Ada dua
kosakata yang dewasa ini dipakai untuk makna yang sama. Hijab dan Jilbab.
Keduanya dipahami sebagai pakaian perempuan yang menutup kepala dan tubuh
perempuan. Al-Qur-an sendiri menyebut kata Hijab untuk arti tirai, pembatas,
penghalang, penyekat. Yakni sesuatu yang menghalangi, membatasi, memisahkan
antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu dengan yang
tidak saling melihat atau memandang dan berhubungan fisik. Al Qur-an menyatakan
:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَآءِ
حِجَابٍ . ذَلِكُمْ اَطْهَرُلِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Jika kamu
meminta sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari balik
“hijab”. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka”.(Q.S. al-Ahzab,
[33]:53).
Hijab dalam
ayat ini menunjukkan arti penutup yang ada di dalam rumah Nabi saw sebagai
sarana untuk menghalangi atau memisahkan ruang kaum laki-laki dari kaum
perempuan agar mereka tidak bercampurbaur. Sebelum ayat ini turun, rumah Nabi
sangat terbuka untuk siapa saja; laki dan perempuan. Tetapi suatu saat keadaan
ini mengganggu privasi isteri Nabi. Maka turunlah ayat tersebut. Umar bin
Khattab lah yang meminta Nabi membuat “hijab”. Secara tekstual (lahiriah)
seruan untuk membuat hijab sebagaimana dalam ayat ini ditujukan kepada para
isteri nabi saw. akan tetapi dalam interpretasi mayoritas ulama fiqh kemudian
perintah itu diberlakukan pula terhadap umatnya.
Hijab dengan
begitu pada mulanya bukanlah satu bentuk pakaian tertentu yang dikenakan kaum
perempuan. Akan tetapi dialektika sosial kemudian telah melahirkan terminologi
Hijab sebagai pakaian sebagaimana Jilbab atau popular disebut busana muslimah
sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini. Dalam banyak buku berbahasa Arab
(kitab) kontemporer, dan secara sosiologis (dalam percakapan social sehari-hari
di dunia Arab), kedua kata ini : hijab dan jilbab lalu dipahami secara campur
aduk.
Al-Qur’an
dan Jilbab
Jilbab
disebutkan dalam al-Ahzab, [33]:59.
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا (59)
“Wahai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin ; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.
Hal itu agar mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak
diganggu”.(al Ahzab, [33]:59).
Jilbab
berasal dari kata kerja jalaba yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu
yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dalam pengertian selanjutnya ia
berkembang dalam masyarakat Islam menjadi pakaian yang menutupi tubuh seseorang
sehingga bukan saja kulit tubuhnya tertutup melainkan juga lekuk dan bentuk
tubuhnya tidak kelihatan. Penelusuran atas teks al Qur-an ayat jilbab agaknya
tidak sama dengan pengertian sosiologis tersebut. Para ahli tafsir
menggambarkan pakaian jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Abbas dan
Abidah al Salmani merumuskan jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi
wajah berikut seluruh tubuhnya, kecuali satu mata. Dalam keterangan lain
disebutkan sebagai mata sebelah kiri. Qatadah dan Ibnu Abbas dalam pendapatnya
yang lain mengatakan bahwa makna mengulurkan jilbab adalah menutupkan kain ke
dahinya dan sebagian wajahnya dengan membiarkan kedua matanya. Mengutip
pendapat Muhammad bin Sirin, Ibnu Jarir al-Thabari mengatakan : “Saya tanya
kepada Abidah al Salmani mengenai ayat ‘yudnina ‘alaihinna min jalabibihin’
(hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya). Maka dia menutupkan wajahnya dan
kepalanya sambil menampakkan mata kirinya”. Ibnu al Arabi dalam tafsir Ahkam al
Qur-an, ketika membicarakan ayat ini menyebutkan dua pendapat, pertama menutup
kepalanya dengan kain itu (jilbab) di atas kerudungnya, kedua, menutup wajahnya
dengan kain itu sehingga tidak tampak kecuali mata kirinya”.(III/1586). Az
Zamakhsyari dalam al Kasysyaf mengatakan jilbab ialah :
ثوب واسع أوسع من الخمار ودون الرداء تلويه المرأة على رأسها ، وتبقي
منه ما ترسله على صدرها
“Kain yang
lebih lebar daripada kerudung tetapi lebih kecil daripada selendang. Ia
dililitkan di kepala perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya”.
Ibnu Katsir
mengemukakan :
والجلباب هو الردآءفوق الخمار. قاله ابن مسعود, وعبيدة وقتادة والحسن
البصرى وسعيد بن جبير وإبراهيم النخعى وعطأء الخراسانى وغير واحد. وهو بمنزلة
الازار اليوم.
(Jilbab
adalah selendang di atas kerudung. Ini yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
Ubaidah, Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim al Nakha’i, Atha al
Khurasani dan lain-lain. Ia seperti/mirip “izar” (sarung) sekarang. (Ibnu
Katsir,III/518). Al-Jauhari, ahli bahasa terkemuka, mengatakan Izar adalah
pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup badan”.
Al-Qurthubi,
dalam kitab tafsirnya, mengatakan :
الثالثة :من جلا بيبهن. الجلابيب جمع جلباب, وهو ثوب أكبر من الخمار.
وروى عن ابن عباسوابن مسعودأنه الرداء وقد قيل إنه القناع. والصحيح أنه الثوب الذى
يسترجميع البدن.
الرابعة :واختلف الناسفى صورة إرخائه . فقال ابن عباس وعبيدة السلمانى : وذلك أن تلويه المرأة حتى لا يظهرمنها إلا عين واحدة تبصربها.وقال ابن عباس ايضا وقتادة : وذلك أن تلويه فوق الجبين وتشده, ثم تعطفه على الانف ,وان ظهرت عيناها لكنه يستر الصدرومعظم الوجه . وقال الحسن : تغطى نصفوجهها. (تفسير القرطبى)
(Masalah ke tiga : Jalabib, kata jamak dari Jilbab. Ia adalah kain yang lebih lebar daripada kerudung. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan IbnuMas’ud :ia adalah selendang. Ada yang mengatakan ia adalah”qina”(cadar/penutup wajah).
(Masalah ke empat: Masyarakat berbeda pandangan menggambarkan pemakaiannya. Ibnu Abbas dan Ubaidah al-Salmani mengatakan: Gambarannya adalah perempuan itu memasangkan kain itu (ke kepala/wajah), sehingga tidak tampak kecuali satu mata yang dengannya dia bisa melihat. Pendapat Ibnu Abbas juga dan Imam Qatadah mengatakan : gambarannya adalah perempuan itu mengenakannya di atas jidatnya lalu mengikatkannya. Kemudian dililitkan ke hidungnya. Mekipun kedua matanya kelihatan,tetapi dada dan sebagian besarwajahnya tertutup. Al-Hasan mengatakan: menutupi separoh wajahnya”).
Tampak dari informasi di atas, pemaknaan atas Jilbab, sangat beragam. Tak ada keterangan tunggal dari Nabi.
الرابعة :واختلف الناسفى صورة إرخائه . فقال ابن عباس وعبيدة السلمانى : وذلك أن تلويه المرأة حتى لا يظهرمنها إلا عين واحدة تبصربها.وقال ابن عباس ايضا وقتادة : وذلك أن تلويه فوق الجبين وتشده, ثم تعطفه على الانف ,وان ظهرت عيناها لكنه يستر الصدرومعظم الوجه . وقال الحسن : تغطى نصفوجهها. (تفسير القرطبى)
(Masalah ke tiga : Jalabib, kata jamak dari Jilbab. Ia adalah kain yang lebih lebar daripada kerudung. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan IbnuMas’ud :ia adalah selendang. Ada yang mengatakan ia adalah”qina”(cadar/penutup wajah).
(Masalah ke empat: Masyarakat berbeda pandangan menggambarkan pemakaiannya. Ibnu Abbas dan Ubaidah al-Salmani mengatakan: Gambarannya adalah perempuan itu memasangkan kain itu (ke kepala/wajah), sehingga tidak tampak kecuali satu mata yang dengannya dia bisa melihat. Pendapat Ibnu Abbas juga dan Imam Qatadah mengatakan : gambarannya adalah perempuan itu mengenakannya di atas jidatnya lalu mengikatkannya. Kemudian dililitkan ke hidungnya. Mekipun kedua matanya kelihatan,tetapi dada dan sebagian besarwajahnya tertutup. Al-Hasan mengatakan: menutupi separoh wajahnya”).
Tampak dari informasi di atas, pemaknaan atas Jilbab, sangat beragam. Tak ada keterangan tunggal dari Nabi.
Latarbelakang
turunnya ayat
Ada sejumlah
riwayat yang disampaikan para ahli tafsir mengenai latarbelakang turunnya ayat
ini. Satu di antaranya disampaikan oleh Ibnu Sa’d dalam bukunya al Thabaqat
dari Abu Malik. Katanya : “para isteri nabi saw pada suatu malam keluar rumah
untuk memenuhi keperluannya. Pada saat itu kaum munafiq menggoda dan mengganggu
mereka. Mereka kemudian mengadukan peristiwa itu kepada nabi. Sesudah nabi
menegur mereka, kaum munafiq itu mengatakan :”kami kira mereka
perempuan-perempuan budak. Lalu turunlah ayat 59 al-Ahzab ini.(Lihat , Wahbah
al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,
XXII/107).
Ibnu Jarir
at-Thabari, guru para ahli tafsir menyimpulkan ayat ini sebagai larangan
terhadap perempuan-perempuan merdeka untuk menyerupai cara berpakaian
perempuan-perempuan budak. Umar pernah memukul seorang perempuan budak yang
memakai jilbab, sambil menghardik :”apakah kamu mau menyerupai perempuan
merdeka, hai budak perempuan?”.(Ibnu al Arabi, Ahkam al Qur-an,III/1587).
Imam Jalal
al-Din al-Suyuthi dalam “al-Durr al-Mantsur” menulis:
عن أنس رضي الله عنه قال : رأى عمر رضي الله عنه جارية مقنعة ، فضربها
بدرته وقال : القي القناع لا تشبهين بالحرائر .
الدر المنثور – (ج 8 / ص 209)
الدر المنثور – (ج 8 / ص 209)
(dari Anas.
Umar (bin al-Khattab.r.a) melihat perempuan hamba sahaya berkerudung, lalu dia
memukulnya. Dia mengatakan : “lepaskan kerudungmu, kamu jangan meniru
perempuan-perempuan merdeka”).
Dari uraian
di atas, satu hal yang perlu menjadi catatan penting kita adalah bahwa seruan
untuk mengenakan jilbab sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas dimaksudkan
sebagai cara untuk menunjukkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari
perempuan-perempuan budak.
Hal ini
perlu dilakukan karena dalam tradisi masyarakat Arab ketika itu,
perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran
pelecehan, perendahan dan permainan kaum laki-laki. Bahkan status sosial mereka
juga direndahkan dan dihinakan. Ini berbeda dengan sikap mereka terhadap kaum
perempuan merdeka, meskipun tetap saja dipandang sebagai makhluk yang
tersubordinasi oleh laki-laki. Dengan begitu identifikasi diri pada kaum
perempuan merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama seperti
terhadap budak. Cara identifikasi (pencirian) melalui bentuk pakaian jilbab
bagi perempuan merdeka ini dimaksudkan agar mereka tidak menjadi sasaran
pelecehan seksual laki-laki. Ini sangat jelas disebutkan dalam teks ayat. Kalau
begitu masalahnya, maka Jilbab bukanlah pakaian penutup tubuh yang digunakan
untuk membedakan antara perempuan-perempuan yang beriman kepada Nabi dan
perempuan-perempuan yang tidak beriman kepadanya. Bagaimana pikiran kita, jika
manusia budak sudah tidak ada lagi dan dilarang oleh dunia hari ini?.
Merujuk
pada pemikiran Syahrur
Berkaitan
dengan jilbab, syahrur menjelaskan bahwa terma jilbab berasal dari kata
ja-la-ba yang dalam bahasa arab memiliki dua arti dasar, yaitu, pertama, mendatangkan
sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. kedua, sesuatu yang meliputi dan
menutupi sesuatu yang lain. adapun kata al-jalabah berarti sobekan kain yang
digunakan untuk menutupi luka sebelum bertambah parah dan bernanah. dari
pengertian ini muncul kata al-jilbab untuk perlindungan, yaitu pakaian luar
yang dapat berbentuk celana panjang, baju, seragam resmi, mantel dan lain-lain.
jadi menurutnya, seluruh bentuk pakaian semacam ini termasuk dalam pengertian
al-jalabib.
Adapun aurat menurut syahrur berasal dari kata ‘aurah yang artinya adalah segala sesuatu yang jika diperlihatkan, maka seseorang akan merasa malu. rasa malu mempunyai tingkatan yang bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti adat kebiasaan setempat. jadi, batasan aurat dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, akan tetapi yang berkaitan dengan daerah inti pada tubuh (al-juyub) bersifat tetap dan mutlak.
Terma inti
tubuh (al-juyub) didapatinya dari surat an-Nur (24): 31. menurut syahrur, ayat
tersebut adalah ayat muhkam yang termasuk dalam kategori umm al-kitab. ayat
tersebut menunjukkan perintah allah kepada perempuan untuk menutup bagian tubuh
mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub. dengan analisis linguistiknya,
syahrur menjelaskan term al-juyub dan al-khimar. menurutnya, al-juyub berasal
dari kata ja-ya-ba seperti dalam perkataan jabtu al-qamisa, artinya aku
melubangi bagian saku baju atau aku membuat saku pada baju. al-juyub adalah
bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, bukan satu tingkatan karena pada
dasarnya kata ja-ya-ba berasal dari kata ja-wa-ba yang memiliki arti dasar
lubang yang terletak pada sesuatu dan juga berarti pengembalian perkataan soal
dan jawab istilah al-juyub pada tubuh perempuan memiliki dua tingkatan atau dua
tingkatan sekaligus sebuah lubang yang secara rinci berupa: bagian antara dua
payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat.
semua bagian inilah yang dikategorikan sebagai al-juyub dan wajib ditutupi oleh
perempuan. adapun kata al-khimar berasal dari kata kha-ma-ra yang berarti
tutup. istilah al-khimar bukan hanya berlaku bagi pengertian penutup kepala
saja, tetapi semua bentuk tutup, baik bagi kepala atau selainnya. dengan kata
lain, bahwa al-khimar merupakan penutup untuk bagian tubuh perempuan yang termasuk
dalam kategori al-juyub.
Bila dikaitkan
dengan teori limit (nazariyyah al-hudud) yang dirumuskannya, ia menyatakan
bahwa batas minimal (hadd al-adna) pakaian perempuan yang berlaku secara umum
adalah menutup daerah inti bagian atas (al-juyub al-ulwiyyah), yaitu daerah
payudara dan bawah ketiak, dan juga menutup daerah inti daerah bawah (al-juyub
as-sufliyyah). konsekwensinya, perempuan yang menampakkan bagian al-juyub
berarti dia telah melanggar hudud allah. begitu juga perempuan yang menutup
seluruh tubuhnya tanpa terkecuali, maka dia juga melanggar hudud Allah (..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar