Rabu, 31 Juli 2013

Hermeneutika Amina Wadud

Dalam metode hermenutika setidaknya yang menjadi poin penting ialah (1). Konteks penulisan teks (jika dikatkan dengan al-Qur’an, dalam konteks apa ayat itu wahyukan), (2). Struktur tata bahasa teks (ayat), yaitu cara teks mengatakan yang dikatakannya, (3). Teks secara keseluruhan, atau pandangan dunianya (world view). Terkait dengan itu, sebagaimana yang telah diungkap sebelumnya, dalam penggunaan metode Wadud sendiri mengadopsi metode Fazlur Rahman, yang disebut dengan gerakan ganda (double movement), dimana bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah-dengan keadaan yang umum dan yang khusus menyertainya-menggunakan ungkapan yang relatif mengenai situasi yang bersangkutan. Karenanya pesan al-Qur’an tidak bisa dibatasi (direduksi) oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja. Dengan demikian tantangan yang dihadapi oleh kaum muslim pada periode Pasca Rasulullah adalah memahami implikasi dari pernyataan al-Qur’an sewaktu diwahyukan, untuk menentukan makna utama yang dikandungnya. Selain metode gerakan gandanya Rahman, Wadud juga menggunakan metode tafsir Qur’an bi Qur’an untuk menganalisa semua ayat yang memberi petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan secara terpisah ataupun disebutkan bersamaan dengan laki-laki.

Dengan berlandaskan argumen tersebut Wadud yakin bahwa dalam usaha memelihara relevansinya dengan kehidupan manusia, al-Qur’an harus terus menerus ditafsirkan ulang. Wadud mencoba mengelaborasi model hermenutikanya sehingga setiap ayat dianalisis dengan lima elemen, yaitu; (1) konteks (bahasa dan kebudayaan), (2) konteks dalam al-Qur’an (berupa pembicaraan topik yang mirip dalam al-Qur’an), (3) bahasa dan struktur sintaksis yang mirip dalam al-Qur’an, (4) prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an yang lebih tinggi, (5) pandangan dunia al-Qur’an. Dari seperangkat analisis diatas Wadud ingin bisa menangkap prinsip-prinsip fundamental yang tak berubah dari teks al-Qur’an itu sendiri, kemudian melakukan refleksi untuk melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan tuntutan masyarakat zamannya.

Pada perjalanan penelitiannya, sesuai dengan unsur model hermeneutikanya,  Wadud melakukan telaah lebih jauh pada aspek analisis tekstual dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan cara ini Wadud menitik beratkan pemahaman pada susunan bahasa al-Qur’an yang bemakna ganda. Tujuan dari metode ini ialah untuk menggambarkan maksud teks dengan menganalisa ”prior texts-teks sebelumnya(latar belakang, presepsi, dan keadaan) individu sipenafsir. Hal ini penting untuk tidak diabaikan, karena tanpa adanya pra-understanding teks tersebut justru bisa dibilang mati atau bisu.

Selanjutnya Wadud menempatkan bentuk maskulin dan feminim dalam bahasa sebagai bagian penting dari analisisnya. Bahasa yang memiliki istilah gender seperti bahasa Arab yang melahirkan prior texts tertentu bagi pemakainya, juga bahasa Arab tidak memiliki bentuk netral, sehingga segala sesuatu diklasifikasikan menjadi laki-laki dan perempuan. Ini berarti secara inheren bahasa Arab mengandung bias gender, baik itu dalam kosakata maupun dalam strukturnya.

Selanjutnya untuk memahami sebuah teks, situasi dan kondisi ketika teks itu diwahyukan menjadi mutlak untuk dilakukan. Dengan menelaah pada kondisi sosiologis-historis ketika sebuah ayat diwahyukan, arah dan pergerakan ayat-ayat al-Qur’an akan menjadi jelas. Selama ini masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior. Bias gender dalam kebudayaan ini berpengaruh besar terhadap kedudukan perempuan dalam masyarakat maupun penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an mengenai perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam dipandang sebagai suatu yang bersifat hakiki. Perbedaan hakiki ini kemudian dianggap termanifestasi dalam kapasitas dan fungsi sosial.

Semangat kesetaraan menurut Wadud, tercermin pada paradigma tauhid yaitu martabat laki-laki dan perempuan adalah sama dimata Tuhan. Tauhid membuka prinsip kesetaraan yang harmonis pada gender, tidak ada kepentingan politik di dalamnya. semua berkesempatan menjadi hamba yang menjalankan perintah-Nya, hambanya yang bertakwa. Takwa memiliki pesan moral dan tidak ditentukan oleh gender, tidak menggunakan ukuran yang bersifat duniawi, kebangsaan, kekayaan, laki-laki dan perempuan bisa menjadi hamba yang bertakwa. Dalam prakteknya term ini menjadi kacau pada relasi laki-laki dan perempuan, laki-laki lebih tinggi derajatnya, posisi perempuan selalu dirugikan, kepentingan selalu ada di balik interpretasi. Konsep relasi fungsional Wadud dikaji melalui dua istilah yang sering digunakan al-Qur’an dalam menegaskan konsep tersebut, yaitu da>rajah dan fadd}ala.

Dalam da>rajah (derajat/tingkat) Wadud menjelaskan bahwa ada 3 jenis derajat antar manusia yang didapanya selama didunia, yaitu pertama, yang diperoleh dengan amal perbuatan, menurut Wadud, al-Qur’an membedakan derajat manusia berdasarkan amal, tetapi tidak menentukan nilai aktual dari amal tersebut. Al-Qur’an memberi ketentuan bahwa semau amal yang dilakukan karena takwa bernilai lebih dan bahwa setiap orang berhak atas jerih payahnya, perbedaan jenis kelamin tidak menentukan. Kedua, da>rajah pemberian Tuhan, seperti dalam al-Qur’an disebutkan ada perbedaan yang didasakan pada pengetahuan, sosial, ekonomi. Jadi lebih bersifa fungsional dan bisa dilihat dan dihargai masyarakat. Ketiga, da>rajah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Kemudian istilah fadd}ala, Wadud mengartikan sebagai ”melebihkan” dengan fi’ilnya tafdhil bermakna pilihan. Konsep fadd}ala digunakan Wadud untuk memperjelas pandangan relasi fungsional. Fadd}ala seringkali digunakan sebagai kata penghubung da>rajah. Hanya saja sifat dari fadd}ala adalah pemberian prerogatif Allah, hanya bisa diperoleh manusia dengan melakukan amal saleh. Kelebihan (fadd}ala) yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya tidak berarti Allah menetapkan perbedaan diantara mereka, karena menurut Wadud kelebihan yang ditetapkan oleh al-Qur’an hanya bersifat relatif. Dalam menjelaskan kerelatifan ini Wadud membidik pada surat an-Nisa [4] ;34.

Terkait dengan itu, semuanya bermuara pada semangat gender Wadud, yang berprinsip pada teori etika, moral dan keadilan. Peran masing-masing individu dalam masyarakat mengindikasikan kelebihan masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Prinsip inilah yang diterangkan oleh al-Qur’an sebagai konsekuensi dari potensi kebebasan yang dimiliki manusia dalam mengatur kehidupan mereka (khalifah). Khalifah tidak identik dengan kekuasaan laki-laki atas perempuan tetapi khalifah ini lebih diartikan sebagai wali, penganti dalam artian sosok seorang khalifah harus memiliki sifat dan karakter seperti yang di wakilinya, yaitu Tuhan. Khalifah membawa amanah yang mulia, sebagai agen moral, agen perubahan.

Dari itu semua menurut Wadud ”suara perempuan” yang berdasarkan pada pengalaman dan visinya dianggap perlu dalam proses penafsiran, maka dengan demikian pemahaman yang holistik akan terwujud. Lebih jauh bagaimana memposisikan “suara perempuan” dan “suara laki-laki” dalam al-Qur’an bagi Wadud hal ini berimplikasi pada sikapnya dalam memahami konsep relasi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Oleh karena itu ia perlu Wadud perlu menyuarakan bahwa “suara perempuan”-Tuhan dalam al-Qur’an harus ditempatkan setara dengan “suara laki-laki”. Dengan demikian ajaran yang memiliki pesan moral universal yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan, hal itu pada gilirannya akan berimplikasi pada sikap seorang dalam memandang kesetaraan keduanya. Dengan kata lain untuk menghilangkan bias gender dalam penafsiran

Petunjuk al-Qur’an tentang kesetaraan inilah yang ingin digali dan ditunjukkan oleh para feminis muslim dari penafsiran yang mereka hasilkan. Karena petunjuk al-Qur’an tentang kesetaraan itu seringkali “tersembunyi”, maka para feminis muslim berupaya untuk mengungkapkannya dengan mengintrodusir hermenutika feminis dalam memahami berbagai ayat al-Qur’an terkait dengan maslah gender.

Aplikasi Penafsiran Hermeneutika Amina Wadud
Berdasarkan uraian diatas tentang hermenutikanya, penulis menampilkan salah satu contoh penerapan model hermenutik yang ditaarkan oleh Amina Wadud, yaitu pada kasus Waris.

Dalam penafsiran-penafsiran klasik, pada umumnya memandang bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidaklah setara. Hal ini terbukti pada formulasi pembagian hak waris, yaitu satu berbanding dua; 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Sebagai contoh Fakruddin ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan terlebih dahulu bahwa adanya kebiasaan orang jahiliyah yang tidak memberikan warisan kepada anak-anak dan perempuan, dia juga menjelaskan hikmah kenapa laki-laki mendapat duakalidari bagian perempuan, diantaranya ialah pertama, Karena perempuan lebih lemah dibanding laki-laki, sehingga mereka lebih sedikit keluar untuk berperang dan berjuang. Oleh karenanya kebutuhan laki-laki lebih besar untuk mencukupi anak dan istrinya, kedua, Laki-laki lebih sempurna keadaanya daripada perempuan, baik dari aspek moral, intelektual, maupun agama, ketiga, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya ia mampu mengelola harta untuk hal-hal yang bermanfaat, dll.   

Formulasi yang demikian diritik oleh Amina Wadud, menurutnya, penafsiran lama yang menganggap bahwa 1 : 2 merupakan satu-satunya rumusan matetamtis yang tidak benar, sebab ketika ayat-ayat tentang waris diteliti satu persatu, ternyata rumusan 1 : 2 hanya merupakan salah satu ragam dari model pembagian harta waris laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya separuh dari keseluruhan harta warisan. Ini membuktikan bahwa pembagian 1 : 2 bukanlah suatu yang mutlak.   

Paling tidak model-model penafsiran seperti inilah yang membuat Amina Wadud berkreasi dengan pendekatan hermenutiknya. Menurut Wadud sendiri bahwa adanya keragaman dalam pembagian harta warisan dalam Islam sebenarnya menekankan pada 2 hal, yaitu; (1), Wanita, termasuk saudara jauh, hal ini tidak serta merta bisa dicabut hak warisnya. Hal ini merupakan kebiasaan pra-Islam yang memberikan harta, walaupun ia kerabat jauh. (2), Semua pembagian warisan antara kerabat yang ada haruslah bersifat adil. Keadilan disini bukanlah ditentukan oleh jumlah nominalnya, akan tetapi pada pada manfaat harta warisan bagi orang yang ditinggalkan. Dengan parameternya ialah naf’a (manfaat) maka bagian laki-laki tidak harus lebih besar dari bagian yang diterima oleh perempuan (apalagi dua kali).

Amina Wadud kemudian memberikan semacam pertimbangan ketika seseorang hendak melakukan pembagian warisan, yaitu; (1) Pembagaian warisan itu itu untuk keluarga dan kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup, (2) Sejumlah kekayaan bisa dibagikan semua, (3) Pembagian kekayaan juga harus memperhitungkan keadaan orang-orang yang ditinggalkan, manfaatnya bagi yang ditinggalkan dan manfaat dari harat yang ditinggalkan tersebut.   

Yang jelas bagi Wadud yang prinsip dasar dalam pembagian harta waris tersebut ialah pada manfaat dan keadilan bagi yang ditinggalkan. Oleh karenanya ayat-ayat tentang teknis pembagian warisan merupakan ayat yang lebih bersifat sosiologis dan hanya merupakan salah satu alternasi saja, bukan suatu keharusan yang harus diikuti. Sebagai konsekuensinya ayat-ayat tersebut mestinya dipahami semangat (ruh) atau ideal moral, yakni semangat keadilan yang ada dibalik teks yang legal formal tersebut. Semangat keadilan itulah yang muhkamat atau qathi’, sedangkan teknis operasionalnya dapat dipandang mashi zanni, seiring dengan akulturasi dan kebutuhan zaman.

Implikasi Keilmuan dari Pemikiran Amina Wadud
Gagasan Wadud sebagai feminis ditujukan untuk membangun identitas diri perempuan sebagai manusia, yang selama ini dirasa telah “dirampas” oleh bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang bias terhadap kelaki-lakian. Pandangan mengenai identitas diri perempuan dirasakan Wadud sebagai hal yang sangat penting karena hal ini secara simbolik merefleksikan kekuatan identitas Islam dalam konteks muslim yang beragam.

Kontribusi terpenting Wadud dalam kaitannya dengan wacana tafsir al-Qur’an adalah upayanya untuk memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis khususnya antara penafsiran al-Qur’an dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana). ”Apa yang dikatakan al-Qur’an? bagaimana al-Qur’an mengatakan? apa yang dikatakan terhadap al-Qur’an? dan siapa yang mengatakannya? Terakhir apa yang sebenarnya dikehendaki (sisi fundamental) dari rangkaian teks tersebut (al-Qur’an)?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membawanya kepada kritik terhadap penafsiran tradisional mengenai teks-teks tentang perempuan dalam al-Qur’an yang selama ini terkesan skirptual-parsial dan ironinya memihak pada laki-laki sebagai ”agency”. Berangkat dari kritik ini Wadud kemudian berupaya untuk mengajukan gagasan pemikiran, kerangka kerja, metodologi, dan tentu saja penafsirannya terhadap al-Qur’an yang lebih egaliter menurutnya.

Penafsiran al-Qur’an model Amina Wadud setidaknya merupakan upaya keduanya untuk menolak wacana Islam-patriakhi yang dikemukakan oleh umat Islam yang cendrung bervisi tradisional-konservatif. Ini terlihat melalui penafsiran-penafsiran secara literal-tekstual terhadap ayat-ayat yang menempatkan posisi perempuan termarginalkan, dan menempatkan posisi laki-laki lebih dari perempuan. Melalui hal itu Wadud berupaya mengkosntruk metode, pendekatan dan praktek penafsiran yang lebih sesuai dengan ”nalar” feminis, yakni kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian tafsir semacam ini (berkarakter feminis) menjadi semacam ”gerakan” dari keduanya dalam memperkokoh wacana feminis Islam sebagaimana juga yang dilakukan oleh feminis muslim lain seperti Qasim Amin, Rifaat Hasan, Asghar Ali Engineer, dll. Sikap semacam ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari diktum yang menyatakan bahwa al-Qur’an s}alih likulli> zama>n wa maka>n, bahwa al-Qur’an tetap fleksibel tanpa kehilangan prinsip dasarnya.

Salah Hal yang perlu dipertimbangkan ulang dari tawaran hermenutik tafsir Wadud ialah pada model yang digunakan oleh Wadud dalam memahami al-Qur’an, yang  cenderung eksklusif. Wadud bukan saja meyakini penafsiran bercorak patriakhis disebabkan karena laki-laki yang melakukannya, namun dengan menggunakan pengalaman perempuan (prior texts), dan terkesan ”memaksa” perempuan untuk menjadi penafsir sendiri atas al-Qur’an yang bisa menghindarkan penafsiran kedalam ”bias gender” tersendiri. Padahal tepat-tidaknya penafsiran bukan disebabkan oleh jenis kelamin, melainkan perspektif yang meliputi orang yang menafsirkan. Perspektif yang patriakhis bisa dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan. Selain itu tingkat kapasitas intelektual dalam memahami metode dan seprangakt penafsiran juga perlu menjadi hal yang dipertimbangkan.

Selain itu jikalau seluruh ayat-ayat perempuan mesti ditafsirkan dengan ”gaya perempuan” maka secara tidak langsung konsep egaliter perlu dilihat lagi, bisa saja disatu waktu laki-laki termarginalkan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh laki-laki dalam proses penafsiran tidak maksimal dan bahkan terberdayakan secara utuh. Bukankah pengalaman setiap manusia itu berbeda-beda, dan tawaran dari penulis alangkah bijaknya dalam proses penafsiran tersebut laki-laki dan perempuan menjadi partner, tanpa membedakan diferensisasi antara kodrat dan jenis kelamin, dan saling melengkapi pengetahuan dan berbagi pengalaman, implikasinya dapat meminimalisir bahkan jauh dari hasil tafsiran yang terkesan bias gender (..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar