raj’i, namun lebih kepada upaya perubahan prilaku bagi pelaku kekerasan. Hal ini senada dengan isi UU-PKDRT pasal 40 tentang ketentuan pidana bagi pelaku KDRT yaitu hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu dari pelaku; b) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu”.

Dalam konteks ini, cara pandang laki-laki mulai diarahkan ke hal yang lebih positif melalui pembelajaran berkomunikasi yang baik secara sukarela (voluntary); Menjadi ayah yang dekat dengan anak dan suami yang penuh cinta kasih dengan istri, serta kemampuan untuk melakukan komunikasi asertif dan mengelola amarah.

Karena itu, bagi pelaku atau bukan, hal yang paling esensial bagaimana menghadirkan situasi dan kondisi optimal untuk mencapai kehidupan yang manusiawi. Dorongan berupa kesengajaan dan kesadaran/niat untuk beritikad baik menjadi pintu keberaturan diri berdasarkan acuan nilai moral. Seseorang yang memiliki keberaturan diri berdasarkan nilai agama, budaya, hukum dan pandangan hidup (philosophy) yang baik akan bermakna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut menuntun seseorang senantiasa mengindahkan hubungan dengan Tuhan, lingkungan dan sesama manusia.

Bagaimanapun, pencapaian untuk menghapuskan kekerasan akan terasa sumbang apabila intervensi hanya difokuskan pada perempuan semata. Laki-laki perlu diajak dan dilibatkan secara kolektif dalam intervensi berbasis gender; menangani, merubah sikap dan keyakinan mengenai ruang lingkup kekerasan, tanpa menggeser hak dan prinsip fundamental yang melekat pada pribadi masing-masing.


Mengutip dari apa yang dituliskan John Locke, tidaklah secara absolout manusia menyerahkan hak-hak individunya, sebab yang diserahkan hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian Negara semata, sedangkan sisanya haruslah tetap berada pada diri masing-masing individu. Sebaliknya, jika masih merasa enggan, jelas bahwa keadilan hanya milik fatamorgana. (..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar