Senin, 11 Agustus 2014

Perolehan Dana Zakat (Sebuah Refleksi)

Oleh: Ashabul Fadhli
Terbit: Padang Ekspres, 11 Agustus 2014
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang

Dalam penanggalan Qamariah, setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan, bulan syawal sekiranya dapat dijadikan moment yang tepat untuk melakukan refleksi secara pribadi maupun komunal.  Di awal bulan syawal masyarakat muslim bersama-sama merayakan hari kemenangan dengan tujuan fitrah. Ritual ini merupakan upaya pembersihan dan penyucian diri melalui amalan-amalan Ramadhan. Dengan ber-fitrah manusia akan mampu berpindah dari kesadaran diri (self counsciousness) menuju kesadaran kosmik (cosmic counsciousness).  Proses pencapaian yang utuh mendalami substansi diri, salah satunya dengan terwujudnya kesadaran masyarakat untuk berzakat.

Seperti pemberitaan yang disampaikan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) serta lembaga zakat terkait lainnya beberapa waktu lalu (5/8), perolehan zakat tahun ini mengalami peningkatan sebesar 20%. Jumlah ini didasarkan dari hasil himpunan dana zakat yang diperoleh dari lembaga-lembaga zakat usai bulan ramadhan kemarin. Peningkatan tersebut tentu saja buah dari kesadaran masyarakat agar senantiasa mengeluarkan zakat ketika telah datang masa haul. Apalagi bulan ramadhan selalu menjadi perayaan akbar untuk menghidupkan kembali suasana keluhuran batin agar dapat melakukan ibadah sosial disamping ibadah yang bersifat personal.
Bagi Indonesia yang hingga saat ini disebut-sebut sebagai negara dengan potensi zakat yang luar biasa, menggiring opini publik bahwa zakat dari segi ekonomi dapat menjadi ladang sosial bagi keberlansungan masyarakat Indonesia sejahtera. Sayangnya, tergumpal benang kusut pada minimnya perhatian dan pelaksanaan zakat sebagai upaya penanggulan kemiskinan. Tampaknya, problem ini menjadi kendala utama dalam suksesi pemerataan penerimaan dan pendistribusian dana zakat. Bagaimana tidak, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin serta ekonomi masyarakat kota dan di desa masih berada dalam frekuensi yang begitu kontras. Laju pertumbuhan ekomoni pun hanya dirasakan bagi kelompok kalangan menengah ke atas.

Keadaan ini menjadi pertanda melemahnya penguatan zakat secara nasional. Keberadaan lembaga-lembaga zakat yang cenderung independen mengindikasikan perbedaan visi dalam tujuan zakat secara hakiki. Perbedaan pandangan yang mengarah pada perannya dalam pembangunan menghadirkan kinerja yang tidak kolektif. Jika hal ini bisa diluruskan, tentu saja zakat dapat secara penuh berkontribusi menanggulangi kemiskinan dan pembangunan ekonomi pemerintahan.

Realitanya, angka kemiskinan terus bertambah. Puluhan juta masyarakat Indonesia justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Merujuk pada data yang berhasil dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, kenaikan jumlah masyarakat miskin semakin bertambah dengan jumlah 110 ribu orang per-maret 2014. Jika terus terabaikan tanpa adanya sistem kelembagaan yang mumpuni, angka-angka tersebut diprediksi akan tumbuh menjadi lebih buruk.

Kendati demikian, standar dan hakikat kemiskinan masih sulit didefinisikan. Hal ini menjadi penting dikarenakan butuh pemahaman sempurna tentang obyek zakat. Idealnya, pendistribusian dana zakat mesti dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan. Jika mengutip dalam Shahih Bukhari (Hadis ke-1384) disebutkan bahwa tidak disebut seseorang itu benar-benar miskin apabila hajatnya terpenuhi dengan makanan pokok (baca: nasi) sekali makan atau dua kali makan. Begitu juga dengan orang-orang yang memelihara dirinya dari meminta-minta.

Senada dengan kalimat di atas, dalam makna yang lebih luas, kemiskinan tidak berarti tidak punya uang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan. Dengan kata lain, kemiskinan berlaku bagi kalangan masyarakat dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dengan Indikator yang telah terukur. Hidup tanpa dukungan gizi yang sehat, lingkungan yang kurang bersih, tidak memiliki tempat tinggal tetap, angka kematian ibu (AKI) melahirkan tinggi, berpendidikan rendah hingga sulit mendapatkan akses pendidikan merupakan ragam dari wajah kemiskinan. Yang terpenting, kemiskinan jangan selalu dijadikan senjata oleh oknum masyarakat untuk berlomba-lomba mendapatkan dana zakat.

Gerakan Kolektif
Besarnya potensi zakat akan terasa optimal apabila perhatian berupa tata kelola dan pemberdayaan dana zakat dijalankan berdasarkan kepentingan umat secara terprogram dan merata. Dalam pelaksanaannya, dapat disokong dengan mengembangkan pesan edukasi kepada masyarakat akan kewajiban dan pentingnya berzakat bagi yang mampu, sebagaimana kewajiban mengerjakan shalat. Pesan ini dapat disosialisasikan kepada setiap elemen masyarakat terutama kalangan hartawan (muzakki) yang akan menyisihkan sebagian hartanya kepada pihak yang membutuhkan (mustahik).

Dengan zakat, dana potensial yang dimaksud akan mudah terkumpul dan dapat diberdayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Tidak hanya sebatas memecah problema kemiskinan, persoalan umat seperti kesenjangan sosial, kesehatan dan pendidikan dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan distribusi dan pemberdayaan zakat. Maka, untuk mengoptimalisasi dana potensial tersebut diperlukan sistem pengelolaan yang transparan dengan penuh tanggung jawab dan professional. 

Meskipun sudah ada aturan jelas mengenai prosedur perencanaan pengeluaran zakat yang baik, persoalan yang kerap timbul adalah penyelenggaraan dari fungsi pengumpulan zakat masih belum ideal. Mayoritas masyarakat yang tergolong muzakki masih terbiasa untuk mengeluarkan dana zakat secara mandiri. Mengeluarkan zakat secara mandiri memang tidak keliru. Namun idealnya, pelaksanaan tersebut seyogyanya dikumpulkan secara kolektif dibarengi dengan peran lembaga zakat yang dipercaya. Kerja mandiri sangat berpengaruh besar pada kesenjangan pengkoordinasian jumlah dana zakat. Secara kuantitatif tidak bisa terkelola dan dana zakat hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas atau orang terdekat yang dianggap layak menerima dana zakat. Lebih lagi, santunan yang diberikan cendrung berbentuk konsumtif.

Andai saja seluruh muzakki memiliki pandangan yang sama tentang mekanisme pengumpulan dana zakat, tentu  potensi dana zakat yang selama ini diwacanakan akan menemui titik terang. Karena itu, agar dana zakat dapat didistribusikan dengan baik, sudah semestinya para muzakki  bekerjasama dengan lembaga zakat yang dianggap kompoten dan amanah sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, lembaga zakat dapat berperan sebagai penyandang sumber dana yang nantinya dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Baik yang ditujukan secara personal, pelaku usaha kecil menengah (UKM) serta organisasi masyarakat yang bergerak dalam pengorganisasian prosedural.

Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup berupa kebutuhan primer, dana zakat yang didistribusikan dapat dimanfaatkan secara kreatif dalam bentuk sokongan modal usaha, bantuan pendidikan, asuransi kesehatan dan sederatan program lainnya. Dengan kata lain, dana zakat dapat diproyeksikan secara dinamis dengan bentuk dan tujuan yang beragam. Tujuannya tidak lain adalah sebagai perwujudan masyarakat dan bangsa yang mandiri.

Dengan adanya refleksi di atas, misi perencanaan, pengelolaan serta pendistribusian zakat untuk kedepannya dapat dijadikan sebagai pelajaran bersama. Dana zakat yang sudah terkumpul akan menjadi lebih bermanfaat apabila dihimpun secara kolektif, terencana dan terlembaga. Dengan melakukan pendataan yang akurat serta mengedepankan pendistribusian zakat berdasarkan skala prioritas, bukan berdasarkan orang-orang pilihan. Harapannya, semangat kebersamaan ini dapat ditularkan serta dapat membangun kepercayaan antara muzakki, mustahik dan lembaga zakat (..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar