Sabtu, 31 Mei 2014

Humanisasi Pendidikan

Oleh; Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar
dan bergiat di Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang

Sejak pendidikan tidak lagi disepakati sebagai proses yang dilakukan secara fleksibel pada waktu luang—dalam sejarahnya—pendidikan juga telah kehilangan aspek pengetahuan holistik (etika dan moralitas) dan lebih berkepentingan pada sisi kognitif. Pada tataran ini, dominasi peran otak dalam mengolah dan menerima informasi menjadi hal utama, dan telah diklasifikasikan dalam kotak-kotak tertentu. Cara pandang yang ditawarkan di bangku pendidikan lambat-laun terkesan parsial. Keadaan ini tentu saja menyebabkan kompleksnya persoalan kemanusiaan pada dunia pendidikan modern. 

Dinamika yang terbentuk pada sistem pendidikan modern, ketika ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi dianggap kian mengasingkan dari normativitas cara pandang, belakangan banyak para pemikir yang menawarkan untuk mengenang atau bahkan beralih pada pengimplementasian pendidikan tradisional. Sebagian menyebutnya dengan pendidikan klasik. Tujuannya tentu untuk menggeser cara berfikir kearah yang lebih ramah namun tidak goyah jika dibenturkan dengan kontek kekinian.

Terdapat kecendrungan lain bahwa konsep pendidikan ideal saat ini adalah terletak pada kesamaan akses informasi yang diterima anak. Orang tua dapat secara bebas menyekolahkan (baca: menitipkan) anak ke sekolah-sekolah mereka anggap kompeten dalam mendidik (baca: mengasuh) anak secara full time. Identifikasi tersebut mengharuskan anak-anak berprilaku sama, cara pikir yang sama dengan talenta yang sama. Alhasil, anak akan digiring hingga menghasilkan tujuan yang sama pula. Kehilangan rasa percaya diri, enggan menyelesaikan masalah, tidak mandiri dan tertekan adalah dugaan sementara yang perlahan siap menyerang psikologis anak.

Ketertekanan dalam pendidikan dan ketidak mampuan murid di sekolah sering menjadi penyebab psikologis yang menyebabkan anak meluapkan ekspresi dirinya secara negative. Rasa tertekan biasanya bermula dari ketidak nyamanan anak terhadap situasi kelas, lingkungan dan guru merupakan pihak yang paling berpengaruh di dalamnya. Anak-anak yang merasa terkekang, merasa tidak tersampaikan aspirasi atau karena beban pelajaran yang tidak diminati, akan berimbas pada perlawanan yang dilakukan di luar kelas. Ketertekanan membuat anak merasa tidak dihargai. Pada akhirnya mereka mencari sandaran eksistensi diri untuk mendefenisikan keberadaan dirinya sebagai “manusia” yang dimaknai menurut defenisi mereka masing-masing. Cara itu mereka dapatkan sendiri melalui proses pencarian jati diri. Pencarian jati diri atau identitas biasanya dilakukan dengan cara mecari referensi diri dengan cara yang beragam seperti melalui pergaulan, media dan hal lain yang dianggap berpihak. Dengan melakukan sejumlah perbandingan, anak merasa bebas untuk memilih figure hidup yang ideal, termasuk melalui tayangan televisi yang luput sensor serta konten pornografi. Dalam beberapa kasus, kondisi tersebut menjadi salah satu alasan hadirnya prilaku kekerasan.

Maka tidak heran ketika banyak anak yang ketika mengalami perlakuan kekerasan, sulit untuk melapor atau sekedar menceritakan kepada guru atau orang tua. Bentuk pendidikan yang terlalu eksklusif yang mereka terima di bangku sekolah, membuat anak terinternalisasi dalam budaya yang tidak kritis dan diam. Kurikulum di sekolah sekolah lebih mengutamakan target penguasaan mata pelajaran pokok tinimbang penerapan pendidikan akhlak yang terintegrasi. Anak tidak terbiasa untuk melakukan komunikasi dua arah karena telah terbiasa sebagai penerima saja (communicator). Lebih jauh, kegagalan anak dalam menangkap tujuan pembelajaran akan menjerumuskan anak sebagai pelaku kekerasan dan kenakalan anak, baik secara insidental maupupun di masa yang akan datang.

Meskipun tidak memiliki keterkaitan secara lansung, persoalan kekerasan anak dewasa ini bisa menjadi tolak ukur bahwa sekolah merupakan tempat pijakan awal bagi anak dalam mengakses pendidikan formal. Untuk mensiasatinya, anak juga diajarkan mengenai pendidikan dini yang bertujuan agar anak dapat memproteksi diri dalam keterampilan berkomunikasi, baik secara intrapersonal maupun interpersonal.

Di sisi lain, pasca merebaknya kasus kekerasan anak yang terkesan serentak di sejumlah daerah di Indonesia, kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait perencenaan menerbitkan instruksi presiden (Inpres) sebagai gerakan nasional pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak telah mulai disosialisasikan. Semenjak SBY menetapkan dimulainya gerakan anti kekerasan seksual terhadap anak tersebut, masyarakat dengan berbagai elemennya didorong secara komunal untuk lebih aware menciptakan lingkungan ramah anak, terutama di lembaga pendidikan.

Begitu juga dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), turut bersepakat dengan akan mengeluarkan fatwa bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Kehadiran fatwa ini dilatarbelakangi oleh fenomena kekerasan anak dan penetapan sangsi. Jika merujuk pada tinjauan hukum pidana islam, tujuan diberlakukannya sangsi tidak lain adalah bagaimana sangsi yang dijatuhkan dapat menghadirkan efek jera bagi si pelaku (ar-ra’du wa zajru). Ini menjadi aturan pokok dalam pemberlakuan hukuman, baik efek jera yang bersifat permanen maupun sementara. Sangsi yang diberikan juga bersifat preventif-edukatif, bertujuan sebagai penghambat seseorang untuk melakukan kejahatan dengan melakukan serangkaian kegiatan mendidik (at-ta’dib).

Dalam kondisi ini, orang tua memegang peranan penting dalam suksesi pendidikan anak. Orang tua mempunyai otoritas penuh dalam mendidik dan mempengaruhi sikap anak. Anak dan orang tua sama-sama belajar untuk mempelajari hal yang berbeda. Konkritnya, peran orang tua dalam keluarga harus terkoneksi secara baik dengan lembaga pendidikan. Kerjasama antara dua lembaga ini (rumah dan sekolah) perlu diupayakan supaya tidak terjadi kontradiksi atau ketidak selarasan antara nilai-nilai yang harus di pegang anak di sekolah dan nilai-nilai yang harus dilaksanakan anak ketika berada di rumah.

Karena itu, orang tua dapat belajar dari apa yang dipelajari anaknya. Tidak kata absoulut tentang orang tua mempunyai kognisi lebih cerdas. Banyak pakar pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan terjadi sepanjang hidup (life long education). Tiada kehidupan tanpa kegiatan yang bersifat pendidikan. Bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi interaksi sosial yang secara esensial disebut pendidikan (Redja Mudyahardjo:2001). Atas dasar itu, anak manusia harus dimanusiakan agar benar-benar menjadi manusia. Keadaan ini tentu saja disebabkan dengan ciri ilmu pengetahuan yang selalu dinamis dan tidak statis.

Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah pendidikan kritis dan sosialistik. Ideologi kritis menghendaki perubahan struktur social secara fundamental. Pendidikan dalam hal ini harus mendekonstruksi struktur-struktur social, ekonomi, politik dan budaya yang tidak melambangkan kepentingan dasar anak. Pendidikan dilakukan sebagai upaya pendewasaan dan penyadaran yang berperan dalam menumbuh kembangkan kesadaran anak, termasuk untuk tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. (..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar