Dalam metode hermenutika
setidaknya yang menjadi poin penting ialah (1). Konteks penulisan teks (jika
dikatkan dengan al-Qur’an, dalam konteks apa ayat itu wahyukan), (2). Struktur
tata bahasa teks (ayat), yaitu cara teks mengatakan yang dikatakannya, (3).
Teks secara keseluruhan, atau pandangan dunianya (world view). Terkait
dengan itu, sebagaimana yang telah diungkap sebelumnya, dalam penggunaan metode
Wadud sendiri mengadopsi metode Fazlur Rahman, yang disebut dengan gerakan
ganda (double movement), dimana bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah-dengan keadaan yang umum dan yang
khusus menyertainya-menggunakan ungkapan yang relatif mengenai situasi yang
bersangkutan. Karenanya pesan al-Qur’an tidak bisa dibatasi (direduksi) oleh
situasi historis pada saat ia diwahyukan saja. Dengan demikian tantangan yang
dihadapi oleh kaum muslim pada periode Pasca Rasulullah adalah memahami
implikasi dari pernyataan al-Qur’an sewaktu diwahyukan, untuk menentukan makna
utama yang dikandungnya. Selain metode gerakan gandanya Rahman, Wadud juga
menggunakan metode tafsir Qur’an bi Qur’an untuk menganalisa semua ayat
yang memberi petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan secara terpisah
ataupun disebutkan bersamaan dengan laki-laki.
Dengan berlandaskan argumen
tersebut Wadud yakin bahwa dalam usaha memelihara relevansinya dengan kehidupan
manusia, al-Qur’an harus terus menerus ditafsirkan ulang. Wadud mencoba mengelaborasi
model hermenutikanya sehingga setiap ayat dianalisis dengan lima elemen, yaitu;
(1) konteks (bahasa dan kebudayaan), (2) konteks dalam al-Qur’an (berupa
pembicaraan topik yang mirip dalam al-Qur’an), (3) bahasa dan struktur
sintaksis yang mirip dalam al-Qur’an, (4) prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an yang
lebih tinggi, (5) pandangan dunia al-Qur’an. Dari seperangkat analisis diatas
Wadud ingin bisa menangkap prinsip-prinsip fundamental yang tak berubah dari
teks al-Qur’an itu sendiri, kemudian melakukan refleksi untuk melakukan kreasi
penafsiran sesuai dengan tuntutan masyarakat zamannya.
Pada perjalanan penelitiannya,
sesuai dengan unsur model hermeneutikanya, Wadud melakukan telaah lebih jauh pada aspek
analisis tekstual dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan cara ini Wadud menitik
beratkan pemahaman pada susunan bahasa al-Qur’an yang bemakna ganda. Tujuan dari
metode ini ialah untuk menggambarkan maksud teks dengan menganalisa ”prior
texts-teks sebelumnya” (latar belakang, presepsi, dan keadaan)
individu sipenafsir. Hal ini penting untuk tidak diabaikan, karena tanpa adanya
pra-understanding teks tersebut justru bisa dibilang mati atau bisu.
Selanjutnya Wadud menempatkan
bentuk maskulin dan feminim dalam bahasa sebagai bagian penting dari
analisisnya. Bahasa yang memiliki istilah gender seperti bahasa Arab yang
melahirkan prior texts tertentu bagi pemakainya, juga bahasa Arab tidak
memiliki bentuk netral, sehingga segala sesuatu diklasifikasikan menjadi
laki-laki dan perempuan. Ini berarti secara inheren bahasa Arab mengandung bias
gender, baik itu dalam kosakata maupun dalam strukturnya.
Selanjutnya untuk memahami
sebuah teks, situasi dan kondisi ketika teks itu diwahyukan menjadi mutlak
untuk dilakukan. Dengan menelaah pada kondisi sosiologis-historis ketika sebuah
ayat diwahyukan, arah dan pergerakan ayat-ayat al-Qur’an akan menjadi jelas.
Selama ini masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior. Bias
gender dalam kebudayaan ini berpengaruh besar terhadap kedudukan perempuan
dalam masyarakat maupun penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an mengenai perempuan.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam dipandang
sebagai suatu yang bersifat hakiki. Perbedaan hakiki ini kemudian dianggap
termanifestasi dalam kapasitas dan fungsi sosial.
Semangat kesetaraan menurut
Wadud, tercermin pada paradigma tauhid yaitu martabat laki-laki dan perempuan
adalah sama dimata Tuhan. Tauhid membuka prinsip kesetaraan yang harmonis pada
gender, tidak ada kepentingan politik di dalamnya. semua berkesempatan menjadi
hamba yang menjalankan perintah-Nya, hambanya yang bertakwa. Takwa memiliki
pesan moral dan tidak ditentukan oleh gender, tidak menggunakan ukuran yang
bersifat duniawi, kebangsaan, kekayaan, laki-laki dan perempuan bisa menjadi
hamba yang bertakwa. Dalam prakteknya term ini menjadi kacau pada relasi
laki-laki dan perempuan, laki-laki lebih tinggi derajatnya, posisi perempuan
selalu dirugikan, kepentingan selalu ada di balik interpretasi. Konsep relasi
fungsional Wadud dikaji melalui dua istilah yang sering digunakan al-Qur’an
dalam menegaskan konsep tersebut, yaitu da>rajah dan fadd}ala.
Dalam da>rajah (derajat/tingkat)
Wadud menjelaskan bahwa ada 3 jenis derajat antar manusia yang didapanya selama
didunia, yaitu pertama, yang diperoleh dengan amal perbuatan, menurut Wadud,
al-Qur’an membedakan derajat manusia berdasarkan amal, tetapi tidak menentukan nilai
aktual dari amal tersebut. Al-Qur’an memberi ketentuan bahwa semau amal yang
dilakukan karena takwa bernilai lebih dan bahwa setiap orang berhak atas jerih
payahnya, perbedaan jenis kelamin tidak menentukan. Kedua, da>rajah pemberian
Tuhan, seperti dalam al-Qur’an disebutkan ada perbedaan yang didasakan pada
pengetahuan, sosial, ekonomi. Jadi lebih bersifa fungsional dan bisa dilihat
dan dihargai masyarakat. Ketiga, da>rajah yang membedakan
antara laki-laki dan perempuan.
Kemudian istilah fadd}ala,
Wadud mengartikan sebagai ”melebihkan” dengan fi’ilnya tafdhil
bermakna pilihan. Konsep fadd}ala digunakan Wadud untuk memperjelas pandangan
relasi fungsional. Fadd}ala seringkali digunakan sebagai kata penghubung
da>rajah. Hanya saja sifat dari fadd}ala adalah pemberian
prerogatif Allah, hanya bisa diperoleh manusia dengan melakukan amal saleh.
Kelebihan (fadd}ala) yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya tidak
berarti Allah menetapkan perbedaan diantara mereka, karena menurut Wadud
kelebihan yang ditetapkan oleh al-Qur’an hanya bersifat relatif. Dalam
menjelaskan kerelatifan ini Wadud membidik pada surat an-Nisa [4] ;34.
Terkait dengan itu, semuanya
bermuara pada semangat gender Wadud, yang berprinsip pada teori etika, moral
dan keadilan. Peran masing-masing individu dalam masyarakat mengindikasikan
kelebihan masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Prinsip inilah yang
diterangkan oleh al-Qur’an sebagai konsekuensi dari potensi kebebasan yang
dimiliki manusia dalam mengatur kehidupan mereka (khalifah). Khalifah tidak
identik dengan kekuasaan laki-laki atas perempuan tetapi khalifah ini lebih
diartikan sebagai wali, penganti dalam artian sosok seorang khalifah harus
memiliki sifat dan karakter seperti yang di wakilinya, yaitu Tuhan. Khalifah
membawa amanah yang mulia, sebagai agen moral, agen perubahan.
Dari itu semua menurut Wadud
”suara perempuan” yang berdasarkan pada pengalaman dan visinya dianggap perlu dalam
proses penafsiran, maka dengan demikian pemahaman yang holistik akan terwujud.
Lebih jauh bagaimana memposisikan “suara perempuan” dan “suara laki-laki” dalam
al-Qur’an bagi Wadud hal ini berimplikasi pada sikapnya dalam memahami konsep
relasi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Oleh karena itu ia perlu Wadud
perlu menyuarakan bahwa “suara perempuan”-Tuhan dalam al-Qur’an harus
ditempatkan setara dengan “suara laki-laki”. Dengan demikian ajaran yang
memiliki pesan moral universal yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan, hal itu
pada gilirannya akan berimplikasi pada sikap seorang dalam memandang kesetaraan
keduanya. Dengan kata lain untuk menghilangkan bias gender dalam penafsiran
Petunjuk al-Qur’an tentang
kesetaraan inilah yang ingin digali dan ditunjukkan oleh para feminis muslim
dari penafsiran yang mereka hasilkan. Karena petunjuk al-Qur’an tentang
kesetaraan itu seringkali “tersembunyi”, maka para feminis muslim berupaya
untuk mengungkapkannya dengan mengintrodusir hermenutika feminis dalam memahami
berbagai ayat al-Qur’an terkait dengan maslah gender.
Aplikasi
Penafsiran Hermeneutika Amina Wadud
Berdasarkan uraian diatas
tentang hermenutikanya, penulis menampilkan salah satu contoh penerapan model
hermenutik yang ditaarkan oleh Amina Wadud, yaitu pada kasus Waris.
Dalam penafsiran-penafsiran
klasik, pada umumnya memandang bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhnya
tidaklah setara. Hal ini terbukti pada formulasi pembagian hak waris, yaitu
satu berbanding dua; 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Sebagai contoh Fakruddin
ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan terlebih dahulu bahwa adanya kebiasaan
orang jahiliyah yang tidak memberikan warisan kepada anak-anak dan perempuan,
dia juga menjelaskan hikmah kenapa laki-laki mendapat duakalidari bagian
perempuan, diantaranya ialah pertama, Karena perempuan lebih lemah
dibanding laki-laki, sehingga mereka lebih sedikit keluar untuk berperang dan
berjuang. Oleh karenanya kebutuhan laki-laki lebih besar untuk mencukupi anak
dan istrinya, kedua, Laki-laki lebih sempurna keadaanya daripada
perempuan, baik dari aspek moral, intelektual, maupun agama, ketiga,
laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya ia mampu mengelola harta untuk
hal-hal yang bermanfaat, dll.
Formulasi yang demikian
diritik oleh Amina Wadud, menurutnya, penafsiran lama yang menganggap bahwa 1 :
2 merupakan satu-satunya rumusan matetamtis yang tidak benar, sebab ketika
ayat-ayat tentang waris diteliti satu persatu, ternyata rumusan 1 : 2 hanya
merupakan salah satu ragam dari model pembagian harta waris laki-laki dan
perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka
bagiannya separuh dari keseluruhan harta warisan. Ini membuktikan bahwa
pembagian 1 : 2 bukanlah suatu yang mutlak.
Paling tidak model-model
penafsiran seperti inilah yang membuat Amina Wadud berkreasi dengan pendekatan
hermenutiknya. Menurut Wadud sendiri bahwa adanya keragaman dalam pembagian
harta warisan dalam Islam sebenarnya menekankan pada 2 hal, yaitu; (1), Wanita,
termasuk saudara jauh, hal ini tidak serta merta bisa dicabut hak warisnya. Hal
ini merupakan kebiasaan pra-Islam yang memberikan harta, walaupun ia kerabat
jauh. (2), Semua pembagian warisan antara kerabat yang ada haruslah bersifat
adil. Keadilan disini bukanlah ditentukan oleh jumlah nominalnya, akan tetapi
pada pada manfaat harta warisan bagi orang yang ditinggalkan. Dengan
parameternya ialah naf’a (manfaat) maka bagian laki-laki tidak harus
lebih besar dari bagian yang diterima oleh perempuan (apalagi dua kali).
Amina Wadud kemudian
memberikan semacam pertimbangan ketika seseorang hendak melakukan pembagian
warisan, yaitu; (1) Pembagaian warisan itu itu untuk keluarga dan kerabat
laki-laki dan perempuan yang masih hidup, (2) Sejumlah kekayaan bisa dibagikan
semua, (3) Pembagian kekayaan juga harus memperhitungkan keadaan orang-orang
yang ditinggalkan, manfaatnya bagi yang ditinggalkan dan manfaat dari harat
yang ditinggalkan tersebut.
Yang jelas bagi Wadud yang
prinsip dasar dalam pembagian harta waris tersebut ialah pada manfaat dan
keadilan bagi yang ditinggalkan. Oleh karenanya ayat-ayat tentang teknis
pembagian warisan merupakan ayat yang lebih bersifat sosiologis dan hanya
merupakan salah satu alternasi saja, bukan suatu keharusan yang harus diikuti. Sebagai
konsekuensinya ayat-ayat tersebut mestinya dipahami semangat (ruh) atau ideal
moral, yakni semangat keadilan yang ada dibalik teks yang legal formal
tersebut. Semangat keadilan itulah yang muhkamat atau qathi’,
sedangkan teknis operasionalnya dapat dipandang mashi zanni, seiring
dengan akulturasi dan kebutuhan zaman.
Implikasi Keilmuan
dari Pemikiran Amina Wadud
Gagasan Wadud sebagai feminis
ditujukan untuk membangun identitas diri perempuan sebagai manusia, yang selama
ini dirasa telah “dirampas” oleh bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang bias
terhadap kelaki-lakian. Pandangan mengenai identitas diri perempuan dirasakan
Wadud sebagai hal yang sangat penting karena hal ini secara simbolik
merefleksikan kekuatan identitas Islam dalam konteks muslim yang beragam.
Kontribusi terpenting Wadud
dalam kaitannya dengan wacana tafsir al-Qur’an adalah upayanya untuk
memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis khususnya antara penafsiran
al-Qur’an dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana). ”Apa yang
dikatakan al-Qur’an? bagaimana al-Qur’an mengatakan? apa yang dikatakan terhadap
al-Qur’an? dan siapa yang mengatakannya? Terakhir apa yang sebenarnya
dikehendaki (sisi fundamental) dari rangkaian teks tersebut (al-Qur’an)?.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membawanya kepada kritik terhadap penafsiran
tradisional mengenai teks-teks tentang perempuan dalam al-Qur’an yang selama
ini terkesan skirptual-parsial dan ironinya memihak pada laki-laki sebagai ”agency”.
Berangkat dari kritik ini Wadud kemudian berupaya untuk mengajukan gagasan
pemikiran, kerangka kerja, metodologi, dan tentu saja penafsirannya terhadap
al-Qur’an yang lebih egaliter menurutnya.
Penafsiran al-Qur’an model
Amina Wadud setidaknya merupakan upaya keduanya untuk menolak wacana Islam-patriakhi
yang dikemukakan oleh umat Islam yang cendrung bervisi tradisional-konservatif.
Ini terlihat melalui penafsiran-penafsiran secara literal-tekstual terhadap
ayat-ayat yang menempatkan posisi perempuan termarginalkan, dan menempatkan
posisi laki-laki lebih dari perempuan. Melalui hal itu Wadud berupaya
mengkosntruk metode, pendekatan dan praktek penafsiran yang lebih sesuai dengan
”nalar” feminis, yakni kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian tafsir
semacam ini (berkarakter feminis) menjadi semacam ”gerakan” dari keduanya dalam
memperkokoh wacana feminis Islam sebagaimana juga yang dilakukan oleh feminis
muslim lain seperti Qasim Amin, Rifaat Hasan, Asghar Ali Engineer, dll. Sikap
semacam ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari diktum yang menyatakan
bahwa al-Qur’an s}alih likulli> zama>n wa maka>n, bahwa al-Qur’an
tetap fleksibel tanpa kehilangan prinsip dasarnya.
Salah Hal yang perlu
dipertimbangkan ulang dari tawaran hermenutik tafsir Wadud ialah pada model
yang digunakan oleh Wadud dalam memahami al-Qur’an, yang cenderung eksklusif. Wadud bukan saja meyakini
penafsiran bercorak patriakhis disebabkan karena laki-laki yang melakukannya,
namun dengan menggunakan pengalaman perempuan (prior texts), dan terkesan
”memaksa” perempuan untuk menjadi penafsir sendiri atas al-Qur’an yang bisa menghindarkan
penafsiran kedalam ”bias gender” tersendiri. Padahal tepat-tidaknya penafsiran
bukan disebabkan oleh jenis kelamin, melainkan perspektif yang meliputi orang
yang menafsirkan. Perspektif yang patriakhis bisa dimiliki baik oleh laki-laki
maupun perempuan. Selain itu tingkat kapasitas intelektual dalam memahami
metode dan seprangakt penafsiran juga perlu menjadi hal yang dipertimbangkan.
Selain itu jikalau seluruh
ayat-ayat perempuan mesti ditafsirkan dengan ”gaya perempuan” maka secara tidak
langsung konsep egaliter perlu dilihat lagi, bisa saja disatu waktu laki-laki
termarginalkan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh laki-laki dalam proses
penafsiran tidak maksimal dan bahkan terberdayakan secara utuh. Bukankah
pengalaman setiap manusia itu berbeda-beda, dan tawaran dari penulis alangkah
bijaknya dalam proses penafsiran tersebut laki-laki dan perempuan menjadi
partner, tanpa membedakan diferensisasi antara kodrat dan jenis kelamin, dan saling
melengkapi pengetahuan dan berbagi pengalaman, implikasinya dapat meminimalisir
bahkan jauh dari hasil tafsiran yang terkesan bias gender (..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar