Terbit: Haluan, 3 Mei 2014
Oleh; Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar
dan bergiat di Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang
Sinyal awas yang pernah disampaikan oleh Komnas Perempuan
mengenai wabah darurat nasional terkait kekerasan seksual pada awal tahun 2013
lalu, seakan tidak memberikan efek apapun pada aspek perlindungan perempuan dan
anak. Faktanya, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut menegaskan
bahwa tahun ini Indonesia berada pada level darurat kekerasan seksual pada
anak. Dalam kurun waktu Januari hingga
April 2014 saja KPAI mencatat telah terjadi pelecehan seksual sebanyak
85 kasus. Data ini belum termasuk kalkulasi yang korbannya adalah orang dewasa.
Seiring meningkatnya angka kekerasan seksual yaitu 30% pada
tahun 2012-2013, diskursus mengenai perlindungan anak dan tindak kejahatan
kekerasan seksual lain kian banyak diketengahkan. Sekilas keadaan ini mengindikasikan
bahwa masyarakat secara komunal sudah aware
untuk menekan angka kekerasan. Dibantu dengan pelibatan media, pesan darurat di
atas kembali disuarakan bak genderang perang. Ibarat budaya latah, perang
diteriakkan namun kesiapan dan strategi perang acap diabaikan.
Masyarakat tentu harus menyadari,
rasa duka dan prihatin tidak cukup untuk mengawali aksi tanggap darurat tentang
pentingnya aksi perlindungan anak. Masyarakat sering kali terjebak dalam
lingkaran empati. Merasa bengis saat ditontonkan perlakuan deskriminatif,
kemudian lupa saat telah digiring pada isu yang berbeda. Akibatnya, ruang aman
yang dicita-citakan anak sulit terwujud. Setelah rumah yang dahulunya di klaim
tidak lagi menjadi ruang aman, kini sekolah pun menjadi tempat mencekam yang kapanpun
dapat mengancam keselamatan anak.
Menelusuri catatan kasus kekerasan seksual yang
pernah menjadi buah bibir di ranah minang, kasus pembunuhan yang
terungkap di Kabupaten Agam pada tanggal 29 Apri 2013, menjadi catatan panjang
kisah pilu tentang kejahatan kemanusiaan. Berdasarkan kasus yang ditangani
lansung oleh Polresta Bukittinggi, diketahui bahwa korban adalah anak perempuan
yang masih duduk di bangku sekolah. Dari olah TKP (tempat kejadian perkara),
korban sempat diperkosa sebelum dihilangkan nyawanya secara mengenaskan.
Belum genap satu tahun, kejadian yang sama
kembali mewarnai buruknya upaya pencegahan kekerasan anak yang sejatinya
menjadi tanggung jawab bersama. Tercatat di Kabupaten Lima Puluh Kota, korban yang
masih berumur 14 tahun diculik dan diperkosa pada Selasa pertengahan bulan lalu
(18/3). Ironisnya, korban yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTS) itu
kini mengalami gangguan psikologis. Sejauh ini, WCC Nurani Perempuan telah
mendesak pihak kepolisian agar segera menangani perkara dan tidak menjadikan
alasan gangguan psikologis korban sebagai penghambat dan memperlambat proses
perkara.
Lain lagi dalam skala Nasional, kasus pelecehan seksual juga nyaring terdengar di
Jakarta International School (JIS). Padahal jika melihat pada kejadian dengan
kasus serupa, kasus pelecehan seksual berupa pencabulan siswi SMAN 22 Jakarta
pada awal Februari 2013 lalu, harusnya dapat dijadikan pelajaran bagi dunia
pendidikan. Menurut pemberitaan yang beredar, korban sebelumnya sempat
mendiamkan tindak kekerasan yang menimpa dirinya yang sudah berulang kali. Selang
berapa lama, dalam keadaan tertekan korban akhirnya berani melaporkan pelaku
kekerasan yang nota-bene adalah mantan wakil kepala sekolah korban (Detik news,
3/1/2013).
Bentuk-bentuk kekerasan di atas mencerminkan
pola kekerasan dalam relasi power oleh
pelaku terhadap anak selaku korban. Temuan yang selama ini di anut, bahwa anak kecil paling berisiko mendapatkan kekerasan fisik,
sementara kekerasan seksual secara dominan menimpa mereka yang telah mencapai pubertas
atau remaja. Begitu juga anak laki-laki lebih berisiko mendapatkan kekerasan fisik
di banding anak perempuan, sementara anak perempuan lebih berisiko mendapatkan
kekerasan seksual, penelantaran, dan pelacuran paksa
atau human trafficking (Tamagola, PSKK UGM dan Ford Foundation: 2002).
Jika dikontekstualisasikan, temuan-temuan tersebut tentu sudah tidak dapat lagi
dijadikan sebagai pijakan. Mengingat
sudah banyaknya kekerasan seksual yang menimpa anak laki-laki dan perempuan
yang bahkan belum mengalami usia pubertas atau remaja.
Keterbatasan pengetahuan dan lemah secara fisik
menuai catatan baru bahwa anak butuh dibekali dengan pendidikan yang
mengedepankan aspek mengenali diri sendiri dan tubuh. Baik anak-laki-laki
maupun perempuan, sejak dini anak sudah harus dikenalkan dengan bagian anatomi
tubuh, termasuk fungi dan kedudukannya dalam lingkungan social dan agama
(aurat). Terdapat bagian tertentu yang dapat diakses orang lain melalui
pandangan atau sentuhan, dan terdapat sisi privat yang penekanannya dapat di
ajarkan kepada anak melalui cara bertingkah laku sehari-hari.
Bagi pendidik dan orang tua di rumah, sebelum
anak memasuki lingkungan sosialnya, kemampuan anak dalam berkomunikasi menjadi penting
untuk dibiasakan dalam rangka membangun konsep diri anak. Interaksi dua arah
secara verbal akan bermanfaat dalam aktualisasi diri, kelansungan hidup dan
terhindar dari tekanan dan ketegangan. Tanpa melibatkan diri dalam komunikasi,
seseorang tidak akan tau bagimana cara memperlakukan atau mendapat perlakuan
secara beradab. Karena cara-cara berprilaku tersebut harus dipelajari lewat
pengasuhan keluarga dan pergaulan dengan orang lain. Melalui komunikasi,
artinya anak sudah bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai tujuan
bersama.
Efektifitas
hukum
Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi Konvensi
Hak Anak, Indonesia berkewajiban untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak
dengan menuangkan dalam sebuah produk perundang-undangan. Salah satunya dengan
cara mengefektifkan pelaksanan Konvensi Hak Anak dan penyelerasaan dengan
perundang-undangan Indonesia. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia harus
melakukan langkah-langkah harmonisasi hukum. Meninjau ulang bagian
perundang-undangan yang masih berlaku, dengan melakukan penyempurnaan atau
pelaksanaan yang tepat. Hal ini terkait lambatnya proses perkara tentang
kekerasan anak beserta serentetan alasan-alasan aparat yang tidak konkrit di
lapangan. Proses hukum yang lamban secara implisit tentu mencerminkan ketidak
seriusan dan merendahkan hukum Indonesia. Apalagi, dalam konteks kekerasan anak
di sekolah seharusnya pelaku dapat dijerat dengan pasal berganda yaitu dengan
UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jika dibandingkan dengan kasus anak di Negara lain seperti
Amerika Serikat, proses hukumnya jauh lebih serius tinimbang di Negara kita. Apalagi
dengan keberadaan Megans’ Law, yaitu undang-undang federal yang disahkan
kongres pada tahun 1996 yang sekaligus menjadi dasar dimuatnya data para pelaku
kekerasan seksual yang dapat diakses warga (Ferry Fathurrokhman: 2014). Dalam
prakteknya, Megan’s Law efektif diberlakukan pasca pemidanaan yang dapat memberikan
efek jera secara permanen.
Karena itu, komitmen dan
pemahaman akan bentuk-bentuk perlakuan deskriminatif dan upaya perlindungan
anak menjadi penting. Hal
ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi; demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,
dan sejahtera (..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar