Rabu, 27 Maret 2013

Mengawal Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang.

Dimuat di harian Padang Ekspress.
Senin, 25 Maret 2012

Kebijakan affirmative action seyogyanya dapat dijadikan sebagai pintu pandora bagi politikus perempuan menjelang April 2014 nanti. Kiprah perempuan secara kualitas dan kuantitas sangat menetukan terwujudnya kebijakan-kebijakan yang sensitive terhadap hak-hak perempuan. Peluang ini tentu harus disikapi secara serius, melihat keterlibatan dan partisipasi perempuan di kancah politik masih tergolong minim.

Lahirnya kebijakan yang menodorong keterwakilan perempuan pada dasarnya merupakan titik balik atas menguatnya praktek deskriminasi dan marginalisasi. Landasan dan upaya ini awalnya dimunculkan oleh Presiden Amerika Serikat, Lyndon B. Johnson tahun 1965. Menurutnya, ide ini lahir sebagai jawaban atas kegelisahan terhadap pelakuan deskriminatif yang selalu diterima kelompok minoritas di sektor publik.

Sebagai solusi, Johnson menawarkan ide affirmative action dengan mengharuskan para pemilik modal (kontraktor) untuk melakukan management ulang terhadap perusahaan yang di jalankannya. Keterpaduan antara tujuan dan pembagian kerja yang sama pun dilakukan. Tujuannnya adalah untuk mencapai pemerataan dan peluang yang sama (Equal Employment Opportunity), tanpa melihat perbedaan ras, warna kulit, agama dan jenis kelamin. (Imam Feisal Abdul Rauf, 2007)

Dalam kacamata politik, affirmative action kemudian lebih dikenal sebagai pemberian kuota. Di Indonesia, pemerintah melalui regulasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum telah mengatur tentang itu. Dalam pasal 53 disebutkan, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.

Pasal di atas secara implisit menghendaki agar setiap seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus melibatkan perempuan dalam kepemimpinan.  Usaha ekstra sangat menentukan tercapainya 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Teknisnya kemudian dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Regulasi ini sekaligus menjadi inisiasi bagi setiap partai politik agar lebih serius melakukan kaderisasi secara sistematis dan berkelanjutan.

Menentukan arah baru
Pasca tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998, sekaligus mengawali progres keterwakilan perempuan di kancah politik Indonesia. Ada sejarah penting yang mewarnai peta politik era itu. Demokrasi mendorong terjadinya perombakan hingga perubahan total  dalam sistem politik dan strukstur negara. Peristiwa tersebut  ternyata berdampak lansung pada kesempatan perempuan untuk mengisi jabatan di pemerintahan.

Sejauh ini, terlihat bahwa pencapaian yang dilakukan politikus perempuan dalam meangadvokasi kebijakan yang ramah terhadap perempuan sangat terbilang positif. Lebih lagi, representasi perempuan di dalam politik tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tercatat 103 calon anggota legislative perempuan terpilih untuk DPR RI (18%). Sebanyak 321 di 33 DPRD Provinsi (16%). Sementara 1.857 perempuan terpilih sebagai anggota DPRD (12%) di 458 kabupaten/kota. Indonesia juga telah mencapai kesetaraan gender dalam setiap tingkat pendidikan (The World Bank Report, 2012). Secara umum,  juga terlihat bahwa seluruh sektor pemerintahan dan juga program pembangunan telah familiar dengan menerapkan prinsip kesetaraan gender dan upaya-upaya pemberdayaan perempuan.

Dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) tahun 2004-2009 saja, terdapat 38 program responsive gender, meningkat dari 19 program dalam RPJM 2000-2004. RPJM 2010-2014 juga mempertegas upaya pemerintah dalam pengarusutamaan gender dengan menekankan lebih lanjut pada perbaikan kualitas hidup serta evaluasi kebijakan, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Prestasi lain yang lebih menggembirakan adalah, terdapat beberapa Undang-Undang (UU) yang lahir dari desakan terhadap kebutuhan perempuan, diantaranya seperti UU No. 52/2009 tentang Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Keluarga, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum dan UU. No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan orang (Puskapol, 2011).

Meskipun begitu, sederatan persoalan yang mempengaruhi terpilihnya perempuan sebagai calon anggota legislative tetap saja bermunculan.

Menurut hasil riset Puskapol UI, realitas yang ada menunjukkan bahwa di kalangan elite partai politik masih resisten terhadap kebijakan affirmative. Di tingkat lokal saja misalnya, dengan alasan yang sama banyak didapati partai politik enggan melakukan kaderarisasi untuk perempuan. Belum lagi performa perempuan di legislative secara umum dinilai belum memuaskan. Di satu sisi, perempuan dihadapkan dengan kendala internal ketika memutuskan untuk berpolitik, ditambah dengan faktor eksternal yang melilit perempuan untuk dapat terpilih dan diterima sebagai pemimpin.

Keadaan di atas menggambarkan situasi yang begitu paradoks. Politik elektoral sangat sulit untuk dihindarkan. Bagaimanapun, partai plitik sebenarnya tetap berada pada tataran yang srtrategis, hanya saja keberpihakan partai pengusung terhadap isu-isu deskriminatif dan marginalitas dimana perempuan berada pada kondisi keterpurukan sangat sulit untuk dihadirkan.

Akibatnya, peraturan-peraturan deskriminatif meningkat subur. Nilai tawar perempuan dalam meratifikasi kebijakan-kebijakan melemah dan cendrung terabaikan. Maka tak heran ketika kasus yang mendiskreditkan perempuan terus bermunculan, seperti nikah di bawah tangan (nikah sirri), pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan orang serta kasus-kasus kekerasan serupa belakangan kerap kali dipertontonkan.

Dinamika di atas menjebak gerakan perempuan pada pusaran elektabilitas partai. Pada tataran ini, perempuan akan sulit mengaktualisasikan dirinya sebagai perwakilan partai. Agenda partai yang jauh lebih dominan hanya akan mengikis suara perempuan dalam mengakomodir sebuah kebijakan baru.

Untuk itu, selaku elite partai politik agar senantiasa mendorong kepemimpinan politik perempuan. Agendanya adalah mendorong terpenuhinya kuota yang telah disediakan. Memfasilitasi pendidikan politik bagi perempuan. Diperkuat dengan penyusunan agenda bersama untuk menghapuskan ketimpangan relasi kuasa yang selama ini kerap menjadi akar persoalan. (..)

1 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar