Sabtu, 31 Mei 2014

Menghimpun Aksi Tanggap Darurat Anak

Terbit: Haluan, 3 Mei 2014
Oleh; Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar
dan bergiat di Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang


Sinyal awas yang pernah disampaikan oleh Komnas Perempuan mengenai wabah darurat nasional terkait kekerasan seksual pada awal tahun 2013 lalu, seakan tidak memberikan efek apapun pada aspek perlindungan perempuan dan anak. Faktanya, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut menegaskan bahwa tahun ini Indonesia berada pada level darurat kekerasan seksual pada anak. Dalam kurun waktu Januari hingga  April 2014 saja KPAI mencatat telah terjadi pelecehan seksual sebanyak 85 kasus. Data ini belum termasuk kalkulasi yang korbannya adalah orang dewasa.
Seiring meningkatnya angka kekerasan seksual yaitu 30% pada tahun 2012-2013, diskursus mengenai perlindungan anak dan tindak kejahatan kekerasan seksual lain kian banyak diketengahkan. Sekilas keadaan ini mengindikasikan bahwa masyarakat secara komunal sudah aware untuk menekan angka kekerasan. Dibantu dengan pelibatan media, pesan darurat di atas kembali disuarakan bak genderang perang. Ibarat budaya latah, perang diteriakkan namun kesiapan dan strategi perang acap diabaikan.
Masyarakat tentu harus menyadari, rasa duka dan prihatin tidak cukup untuk mengawali aksi tanggap darurat tentang pentingnya aksi perlindungan anak. Masyarakat sering kali terjebak dalam lingkaran empati. Merasa bengis saat ditontonkan perlakuan deskriminatif, kemudian lupa saat telah digiring pada isu yang berbeda. Akibatnya, ruang aman yang dicita-citakan anak sulit terwujud. Setelah rumah yang dahulunya di klaim tidak lagi menjadi ruang aman, kini sekolah pun menjadi tempat mencekam yang kapanpun dapat mengancam keselamatan anak.
Menelusuri catatan kasus kekerasan seksual yang pernah menjadi buah bibir di ranah minang, kasus pembunuhan yang terungkap di Kabupaten Agam pada tanggal 29 Apri 2013, menjadi catatan panjang kisah pilu tentang kejahatan kemanusiaan. Berdasarkan kasus yang ditangani lansung oleh Polresta Bukittinggi, diketahui bahwa korban adalah anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah. Dari olah TKP (tempat kejadian perkara), korban sempat diperkosa sebelum dihilangkan nyawanya secara mengenaskan.

Belum genap satu tahun, kejadian yang sama kembali mewarnai buruknya upaya pencegahan kekerasan anak yang sejatinya menjadi tanggung jawab bersama. Tercatat di Kabupaten Lima Puluh Kota, korban yang masih berumur 14 tahun diculik dan diperkosa pada Selasa pertengahan bulan lalu (18/3). Ironisnya, korban yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTS) itu kini mengalami gangguan psikologis. Sejauh ini, WCC Nurani Perempuan telah mendesak pihak kepolisian agar segera menangani perkara dan tidak menjadikan alasan gangguan psikologis korban sebagai penghambat dan memperlambat proses perkara.

Lain lagi dalam skala Nasional, kasus pelecehan seksual juga nyaring terdengar di Jakarta International School (JIS). Padahal jika melihat pada kejadian dengan kasus serupa, kasus pelecehan seksual berupa pencabulan siswi SMAN 22 Jakarta pada awal Februari 2013 lalu, harusnya dapat dijadikan pelajaran bagi dunia pendidikan. Menurut pemberitaan yang beredar, korban sebelumnya sempat mendiamkan tindak kekerasan yang menimpa dirinya yang sudah berulang kali. Selang berapa lama, dalam keadaan tertekan korban akhirnya berani melaporkan pelaku kekerasan yang nota-bene adalah mantan wakil kepala sekolah korban (Detik news, 3/1/2013).

Bentuk-bentuk kekerasan di atas mencerminkan pola kekerasan dalam relasi power oleh pelaku terhadap anak selaku korban. Temuan yang selama ini di anut, bahwa anak kecil  paling berisiko mendapatkan kekerasan fisik, sementara kekerasan seksual secara dominan menimpa mereka yang telah mencapai pubertas atau remaja. Begitu juga anak laki-laki lebih berisiko mendapatkan kekerasan fisik di banding anak perempuan, sementara anak perempuan lebih berisiko mendapatkan kekerasan seksual, penelantaran, dan pelacuran paksa atau human trafficking (Tamagola, PSKK UGM dan Ford Foundation: 2002). Jika dikontekstualisasikan, temuan-temuan tersebut tentu sudah tidak dapat lagi dijadikan sebagai pijakan. Mengingat sudah banyaknya kekerasan seksual yang menimpa anak laki-laki dan perempuan yang bahkan belum mengalami usia pubertas atau remaja.

Keterbatasan pengetahuan dan lemah secara fisik menuai catatan baru bahwa anak butuh dibekali dengan pendidikan yang mengedepankan aspek mengenali diri sendiri dan tubuh. Baik anak-laki-laki maupun perempuan, sejak dini anak sudah harus dikenalkan dengan bagian anatomi tubuh, termasuk fungi dan kedudukannya dalam lingkungan social dan agama (aurat). Terdapat bagian tertentu yang dapat diakses orang lain melalui pandangan atau sentuhan, dan terdapat sisi privat yang penekanannya dapat di ajarkan kepada anak melalui cara bertingkah laku sehari-hari.

Bagi pendidik dan orang tua di rumah, sebelum anak memasuki lingkungan sosialnya, kemampuan anak dalam berkomunikasi menjadi penting untuk dibiasakan dalam rangka membangun konsep diri anak. Interaksi dua arah secara verbal akan bermanfaat dalam aktualisasi diri, kelansungan hidup dan terhindar dari tekanan dan ketegangan. Tanpa melibatkan diri dalam komunikasi, seseorang tidak akan tau bagimana cara memperlakukan atau mendapat perlakuan secara beradab. Karena cara-cara berprilaku tersebut harus dipelajari lewat pengasuhan keluarga dan pergaulan dengan orang lain. Melalui komunikasi, artinya anak sudah bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

Efektifitas hukum
Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berkewajiban untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak dengan menuangkan dalam sebuah produk perundang-undangan. Salah satunya dengan cara mengefektifkan pelaksanan Konvensi Hak Anak dan penyelerasaan dengan perundang-undangan Indonesia. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia harus melakukan langkah-langkah harmonisasi hukum. Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku, dengan melakukan penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat. Hal ini terkait lambatnya proses perkara tentang kekerasan anak beserta serentetan alasan-alasan aparat yang tidak konkrit di lapangan. Proses hukum yang lamban secara implisit tentu mencerminkan ketidak seriusan dan merendahkan hukum Indonesia. Apalagi, dalam konteks kekerasan anak di sekolah seharusnya pelaku dapat dijerat dengan pasal berganda yaitu dengan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jika dibandingkan dengan kasus anak di Negara lain seperti Amerika Serikat, proses hukumnya jauh lebih serius tinimbang di Negara kita. Apalagi dengan keberadaan Megans’ Law, yaitu undang-undang federal yang disahkan kongres pada tahun 1996 yang sekaligus menjadi dasar dimuatnya data para pelaku kekerasan seksual yang dapat diakses warga (Ferry Fathurrokhman: 2014). Dalam prakteknya, Megan’s Law efektif diberlakukan pasca pemidanaan yang dapat memberikan efek jera secara permanen.
Karena itu, komitmen dan pemahaman akan bentuk-bentuk perlakuan deskriminatif dan upaya perlindungan anak menjadi penting. Hal ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar