Kamis, 14 Agustus 2014

Zakat Masa Rasulullah

Fakta sejarah membuktikan di zaman Rasullulah SAW, sahabat, ummayah, dan Abbasiah, ekonomi umat akan tumbuh bila potensi zakat umat digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo 30 bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki mengeluarkan zakat dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi juga produktif. Kenyataan itu harus kita wujudkan saat ini agar kemiskinan yang menjadi musuh kita dapat diatasi.

Secara spiritual amalan zakat sesungguhnya bagaikan tabungan akhirat, namun hakekat zakat dalam urusan dunia memiliki kekuatan yang maha dahsyat dalam membangun ekonomi umat (Islam) khususnya. Beberapa pokok pikiran yang mendasari asumsi ini antara lain:

1.      Terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terus menerus. Implikasi demografis ini secara otomatis maka nilai totalitas kuantitatif zakat secara nasional akan meningkat tentunya diukur dari sisi besarnya rupiah yang dikumpul,
2.      Kemampuan pengumpulan zakat dan besarnya jumlah pemberi zakat (muzakki) sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah instrumen efektif untuk mengukur adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Islam) secara umumnya,
3.      Indikator empiris untuk mengaitkan adanya kenaikan tingkat kesadaran masyarakat (Muslim) dalam membayar zakat. Tentunya indikator ini berkaitan dengan meningkatnya kesdaran dan amalan jariah melalui zakat, infaq dan sadaqah,
4.      Keberhasilan meningkatkan kualitas nilai zakat dan kuantitas muzakki merefleksikan efektifnya manajemen zakat yang dikelola oleh BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Menggali potensi zakat perlu dilakukan melalui identifikasi objek zakat. Sosialisasi dalam mekanisme penerimaan/pemungutan melalui petugas pengumpul zakat (Amil) sangat penting. Dan yang terpenting setelah zakat terkumpul ialah mekanisme dalam  penyaluran kepada mustahik (penerima zakat). Efektifitas ini berkaitan pula dengan  efisiensi dalam internal manajemen termasuk kualitas dan profesionalitas amil zakat, dan transparansi dalam tata-kelola zakat.

Zakat sesungguhnya berfungsi pula sebagai sumber dana bagi pengembangan ekonomi syariah dengan manajemen amanah. Zakat disalurkan bukan sekedar kepada fakir miskin yang lebih ditujukan ke kepentingan konsumsi (keluarga), tetapi idealnya dana yang disalurkan dapat dijadikan modal usaha bagi perbaikan ekonomi keluarga warga Muslim. Jadi sisi investasi atas zakat jauh lebih bermanfaat dibandingkan sisi konsumsi dari zakat. Ia bagaikan memberi kail dan umpan untuk pengembangan ekonomi ummat, dibandingkan memberi ikan yang siap dimakan untuk kepentingan sesaat.

Pemberdayaan Zakat Melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat
Islam menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif untuk memecahkan masalah kemiskinan, diantaranya melalui Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat. Di zaman Nabi, Amil (yang mengelola zakat) itu merupakan penggerak zakat, mereka yang mengurus mulai dari proses hingga pendistribusiannya, termasuk memberikan pembinaan kepada yang menerima, seperti kepada para fakir dan miskin.

Amil merupakan pengelola zakat, termasuk badan-badan zakat yang ada itu tugasnya bukan hanya menerima dan memproses saja, tetapi berkewajiban juga dalam pendistribusiannya, termasuk bagaimana dalam membina dan memberikan pembinaan kepada fakir miskin yang menerima zakat itu. Amil Zakat diharapkan bisa ikut serta memberdayakan zakat secara benar dan tepat. Tentu, diharapkan zakat yang diterima itu tidak hanya untuk dikonsumsi, tetapi bagaimana bisa diberdayakan untuk mengangkat perekonomian mereka, misalnya dipakai untuk modal usaha, atau mereka diberikan alat kerja sehingga mereka bisa terangkat kehidupannya menjadi lebih baik.

Ada data dalam sejarah, pada prinsipnya zakat itu untuk menekan angka kemiskinan, bukan untuk memelihara kemiskinan. Buktinya dalam sejarah, mulai zaman Nabi, Khalifah sampai pada masa Umar bin Abdul Aziz, ketika itu saat akan menyalurkan zakat merasa kesulitan karena hampir tidak ada lagi yang menerima zakat, itu menunjukkan penekanan kemiskinan berhasil.

Tidak banyak yang sadar bahwa sebenarnya zakat adalah sebuah koreksi Islam atas konsep pajak dalam sebuah negara. Ia merupakan potensi besar untuk mengubah wajah Indonesia menjadi negara adil dan makmur  (baldatun tayyibatun warabbun ghafur). Beranikah kita membayangkan bahwa pengumpulan dana zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS) dapat melampaui penerimaan negara atas pajak yang selama ini dibayarkan kepada negara? atau lebih lagi beranikah kita bermimpi penerimaan dana zakat rakyat Indonesia dapat melampaui penerimaan APBN? Lalu pendistribusiannya dilakukan berdasarkan pada pola dan konsep pendistribusian zakat yang 8 ( delapan ) asnaf itu.

Tentu saja banyak rakyat Indonesia yang senang, tentu karena pasti rakyat kecil dan miskin akan segera tertolong dari lembah kesengsaraan hidup. Anak – anak sekolah dari keluarga tidak mampu juga pasti akan segera tersubsidi secara merata dan adil. Lalu para pedagang asongan dan para petani di pedesaan, dan peternak serta nelayan segera mendapat suntikan modal.

Sarana umum seperti jalan, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, arena olah raga, juga dibangun secara memadai karena mendapatkan kompensasi pendistribusian dana sebagaimana mestinya sebagai salah satu asnaf (fisabilillah). Dan tentu saja para penyelenggara negara (Amil) juga mendapatkan gaji yang semestinya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak juga punya nafsu untuk korupsi, karena mereka takut akan azab Allah. Mereka lebih banyak bersyukur karena menyadari telah dibayar dengan uang dari bagian zakat lewat asnaf Amil.

Dalam konteks perolehan potensi dana zakat yang sudah terkumpul, boleh jadi diskripsi bakal tak mungkin dicapai. Paling tidak untuk saat ini, tapi bahwa potensi tersebut bisa jadi kenyataan, siapa yg tahu mengingat penduduk Indonesia yg mayoritas muslim. Dan untuk mewujudkan gagasan tersebut sebenarnya tidak terlalu sulit jika pemerintah ikut ambil bagian untuk penggalangan dana ZIS ini.

Lembaga – lembaga pengelola dana ZIS telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan dalam konteks pemanfaatan atau pendistribusian dana ZIS. Banyak sudah rakyat miskin yang tertolong dengan bantuan dana ZIS karena pola pendistribusian tidak hanya menyentuh kebutuhan konsumtif saja tapi juga sudah diupayakan menyentuh level kegiatan sektor produktif seperti pemberian modal bagi usaha mikro, juga subsidi biaya sekolah bagi kalangan fakir miskin.

Melihat kenyataan tersebut jelas tidak diragukan lagi jika potensi pemanfaatan dana ZIS sangatlah besar hanya saja problem yang dihadapi adalah bagaimana memaksimalkan potensi penggalangan dana ZIS dari masyarakat yang mampu. Persoalan Zakat bukan hanya semata – mata persoalan Departemen Agama ( red. Kemenag ) saja. Harapan dari ketua BAZNAS, KH. Didin Hafiddudin yakni bagaimana menjadikan zakat sebagai salah satu sumber dana alternatif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.[1][1]

Sumber Hukum
Di masa Nabi,wilayah kekuasaan islam meliputi semenanjung Arabia.Tetapi sepeninggalnya,wilayah itu lambat laun menjadi semakin luas.Di tahun 14 H, Islam menguasai Damaskus.Di tahun 17 H Syam dan Irak dikuasai orang Islam seluruhnya,hingga sampai di Persia pada tahun 21 H.Di tahun 20 H Islam merambah ke Barat Mesir sampai Maroko.Tahun 56 H Samarkand dikuasai Islam,dan tahun 93 H orang Islam masuk Andalusia.Meluasnya wilayah kekuasaan Islam beriringan dengan munculnya persoalan baru dikalangan ummat islam,sementara,”petunjuk praktis keagamaan” terbatas jumlahnya.

Selanjutnya para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di Arab. Misalnya masalah pengairan,keungan,ketentaraan,perkawinan,pajak,cara menetapkan hukum di pengadilan,dan lain-lain,tradisi di Irak tidak sama dengan di Mesir,dan tidak sama pula di Arab.Dalam menjawab hukum persoalan yang baru,para sahabat terlebih dahulu merujuk ke al-Quran.Bila tidak ada disana,mereka berpindah ke al-Hadits.Terhadap hadits,para sahabat sangat berhati-hati.Dalam banyak kasus diketahui bahwa para sahabat tidak menerima begitu saja berita yang dinyatakan berasal dari Nabi.Abu Bakar ra. Pernah menolak sebuah hadits yang disampaikan oleh satu orang,kecuali kalau diperkuat oleh seorang saksi.Umar bin al-Khattab ra,pernah meminta seorang pembawa hadits agar mendatangkan bukti bahwa berita itu benar dari Nabi.Begitu juga Ali bin Abu Thalib ra,pernah meminta angkat sumpah kepada seseorang yang datang membawa berita dari Nabi.Bila mereka tidak menjumpai teks al-Quran dan al-Hadits yang menyebut secara eksplisit tentang tradisi di daerah-daerah yang sudah mapan maka mereka memutuskan persoalan hukum dengan menggunakan akal pikiran (ra`yu) yang dijiwai oleh ajaran wahyu.

Dalam hal semacam ini para pemuka Islam dituntut”memuaskan” ummat.Seperti halnya orang Islam dewasa ini,orang Islam dulu tidak seluruhnya sanngup berjihad karena kesanggupan berpikir dan daya ingat mereka akan petunjuk Nabi tidak sama.Maka hanya oarang-orang tertentu saja yang berijtihad.

Untuk menyelsaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada al-Quran dan sunnah Nabi.Para sahabat banyak yang hafal al-Quran,kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan.Karenanya,kembali kepada al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafal.Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Quran.Disamping dihafal,al-Quran juga ditulis.Sedangkan penulisan hadits secara”tertib”berjarak waktu lebih satu abad dari penulisan al-Quran.Namun demikian,sumber hukum Islam di masa ini adalah al-Quran dan sunnah Nabi.Berdasarkan kedua sumber hukum itulah para khilafah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.

Di masa Nabi,syariat Islam dalam aspek hukum diterapkan sebagai hukum masyarakat.Dalam diri Nabi terdapat otoritas agama dan kekuasaan politik yang tidak dapat dipisah-pisahkan.Maka,hukum agama adalah hukum masyarakat.Keadaan semacam ini berkelanjutan sampai masa Khulafaur Rasyidun. Pada umumnya dalam memutuskan hukum,khalifah tidak sendirian,tetapi bertanya lebih dahulu kepada sahabat lain,takut kalau salah.Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Quran bukan hak prerogatif khalifah.Selanjutnya keputusan diambil dari hasil konsensus.yang lazim disebut ijma`.Melihat luasnya kekuasaan Islam,rasanya konsensus bukanlah hasil kesepakatan seluruh orang Islam,tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.Konsensus yang menghasilkan pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah adalah contohnya.Ketika itu ummat Islam dihadapakan persoalan,siapa yang pantas menggantikan (menjadi Khalifah) Rasul.Orang Muhajirin,ataukah orang Anshar.Keputusan ini diambil berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagai pengganti Nabi mengimami shalat ketika beliau tidak dapat mengimami karena sakit.Tetapi terkadang,keputusan hukum khalifah ditetapkan setelah terjadi adu argumen.

Zakat Masa Rasulullah SAW 
Sebagaimana disyari’atkan kepada Rasul-Rasul terdahulu, zakat juga disyaria’atkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Pensyari’atan zakat telah terjadi sejak Nabi berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan shalat. Di dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah menunaikan zakat bersamaan dengan perintah mendirikan shalat, baik perintah tersebut ada yang menggunakan lafal shadaqah maupun zakat. Dari sekian ayat itu diantaranya adalah ayat-ayat makiyyah. Perhatian Islam yang besar terhadap penanggulangan problem kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di Kota Mekkah –saat umat Islam masih beberapa orang dan hidup tertekan- sudah mempunyai kitab suci yang memberikan perhatian penuh dan terus menerus pada masalah sosial penanggulangan kemiskinan tersebut.

Ayat – ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode Mekkah tidak secara tegas menyatakan kewajiban zakat, umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya bercerita tentang hak-hak fakir miskin atau ketentraman dan kebahagiaan orang-orang yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturukan pada periode Mekah hanya bersifat anjuran mengenai bershadaqah, lafal yang digunakan pun lebih banyak menggunakan lafal shadaqah daripada zakat. Beberapa ayat bahkan disandingkan dengan himbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan tersebut masih belum bersifat larangan. Bahwasanya pada periode Mekkah syariat zakat belum menjadi syari’at yang bersifat wajib dan masih bersifat himbauan dan anjuran, karena ayat-ayat Mekkah tidak memakai sighat amar. Hal itu misalnya bisa diperhatikan dalam ayat makkiyah tentang zakat berikut ini :

“Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”(Q.S Ar-Rum : 39)

Hal ini ditambahkan pada surat Lukman ayat 2-4 bahwasanya orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.

Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (Q.S Luqman 2-4)

Keseluruhan ayat-ayat Makiyyah di atas bersifat informatif, belum menetapkan zakat sebagai kewajiban seorang muslim, baik zakat harta maupun zakat fitrah. Zakat hanya dipandang sebagai perilaku orang-orang yang terpuji, ciri orang yang beriman, bertaqwa dan saleh. Ayat-ayat zakat yang turun pada periode Mekkah baru bersifat umum belum ada ketentuan detail hukum dan jenis harta yang wajib dizakati serta batasan nishab dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Semua itu diserahkan kepada rasa iman, kemurahan hati dan rasa tanggung jawab seseorang atas orang lain. Ayat-ayat yang turun di Mekkah tidak hanya hanya menghimbau agar orang-orang miskin diperhatikan dan diberi makan, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang mukmin mendorong pula orang lain memberi makan dan memperhatikan orang-orang miskin tersebut dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat.

Dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di Madinah, tetapi mengapa Qur’an membicarakan hal itu dalam ayat-ayat yang begitu banyak dalam surat-surat yang turun di Mekkah. Hal ini dikarenakan adalah bahwa zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Mekkah itu tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur dan negara bertanggung jawab mengelolanya. Sementara di Mekkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman, kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama orang-orang yang beriman.

Sifat Syari’at zakat pada periode Mekkah yang demikian karena secara sosiologis umat Islam masih merupakan kelompok minoritas yang sering tertindas dan ditindas oleh mayoritas kafir Quraisy. Kaum muslimin di Mekkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama mereka. Mereka tidak memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, kecuali kekuatan Iman dan Islam yang merekat pada jiwa mereka. Karena kebanyakan dari mereka lebih memilih meninggalkan harta bendanya daripada harus meninggalkan iman Islam mereka.

Sementara pada periode Madinah, secara politis kaum muslimin telah menjadi sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara sendiri, menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri, mereka terdiri atas penguasa, pemilik tanah, pedagang dan sebagainya. Mereka sudah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh karena itu beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan tersebut, yaitu bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang bersifat anjuran. Hal itu mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan di samping didasarkan atas perasaan iman tersebut, kecenderungan itu terlihat pula pada penerapan zakat. Dalam kondisi demikian, umat Islam memerlukan perantara untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik yang telah terbentuk itu. Ayat-ayat Madaniyah tentang zakat yang mulai terlihat unsur kewajibannya, merupakan bagian dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan politik itu. Zakat pada periode Madinah telah menjadi suatu instrumen fiskal utama yang cukup menentukan. Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.

Dari sisi lain, zakat merupakan aset pendapatan negara yang sangat berarti bagi kelangsungan pemerintahan. Dari zakat dapat terkumpul dana besar yang bisa diberdayagunakan untuk kepentingan negara, serta sebagai sumber dana dalam proses pembangunan negara berdasarkan syariat Islam pada masa tersebut. Dalam konteks itu, maka zakat telah menjadi tulang punggung dalam perekonomian negara, dan telah menjadi instrumen fiskal utama pada masa tersebut.

Pada tahun kedua Hijriyah turunlah ayat dengan aturan yang lebih khusus, yakni penetapan kelompok siapa saja yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq az-zakat). Saat itu, mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu fakir dan miskin. Karena pada masa itu zakat telah diarahkan sebagai suatu instrumen fiskal yang berfungsi sebagai suatu instrumen pemerataan atas ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat. Hal itu diistinbathkan dari surat Al-Baqarah ayat 271, yaitu:

“Jika kamu menampakkan pemberian sedekahmu, maka itulah pekerjaan yang sebaik-baiknya. Dan jika kamu menyembunyikan pemberian itu, dan kamu serahkan kepada orang-orang fakir, maka itulah yang lebih baik bagimu (QS Al-Baqarah: 271)”

Ketentuan di atas berlangsung hingga tahun kesembilan Hijriyah. Karena pada tahun kesembilan Hijriyah Allah menurunkan surat At-Taubah ayat 60 yang menetapkan ketentuan baru bahwa yang menjadi kelompok yang berhak untuk menerima zakat tidak hanya terbatas pada fakir dan miskin, tetapi bertambah menjadi enam kelompok lagi.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang yang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.(QS At-Taubah: 60)”

Dalam praktiknya, Nabi membagi rata hasil zakat yang terkumpul kepada delapan kelompok tersebut. Nabi membagi sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh masing-masing kelompok tersebut. Maka konsekuensinya, ada salah satu kelompok yang tidak memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada kelompok lain yang lebih membutuhkan. Pertimbangan yang dilakukan Nabi adalah berdasarkan azas manfaat dan prioritas, kelompok-kelompok mana saja yang harus menjadi prioritas utama untuk dibagikan zakat dan mana yang menjadi prioritas terakhir. Skala prioritas ini dapat berubah dari waktu ke waktu.

Al-Qur’an adalah konstitusi dan sumber perundang-undangan Islam yang utama, oleh sebab itu Al-Qur’an hanya mengandung asas-asas dan prinsip-prinsip umum tentang suatu masalah, tidak menegaskan secara mendetail dan terperinci, terkecuali terdapat hal-hal yang dikuatirkan akan menimbulkan keragu-raguan dan kekacauan. Dalam hal ini sunnah merupakan interpretasi lisan dan pelaksanaan konkrit apa yang dinyatakan Al-Qur’an: menjelaskan yang belum jelas, mempertegas yang belum tegas, memberi batasan yang masih samar, dan memperkhusus apa yang masih terlalu umum. Dalam hal zakat, sunnah datang memperkuat ketentuan bahwa zakat itu wajib dan itu sudah ditegaskannya semenjak periode Mekkah.

Untuk mempermudah mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat, Nabi mengangkat petugas khusus yang dikenal sebagai ‘amil. Amil yang diangkat Rasul ada dua macam, pertama, amil yang berdomisili di dalam kota madinah, statusnya bersifat free-lance, tidak memperoleh gaji tetap hanya kadang-kadang memperoleh honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat. Diantara sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khathab. Kedua, Amil yang tinggal di luar kota Madinah, status mereka adalah sebagai wali pemerintah pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Diantara sahabat yang pernah menduduki jabatan ini adalah Muadz bin jabal. Sebagai amil, mereka diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk langsung mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi konsep pendistribusian pada masa Nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana zakat yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat. Karena nabi memandang bahwa setiap daerah tentu memiliki kebutuhan dan orang-orang yang akan dibantu sendiri.
Setelah jelas bahwa zakat itu wajib dan bagaimana kedudukannya dalam Islam, berdasarkan apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an, sunnah dan ijma’, maka kita dapat memberikan catatan penting dan ringkas tentang zakat tersebut, yang jelas berbeda sekali dari kebajikan dan perbuatan baik kepada orang-orang miskin dan lemah yang diserukan oleh agama-agama lain:

Zakat dalam Islam bukanlah hanya sekedar suatu kebajikan dan perbuatan baik, tetapi adalah salah satu fundamen (rukun) Islam yang utama. Orang yang tidak mau membayar zakat dinilai fasik dan orang yang mengingkari dipandang sebagai kafir. Zakat itu bukan pula kebajikan secara ikhlas atau sedekah tak mengikat, tetapi adalah kewajiban yang dipandang dari segi moral dan agama sangat mutlak dilaksanakan.

Zakat menurut pandangan Islam adalah hak fakir miskin dalam kekayaan orang-orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan itu sebenarnya, yaitu Allah SWT. Ia mewajibkannya kepada hamba-hamba-Nya yang diberi-Nya kepercayaan dan dipercayakan-Nya itu. Oleh karena itu tidak ada satu bentuk kebajikan atau belas kasihan pun dalam zakat yang dikeluarkan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin.

Zakat merupakan kewajiban yang sudah ditentukan, yang oleh agama sudah ditetapkan nisab, besaran, batas-batas, syarat-syarat, waktu dan cara pembayarannya. Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya oleh pemerintah. Hal itu dilaksanakan melalui para amil, dan zakat itu sendiri merupakan pajak yang harus dipungut, tidak diserahkan kepada kemauan baik seseorang saja.

Negara berwenang memberi sanksi kepada siapa saja yang tidak bersedia membayar kewajiban itu, namun hal ini baru dapat dilaksanakan pada negara Islam dan belum dapat diaplikasikan di Indonesia. Maksimal hukuman yang diberikan adalah penyitaan separuh harta kekayaannya.

Golongan bersenjata yang membangkang membayar zakat seyogyanya harus dibunuh dan dinyatakan perang kepadanya oleh kaum muslimin, sampai mereka bersedia membayar hak Allah dan fakir miskin yang terdapat di dalam kekayaan mereka. Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan kewajiban besar dan fundamen Islam yang sangat penting itu. Bila negara lalai menjalankannya atau masyarakat segan melakukannya, maka seorang individu tetap wajib melaksanakannya sebagai saran peribadatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Seandainya pemerintah tidak mewajibkan, maka sebagai manusia beriman wajib melaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Al –Qur’an, sunnah dan ijma’.

Kekayaan zakat tidak boleh diserahkan saja penggunaannya kepada para pihak yang berwenang, para pemuka agama, seperti dalam agama Yahudi, tetapi harus dikeluarkan sesuai dengan sasaran-sasaran pengeluaran dan orang-orang yang berhak di dalam Al-Qur’an. Zakat bukanlah sekedar bantuan makanan sewaktu-waktu untuk sedikit meringankan penderitaan hidup orang-orang miskin dan selanjutnya tidak diperdulikan lagi nasib mereka. Tetapi zakat bertujuan menanggulangi kemiskinan, menginginkan agar orang-orang miskin mampu menjadi orang yang mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.

Zakat berdasarkan sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Al-Qur’an dan dijelaskan oleh sunnah, terbukti mampu mencapai tujuan-tujuan spiritual, moral, sosial, dan politik. Dan oleh karena itu zakat dikeluarkan buat orang-orang muallaf, budak, orang yang berhutang, dan buat perjuangan di jalan Allah, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada zakat dalam agama-agama lain.

Berdasarkan ciri-ciri khas tadi, dapatlah terlihat bahwa zakat dalam Islam merupakan sistem baru tersendiri yang tidak sama dengan anjuran-anjuran dalam agama-agama lain supaya manusia suka berkorban, tidak kikir dan menumbuhkan sifat empati kepada sesama. Di samping itu zakat berbeda dari pajak dan upeti yang dikenakan para raja, yang justru dipungut dari orang-orang miskin untuk diberikan kepada orang-orang kaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar