Senin, 23 Mei 2011

Kritik Terhadap Fatwa MUI 1975-1988

Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang secara legalitas mendapat pengakuan dari negara, mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengeluarkan kebijakannya sebagai dewan fatwa dan pemberi nasehat baik kepada masyarakat maupun terhadap kelancaran program pemerintah. Dalam kurun waktu 13 tahun saja beberapa fatwa telah banyak dikeluarkan. Fatwa-fatwa tersebut menyangkut banyak hal, seperti bidang agama, social, dan persoalan ilmiah lainnya.
Ragam fatwa yang dikeluarkan di atas tidak semuanya laris manis diterima masyarakat. Tidak semua fatwa MUI selaras dengan masyarakat dan kebijakan pemerintah, terkadang juga yang menimbulkan polemic di masyarakat bahkan dalam tubuh MUI sendiri. Fatwa tentang larangan menghadiri perayaan Natal bagi kaum Muslimin dan penggunaan alat kontrasepsi dalam keluarga berencana pernah menjadi permasalahan yang cukup rumit saat itu. Hamka yang ketika itu selaku ketua umum MUI harus bergulat dengan pemerintah. Karena pemerintah saat itu mengangggap dengan adanya fatwa di atas, dapat mengahalangi kelancaran terwujudnya Keluarga Berencana (KB) di Indonesia. Polemik yang berkepanjangan tidak jarang menimbulkan kontroversi, sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti, seberapa jauh fatwa-fatwa tersebut absah dari segi hokum Islam, dan adakah factor-faktor social politik ikut melatarbelakangi lahirnya fatwa-fatwa itu.

Berdirinya MUI
Ketika peran ulama berangsur-angsur disingkirkan dari kehidupana politik yang mengharsukan mereka menarik diri dari kehidupan politik praktis, pada masa awal orde baru. Maka untuk mengukuhkan peran ulama di masyarakat diperlukan suatu lembaga yang cakupan wilayahnya bersifat nasional. Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam pada tanggal 30 September sampai 4 Oktober 1970 disepakati bahwa untuk mengusung persatuan umat Islam perlu dibentuk Majelis Ulama Indonesia yang memiliki fungsi untuk memberikan fatwa yang disepakati oleh semua golongan, sehingga perpecahan di antara mereka bisa dihindari.

Selama empat tahun, keinginan para peserta konferensi yang diselenggarakan Pusat Dakwah Islam tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Baru pada tahun 1974, Presiden Soeharto dalam pembukaan seminar nasional bagi para da’i menekankan pentingnya lembaga nasional yang mewadahi para ulama yang merepresentasikan para umat muslim yang memiliki latar belakang dan paham keagamaan yang berbeda-beda. Saran ini disambut oleh para ulama, yang pada tanggal 24 Mei 1975, para delegasi yang mewakili Dewan Masjid Indonesia menghadap Presiden Soeharto, di mana dalam penyambutannya, dia menekankan kembali pentingnya suatu wadah ulama yang bersifat nasional. Keinginan Presiden Soeharto untuk mendirikan suatu wadah untuk para ulama ini adalah karena:
1. Keinginan Pemerintah Indonesia untuk melihat kokohnya persatuan umat Islam.
2. Kesadaran bahwa banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak bisa dipecahkan tanpa melibatkan peran ulama.
Guna menindaklanjuti keinginan Presiden Soeharto mengenai pembentukan wadah bagi ulama se-Indonesia ini, maka Menteri Dalam Negeri yang waktu itu dijabat oleh Amir Machmud menginstruksikan kepada para gubernur untuk mendirikan majelis ulama ditingkat propinsi. Instruksi ini mendapat sambutan yang baik, sehingga tidak berapa lama, pada bulan Mei 1975, majelis ulama tingkat propinsi sudah berdiri di 26 propinsi di Indonesia untuk mendukung berdirinya majelis ulama di tingkat nasional.

Keinginan untuk mendirikan majelis ulama di tingkat nasional ini semakin nyata ketika pada tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama Republik Indonesia atas nama pemerintahan RI membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk mempersiapkan pendirian majelis ulama di tingkat nasional ini. Ada empat orang yang ditunjuk untuk menjadi panitia, yaitu H. Sudirman (seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat) sebagai ketua, Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafi’i, dan KH. Syukri Ghazali sebagai penasehat.

Berdasarkan rapat kepanitiaan yang berkali-kali diselenggarakan, maka disepakati untuk diselenggarakan Konfrensi Nasional Ulama yang diselenggarakan selama satu minggu, 21-27 Juli 1975. Konferensi Nasional Ulama tersebut diikuti oleh 53 orang dengan perincian: a) 26 ulama yang mewakili 26 propinsi, b) 10 orang mewakili organisasi keagamaan yang berpengaruh di Indonesia: NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, al-Washliyyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al-Ittihadiyah, c) 4 orang ulama yang berasal dari para rohaniawan Islam; AD, AU, AL, dan POLRI, dan d) 13 orang tokoh cendekiawan muslim. Pada akhirnya, semua peserta konferensi sepakat untuk membentuk wadah ulama di tingkat nasional yang diberi nama Majelis Ulama Indonesi (MUI) menjelang berakhirnya konferensi tersebut, yaitu pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan tanggal 7 Rajab 1395 H. di Jakarta dengan Ketua pertamanya dipilih Dr. Hamka

Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa menasional.

Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar

Urgensi Majelis Ulama Indonesia
Perkembangan keilmuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dekade belakangan ini, di samping mendatangkan kemudahan, efektifitas dan efisiensi pekerjaan dan urusan kemanusiaan, namun juga mendatangkan permasalahan-permasalahan barus yang sebelumnya tidak ada. Permasalahan tersebut meningkat tajam dan semakin komplek yang perlu segera dipecahkan oleh lembaga yang kapabel untuk memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang beragama Islam.

Patut disyukuri, bahwa permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan yang dialami oleh umat muslim, tidak malah menjauhkan mereka dari agama, justru fenomenanya masalah tersebut mendekatkan mereka kepada ajaran Islam, untuk mencari jawaban dari agama Islam yang dipeluknya. Mereka membentuk kelompok-kelompok kajian keislaman yang berusaha mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Masyarakat muslim, tidak semuanya memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, meskipun ghirah keagamaan mereka tinggi. Oleh karena itu, ghirah yang baik dari umat Islam ini perlu segera ditanggapi oleh para ulama yang notabene memiliki kapabilitas untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat muslim.

Para ulama tidak boleh membiarkan umat Islam berada dalam kebingungan dalam menghadapi permasalahan yang mereka hadapi, apalagi membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan, karena memutuskan secara salah terhadap permasalahan mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene merupakan perkumpulan para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada umat Islam yang lain untuk memberi jawaban dan menunjukkan kepada jalan yang benar atas permasalahan yang dihadapi umat

Fungsi MUI adalah memberi nasihat, karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa Majelis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya (Pasal 4 dan 6 Pedoman Dasar MUI).88 Dalam bahasa Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, MUI bertugas ”selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam”. Syaikh Mahmoud Syaltout, mantan rektor Universitas al-Azhar juga memandang penting adanya lembaga fatwa yang dapat menjadi tempat bertanya masyarakat dalam masalah agama, demi menjaga kepentingan umat.

Kedudukan MUI dalam MasyarakatSejak dibentuknya MUI pada tahun 1975, MUI telah memliki tiga orang ketua umum yang memimpin secara bergantian. Kurun waktu 1975-1981 dipimpin Hamka. Buya yang berasal dari Sumatera Barat ini mempunyai pola pikir hokum Islam yang sangat dinamis. Suatu ketika ia pernah mengatakan, “bahwa orang dapat menunda atau menyesuaikan pelaksanaan hokum Islam tertentu apabila keadaan social-budaya dan politik mengharuskan demikian”. Tahun 1981-1984 dipimpin oleh Syukri Ghozali yang berasal dari golongan Konservatif Nahdhatul Ulama (NU) yang dipanggil dengan panggilan kehormatan Kyai Syukri. Kepemimpinan selanjutnya dipimpin oleh Hasan Basri.
Selama keberadaannya, Kegiatan MUI pada dasarnya ditujukan untuk menjamin diterimanya organisasi itu di dalam masyarakat, dan memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan dengan organisasi-organisasi Islam lainnnya. Pada awal mula berdirinya, para anggota pengurus MUI mendatangi komite-komite pusat organisasi-organisasi Islam lainnya, beberapa lama kemudian yang lainnya diundang ke kantor MUI dan diadakan rapat untuk merundingkan berbagai persoalan. Kongkritnya seperti setiap saat pergantian tahun hijrah, MUI selalu mengadakan pertemuan dengan organisasi-organisasi Islam untuk memperingati arti penting hari tersebut. Selai itu MUI juga mengadakan seminar mengenai berbagai persoalan nasional.

Secara substansial, sifat tugas MUI adalah member nasehat, karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Pembatasan secara hokum tersebut senada dengan pidato mantan presiden Soeharto pada Konferensi Nasional Pertamapara ulama tanggal 21 Juli 1975. Secara khusus, presiden menyarankan bahwa MUI tidak boleh terlibat dalam program-program praktis seperti menyelenggarakan madrasah-madrasah, masjid, atau rumah sakit, maupun kegiatan-kegiatan bagi kelompok/organisasi Islam yang telah ada, demikian juga dalam politik praktis.
Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam memberikan fatwa dan nasihat. Baik kepada pemerintah maupun masyarakat kaum muslimin mengenai persoaln-persoalan yang berkaitan dengan agama khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya. MUI juga diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslimin dalam permusyawarahan antar golongan agama. Menurut kata ketua umum MUI ke-3, Hasan Basri, MUI bertugas, selaku penjaga agar janagan ada undang=undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Melihat hubungan MUI dan pemerintah sesungguhnya sangatlah rumit. Disatu sisi dapat dilihat bahwa pemerintah telah memberikan penghargaan tinggi terhadap MUI dan memberikan bantuan keuangan. Namun di sisi lain MUI selalu berada dibawah tekanan untuk membenarkan politik pemerintah dilihat dari sudut agama. Secara ringkas dapat dijumpai, bahwa hubungan antara MUI dan pemerintah telah berkembang dengan pesat, dan MUI sangat puas dengan keadaan itu. Namun tetap saja MUI selalu berada dibawah tekanan untuk melancarkan misi dan program pemerintahan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Mislanya saja pada tahun 1971 sekelompok ulama mengeluarkan fatwa, yang menyatakan bahwa penggunanaan alat kontrasepsi IUD (Intra Uterine Devices) dalam pelaksanaan keluarga berencana dilarang dalam Islam, karena pemasangannya melanngar autar kaum wanita. Pemerintah beranggapan fatwa tersebut dapat merugikan pemerintah dalam mewujudkan keberhasilan program keluarga berencana (KB) nasional. Oleh karena itu, pemerintah secara tegas membujuk MUI untuk menarik kembali fatwa tersebut, maka baru dua belas tahun kemudian pemerintah mampu membujuk MUI untuk menarik kembali fatwa keharaman alat kontrasepsi tersebut.

Contoh lain adalah mengenai persoalan kehadiran umat Islam menghadiri upacara perayaan Natal umat Kristen. Pada bulan maret 1981 MUI mengeluarkan suatu fatwa yang menyatakan bahwa menhadiri perayaan Natal dilarang bagi kaum muslimin. Pada mulanya fatwa itu tidak menimbulkan perbedaan pendapat besar-besaran, karena fatwa itu diumumkan dalam majalah MUI yang hanya dibaca oleh kalangan terbatas. Tapi dalam empat bulan ketika fatwa itu dimuat dalam surat kabar dan majalah barulah menimbulkan perbedaan-pendapat. Kira-kira 6 bulan kemuadian pemerintah dianggap perlu untuk menentukan sikapnya. Pemerintah mengeluarkan pengumuman yang mnerangkan bahwa meskipun hal itu tidak dianjurkan tetapi kehadiran tidak dilarang oleh agama Islam, selama kehadiran itu hanya mengenai bagian-bagian upacara dan bukan mengennai bagiah-bagian ibadah ritual dalam perayaan itu. Bagi pemerintah hal ini bertujuan untuk memelihara kerukunan beragama di tanah air. Namun Hamka selaku ketua umum MUI saat itu, diminta pemerintah untuk menarik fatwa tersebut, tapi ia menolaknya.

Surat pengunduran diri Hamka itu diberi tanggal 18 Mei 1981 dan ditandatangani oleh Hamka. Anaknya, Rusjdi Hamka, mengatakan bahwa surat itu telah ditulis tangan oleh Hamka sendiri dan selanjutnya diketik oleh anaknya. Begitulah hubungan antara MUI di satu pihak dengan pemertintah dan organisasi-organisasi Islam lainnya. Di pihak lain telah dibicarakan untuk mengetahui kedudukan MUI dalam masyarakat.

Cara Kerja Pembuatan Fatwa
Dalam banyak hal MUI mengeluarkan fatwa-fatwa untuk mengumumkan pendirian akhirnya mengenai persoalan-persoalan tertentu. Jika sifat dan cara pembuatannya adalah menurut garis-garis agama, peranan yang dilakukan fatwa itu bersifat sekuler. Fatwa-fatwa itu dimaksudkan untuk mempersatukan pendapat kaum muslimin dan memberikan nasihat kepada pemerintah tentang hokum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan tertentu. Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh komisi fatwa MUI. Komisi itu bertugas untuk merundingakn dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan hokum Islam yang dihadapi masyarakat. Pada waktu pembentukannya tahun 1975 komisi itu mempunyai 7 orang anggota, tapi jumlah itu dapat bertubah karena kematian atau pergantian anggota. Setiap lima tahun sekali komisi itu diperbaharui melalui pengangkatan baru. Ketua-ketua fatwa secara otomatis bertindak selaku salah seorang ketua MUI.

Persidangan-persidangan komisi fatwa diadakan menurut keperluan, atau bila MUI telah dimintai pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai permaslahan tertentu dalam hokum Islam. Persidangan semacam itu biasanya, disamping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh para undangan dari luar, yang terdiri dari para ulama bebas dan para ilmuan sekuler yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan. Untuk mengeluarkan satu fatwa biasanya diperlukan hanya satu kali siding, tapi adakalanya satu fatwa memerlukan hingga enam kali sidang, dalam satu kali sidang ada juga yang dapat menghasilkan beberapa fatwa seperti dalam masalah vasektomi (pemandulan), tubektomi, dan sumbanagan kornea mata.

Fatwa-fatwa itu sendiri adalaha beruapa pernyataan-pernyataan, diumumkan oleh komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriyah fatwa selalu sama, dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah melakukan sidang pada tanggal tertentu berkenaan dengan adanya pertanyyan yang diajukan oleh masyarakan atau badan-badan tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Dalil bagi kebanyakan fatwa dimulai dari ayat Al Qur’an disertai hadis-hadis yang bersangkutan serta kutipan naskah-naskah fikih dalam bahasa arab. Dalil-dalil menurut akal (rasional) juga diberikan sebagai keterangan pendukung. Pada bagian akhir fatwa selalu ada tiga hal yang dicantumkan yaitu, tanggal dikeluarkannya fatwa, nama-nama ketua dan para anggota komisi disertai dengan tanda tangan mereka, kemudian nama-nama mereka yang telah menghadiri sidang. Adakalanya tanda tangan ketua MUI dicantumkan pada fatwa bersangkutan, bahkan telah terjadi pada satu fatwa ada dicantumkan tanda tangan mentri agama.

Cara lain untuk membuat fatwa adalah dengan memperbincangkan masalah itu dalam konferensi tahunan para ulama yang diselenggarakan oleh MUI dan konferensi itu. Dihadiri oleh jumlah ulama yang lebih banyak, yang mengemukakan persoalan-persoalan yang memerlukan dibuatnya fatwa, dan setelah beberapa persoalan dapat disetujui dan dilengkapi dalil-dalilnya, kemudian mendaftar dan menyampaikan persoalan itu pada komisi fatwa, selanjutnya akan diumumkan dalam bentuk yang biasa. Dengan demikian para anggota komisi fatwa tidak perlu memperbincangkannya lagi karena persoalan tersebut sudah dirundingkan dalam sidang yang lebih besar. Konferensi Nasional para ulama tahun 1980 misalnya, mengemukakan persoalan operaso penggantian kelamin, pernikahan beda agama, dan gerakan Ahmadiyah.

Mengenai hasil fatwa yang lahir dibawah kepemimpinan Syukri Ghozali (1975-1981), komisi fatwa telah menghasilkan 15 fatwa, mengenai persoalan keagamaan, social, dan ilmiah. Di bawah kepemimpinan Ibrahim Hosen sejak 1981, komisi telah mengeluarkan lebih dari dua puluh fatwa dengan berbagai macam persoalan. Berikut adalah daftar disertai tanggal dikeluarkannya fatwa:
1. Fatwa tentang keabsahan melakukan sembahyang jum’at di atas kapal yang bergerak, 10 Februari 1976.
2. Fatwa mengenai sikap keteladanan para pengabdi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, 10 Februari 1976
3. Fatwa mengenai hidup sederhana, 10 Februari 1976
4. Fatwa tentang penyalah gunaan narkoba, 10 Februari 1976
5. Fatwa tentang penyeblihan hewan dengan mesin untuk makanan manusia, 18 Oktober 1976.
6. Fatwa tentang penulisan Al Qur’an dengan huruf selain hurug arab, 21 Juni 1977.
7. Fatwa tentang MPR yang akan diadakan tahun 1978, 16 Februari 1978.
8. Fatwa tentang pengertian istilah-istilah jama’ah, bai’ah, dan khalifah, 2 Agusutus 1978.
9. Fatwa tentang menelan obat (pil) oleh wanita untuk menghindari haid semasa menunaikan ibadah haji ke makkah dan selama bulan ramadhan, 12 Januari 1979.
10. Fatwa mengenai pengertian mampu untuk menunaikan ibadah haji, 2 februari 1979.
11. Fatwa engenai pemandulan, 13 Juni 1979
12. Fatwa tentang sumbangan kornea mata, 13 Juni 1979
13. Fatwa mengenai naskah bacaan do’a daf’ al bala’ (pencegahan bencana alam), 11 Juni 1979
14. Fatwa mengenai peredaran film judul The Massage (Firman), 23 Maret 1980
15. Fatwa tentang tempat-tempat untuk miqat bagi para jamaah Indonesia, 29 maret 1980.
16. Fatwa tentang kehadiran orang Islam dalam perayaan Natal, 3 Maret 1981.
17. Fatwa tentang tempat-tempat untuk miqat bagi para jamaah Indonesia, 19 September 1981.
18. Fatwa tentang menjatuhkan talak tiga sekaligus, Oktober 1981
19. Fatwa tentang kewajiban seorang janda dalam masa iddah, 16 Desember 1981
20. Fatwa mengenai mabit di Muzdalifah selama masa ibadah haji di Makkah, 29 Desrnber 1981.
21. Fatwa mengenai Mabit di Mina selama ibadah haji, 29 Desember 1981.
22. Fatwa tentang pemberian zakat dari gaji dan upah, 26 Januari 1982.
23. Fatwa tentang penggunaan zakan bagi tujuan-tujuan produktif, 2 Februaru 1982
24. Fatwa tentang penyakit lepra, 12 April 1982
25. Fatwa mengenai kunjungan ke panti-panti pijat, 19 Juli 1982
26. Fatwa tentang kehalalan memakan daging kelinci, 2 Maret 1983
27. Fatwa mengenai penggunan qiraat sab’ah dalam membaca Al Qur’an, 2 Maret 1983
28. Fatwa dibolehkannya sembahyang dalam gedung yang lebih tinggi satu tingkat, dimana ma’mum berada di tingkat lain dari imam, 27 Juni 1983.
29. Fatwa mengenai golongan-golongan yang menolak penggunaan sunnah (ingkar sunnah), 21 Juni 1983
30. Fatwa tentang penggunaa alat kontrasepsi dalam pelaksanaan keluarga berencana, 30 Oktober 1983.
31. Fatwa tentang penyisipan atau dimasukkannya ayat-ayat Al Qur’an dalam lagu-lagu pop, 3 Desember 1983
32. Fatwa tentang pengangkatan anak oleh warga Negara asing, 1984
33. Fatwa tentang penggunaan tanah warisan, 1984
34. Fatwa untuk tidak melakukan ibadah haji melebih dari satu kali, 1984
35. Fatwa tentang pencegahan terhadap pengaruh ajaran aliran Syi’ah di Indonesia, 1984
36. Fatwa tentang penyusupan gerakan Ahmadiyah ke Indonesia, 1984
37. Fatwa tentang peternakan katak dan memakan daging katak, 12 November 1984
38. Fatwa mengenai denda atastidak dijalankannya beberapa peraturan keagamaan sewaktu melakukan ibadah haji, 21 Maret 1987
39. Fatwa tentang pencangkokan katup jantung, 29 Juni 1987.

Metode Penetapan Fatwa
Pada awal perkembangan Islam, fatwa dikeluarkan oleh ahli fikih tanpa status resmi, sehingga tidak ada ketetapan prosedur yang baku. Tetapi dengan perkembangan aparat birokratis berbagai negara di dunia Islam, akhirnya sejumlah mufti diangkat sebagai pejabat negara. Hal ini sudah pernah terjadi pada masa kerajaan Utsmani. Di Indonesia, organisasi mufti tersebut dideklarasikan dengan nama Majelis Ulama Indonesia. Metode pembuatan fatwa Majelis Ulama Indonesia pertama kali dibuat pada 1975 dan tampak kemudian dalam himpunan fatwa MUI 1995 dan 1997. Secara umum, petunjuk prosedur penetapan fatwa MUI dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Dasar-dasar fatwa adalah:
1) Al-Quran
2) Sunnah (tradisi dan kebiasaan Nabi)
3) Ijma’ (kesepakatan pendapat para ulama)
4) Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi)
2. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan:
1) Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.
2) Pendapat para Imam Madzhab mengenai hukum Islam dan pendapat para
ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiran Al-
Quran.
3. Pembahasan yang merujuk ke atas adalah metode untuk menentukan penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi masyarakat Islam.
4. Ketika suatu permasalahan yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).
5. Sidang komisi fatwa harus dihadiri para anggota komisi fatwa yang telah diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.
6. Sidang komisi fatwa diselenggarakan ketika:
1) ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
2) Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah, lembaga-lembaga
sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.
7. Sesuai dengan aturan sidang komisi fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan dengan masalah tertentu harus diserahkan Ketua Komisi Fatwa kepada ketua MUI Nasional dan propinsi.
8. Pimpinan Pusat MUI nasional/propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu ke dalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.

M. Atho Mudzhar menyusun suatu tipologi umum dan menarik kesimpulan bahwa ada lima golongan fatwa sepanjang menyangkut reaksi masyarakat. Pertama, fatwa yang tersiar secara luas tetapi tidak menimbulkan pertentangan. Kedua, fatwa yang tidak mendapat penyebaran secara luas atau juga tidak memperoleh reaksi banyak dari masyarakat. Ketiga, fatwa yang cukup tersiar luas dan telah menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat Islam, sedangkan pemerintah tetap bersikap netral. Keempat, fatwa yang tersiar secara luas tetapi hanya menimbulkan sedikit pertentangan, sedangkan pemerintah menyambutnya dengan baik. Kelima, fatwa yang tersiar secara luas dan telah menimbulkan banyak pertentangan, sedangkan pemerintah tidak menyukai fatwa itu.
Maka pada tanggal 30 Januari 1986 sebuah buku pedoman terperinci untuk mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa, menurut urutan tingkatannya adalah: Al-Quran, Sunnah, ijma’, dan qiyas. Hal ini masih harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan fuqaha’ yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.

Dasar-dasar dan penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzari’ah.
3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.

Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.

Metode penetapan fatwa di atas, tidak seluruhnya sejalan dengan pemikiran atho’ Mudzhar. Secara teoritis, MUI mempunyai pedoman bahwa dasar pengeluaran suatu fatwa adalah setelah meneliti secara tuntas dasar-dasar atau argument-argumen dari Al Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, dengan urutan seperti itu. Namun pada kenyataannya aturan tersebut tidak dilakukan secara konsisten. Ada fatwa yang lansung saja melihat hadis tanpa meninjau argument AL Qur’an terlebih dahulu. Ada juga yang lansung mengutip dari kitab fikih tanpa melihat tiga sumber sebelumnya. Bahkan ada pula fatwa yang tidak memberikan argument sama sekali.

Dalam tulisannya, Atuho’ Muzhar mengambil contoh flm The Massage yang dikeluarkan pada tanggal 23 Maret 1980. Fatwa tersebut menyebutkan Flm itu boleh diimpor dan diedarkan kepada public karena gambar Nabi Muhammad tidak diperlihatkan di dalamnya. Begitu juga dengan fatwa halal daging kelinci. MUI mengutip dari kitab Nayl al-Awthar karya Imam Syaukani, tanpa terlebih dahulu melihat keumuman beberapa ayat Al Qur’an tentang halalnya semua daging hewan yang baik untuk dimakan.

Kesimpulan
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh badan fatwa MUI menurut Atho’ Mudzhar sudah barang tentu tidak terlepas dari kondisi dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pengaruh itu Tidak hanya bersumber dari para mufti dan cendikiawan muslim yang lansung berinteraksi dengan nash yang akan difatwakan menjadi sebuah naskah, dan dijalankan sebagai sebuah anjuran atau nasihat yang tidak mengikat. Pengaruh social-budaya dan politik secara signifikan turut berpengaruh terhadap eksistensi fatwa. Artinya, secara tidak lansung fatwa harus sejalan dengan kondisi social masyarakat dan sejalan dengan pemerintah selaku pengatur dan pengambil kebijakan. Kecendrungan itu terlihat ketika MUI berperan aktif membantu beberapa program pemerintah, seperti fatwa peternakan kodok, KB, IUD, dan lain sebagainya. Walaupun begitu, secara umum fatwa disusun sedemikian rupa untuk mengatasi dan menjawab perkembangan zaman.
Secara metodologi, jelas bahwa fatwa bukanlah bersumber dari kaedah hokum Islam yang bersifat klasik. Fatwa tidak mengikuti pandangan siapapun secara menyuluruh, namun fatwa mempunyai pola tersendiri. Bagi beberapa fatwa, argument atau landasan utama yang dipakai tetaplah bersumber dari Al Qur’an dan hadis, dan beberapa diantaranya juga merujuk pada kitab-kitab fikih, hanya saja pola yang dipakai berbeda secara umum. Akan tetapi ada pula fatwa yang lansung diinterpretasikan melalui metode rasional, tanpa menggunakan nash/dalil sama sekali. Hal ini dikarenakanan secara teori MUI percaya sebuah fatwa dapat dikeluarkan ketika MUI telah mempelajari secara mendalam keempat sumber hokum Islam yaitu Al Qur’an, hadis, Qiyas, dan Ijma’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar