Senin, 23 Mei 2011

Teori Fikih Idealitas-Realitas

Pendahuluan
Fikih memang selalu menarik untuk dikaji. Posisinya yang penyusun anggap sebagai “anak kandung” dari hukum Islam sendiri mempunyai daya tarik yang sangat luar bisaa bagi akademisi dan praktisi hukum Islam. Hanya saja posisi fikih lebih sebagai produk dari hukum Islam, berupa jalan atau pengantar untuk melahirkan produk hukum yang yang telah melewati berbagai proses seperti pembacaan teks, penafsiran, ijma’, ataupun ijtihad dalam kerangka yang sangat komplek sekali. Bentuk heterogen tersebut bisa dilihat saat fuqaha sebagai pakar fikih, berinteraksi dengan teks yang kadangkala bersifat muhkam atau mutasyabih. Sudah barang tentu hal tersebut menimbulkan pergulatan yang sengit saat ketika seorang fuqaha menafsirkan nash dan mencoba menginterkoneksikannya antara teks dan konteks, das sein dan das sollen.
Tulisan yang sepenuhnya diperkaya oleh pemikiran fikih Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar ini, yang selanjutnya akan disebut Atho’ Mudzhar saja, mencoba mengetengahkan tiga pikiran dasar. Pertama, bahwa fikih adalah produk pemikiran manusia. Kedua, bahwa sikap sebagian umat Islam di dunia selama ini seringkali keliru dengan menganggap fikih sebagai hukum Tuhan sendiri dan bukan pemikiran manusia. Ketiga, Pemikiran hukum Islam yang seharusnya hanya mengacu pada wahyu itu dalam praktek selalu berada pada posisi tarik-menarik antara akal- dan wahyu, antara kesatuan dan keseragaman, idealisme dan realisme, stabilitas dan perubahan. Kritik itu penting untuk disadari secara bersama agar umat bisa benar-benar sadar bahwa fikih itu bukanlah semata-mata hukum Tuhan, melainkan produk hukum Islam yang diijtihadkan melalui fikih.
Berangkat dari itu, kesalahpahaman umat Islam Indonesia dalam memahami fikih perlu ditindak lanjuti. Tokoh agama dan Sarjana Muslim mempunyai tanggung jawab untuk meleruskan kekeliruan ini. Melalui tulisannya Atho’ Mudzhar penyusun mencoba mengkaji fikih ditengah problematika umat yang terkadang tidak relevan. Untuk melengkapi tulisan dalam sisi methodologis, penyusun juga menawarkan sebuah pendekatan sejarah yang tentunya juga berasal dari buah pemikiran mantan Rektor IAIN Sunan kalijaga saat itu.
Biografi
Prof. Dr. H. M. Atha’ Mudzhar dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1948 di Kota Serang Jawa Tengah. Tahun 1967, beliau melanjutkan studinya di IAIN Jakarta sebagai mahasiswa tugas belajar dari Departemen Agama, tamat tahun 1975. Tahun 1972-1975, ia mengajar di PGAN Cijantuk Jakarta Timur selama 4 tahun. Mulai akhir tahun 1975, ia pindah tugas ke Badan Litbang Departemen Jakarta Timur. Tahun 1977, selama 11 bulan ia mengikuti program latihan penelitian ilmu-ilmu sosial di Universitas Hasanudin Ujung Pandang. Tahun 1978, ia tugas belajar ke Australia untuk mengambil master of sosial and defelopment pada Universitas Of Queensland Brisbane, ia tamat pada tahun 1981. Pada tahun 1986, ia melanjutkan studinya di University Of California Los Angles di Amerika, dan pertengahan tahun 1990, ia menyelesaikan studinya dengan meraih gelar Doctor of Philosophy dan Islamic. Pada tahun 1991-1994, ia menjabat sebagai derektur pembinaan pendidikan agama Islam pada sekolah umum negeri Departemen Agama. Pada tahun 1994-1996, ia menjadi derektur pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama. Pada tahun 1996, ia menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia juga mengajar dibeberapa perguruan tinggi untuk program pasca sarjana, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Jakarta.
Kegelisahan Akademik
Islam didefinisikan oleh sebagian ulama adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Berdasarkan pada definisi Islam, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dari keda sumber itulah ajaran Islam diambil. Namun meski kita mempunyai sumber, ternyata dalam realitasnya ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan ulama dalam memahami dua sumber ajaran tersebut. Keterlibatan tersebut dalam bentuk Ijtihad yang akhirnya disebut fikih. Dengan Ijtihad maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci (mutasyabih), banyak yang diajarkan secara garis besar atau global.
Maka, tugas yang sangat berat ketika seorang akademisi mencoba mengisi kekosongan atas pemahaman umat terhadap Islam, wahyu, dan fikih. Sekaligus meyakinkan bahwa hukum Islam yang tidak ayalnya adalah fikih, suatu produk pikiran positivistic dari penafsiran dan pemahaman mufassir. Karena selama ini umat Islam khususnya di Indonesia memahami bahwasanya fikih adalah Hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan hukum Tuhan yang tidak mempunyai daya tawar. Akibatnya, fikih cendrung dianggap sebagai aturan yang murni berasal dari Tuhan. Dengan menggunakan paradigma seperti itu, melalui tulisannya Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar mengatakan, kitab-kitab fikih akan dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, karena hukum Tuhan masih dilihat sebagai hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah. Faktor dinamisasi tidak diperhitungkan dalam hal ini. Akibatnya kitab fikih tidak lagi dipandang sebagai produk keagamaan, tapi lebih sebagai buku agama itu sendiri.
Wahyu tetap dijadikan sebagai acuan hukum Islam (fikih) dan tidak ada kerancuan persepsi terhadap fiqh, hal ini menjadikan pemikiran hukum Islam berada diantara kekuatan akal dan wahyu yang saling tarik menarik dan akibatnya sulit dibedakan antara pengaruh sosio cultural dan politik terhadap hukum Islam. Akibatnya, produk hukum yang ditawarkanpun tidak semuanya mensejahterakan. Sebagai Muslim Indonesia, seharusnya bentuk fikih yang akan dijadikan syariat juga harus sejalan dengan konstruk sosial di masyarakat dan kebutuhan umat. Karena hukum idealnya mesti disesuaikan dengan kontek ruang-waktu, sosial-geografis, budaya-politik yang berkembang saat itu. Bukan justru menelan mentah-mentah setiap tawaran dalam kitab-kitab fikih klasik yang dilahirkan jauh semenjak ribuan tahun silam.
Tidak telepas hanya mengkaji fikih yang diidentikkan dengan agama sebagaimana di atas, fuqaha yang mempunyai kedudukan lebih tinggi sebagai tokoh masyarakat, juga harus dikritisi posisinya sebagai orang yang memahami produk pemikiran keagamaan. Karena jika dipandang dalam aspek sosiologis kedudukan fuqaha yang demikian itu memberikan privilege tersendiri bagi dirinya. Karena kedudukan sosial tersebut sangat berpengaruh besar terhadap cara pandang dan cara fikir fuqaha itu sendiri
Pemikiran Atho’ Mudzhar
Atho’ Mudzhar memperkenalkan jenis-jenis permikiran hukum Islam. Setidaknya terdapat empat jenis produk pemikiran hukum Islam yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum Islam, yaitu kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundang-undangan di negeri muslim, dan fatwa-fatwa ulama. Dimana masing-masing produk pemikiran hukum Islam itu mempunyai ciri khas tersendiri. Kelima produk pemikiran hokum Islam tersebut sebagai upaya untuk mereaktualisasikan hokum Islam, maka perlu diletakkan pada tempat yang proporsional. Proporsi itu sebagaimana yang dimaksud oleh N.J. Coulson, bahwa pemikiran hokum Islam hendaklah diletakkan dan dipahami sebagai produk pemikiran dan diposisikan dengan pasangan-pasangan tarik menarik sebagaimana yang akan dibahas berikut.
Dalam proses panjang menafsirkan teks hingga mewujudkannya dalam bentuk produk fikih, terdapat sejumlah pasangan pilihan yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang fikih, empat diantaranya akan diuraikan sebagai berikut:

Pilihan antara Wahyu dan Akal
Dalam sejarah pertumbuhan Hukum Islam, terdapat dua aliran besar dikalangan pendiri mazhab dalam hal porsi penggunaan akal dalam mencoba memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang Hukum. Kelompok pertama, kelompok yang mengutamakan penggunaan hadis dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an (ahlul hadis). Kelompok ini berkembang di Madinah yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas. Kedua, kelompok yang mengutamakan penggunaan akal (ahlul ra’yi). Kelompok ini berkembang di Kufah dan Baghdad yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah.
Kedua aliran ini telah mengasilkan kitab-kitab fikih yang berbeda dari sisi substansial. Kelompok pertama lebih memberikan tempat kepada hadis-hadis, berbeda dengan kelompok kedua yang lebih bersifat rasional. Imam Syafi’I sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua pemikiran ini, namun ia gagal karena Imam Syafi’i lebih memihak kepada kelompok pertama dalam fikihnya.
Berangkat dari pemahaman di atas, yang perlu ditekankan adalah bahwa fikih semenjak pertumbuhannya telah ada pihak-pihak yang berpendirian. Hukum Islam tidak boleh terintimidasi dan terkena intervensi akal manusia, karena Hukum Islam adalah kebenaran mutlak yang hanya di atur dengan wahyu. Oleh karena itu, kesalahan dalam melakukan pilihan yang tepat antara porsi peranan wahyu dan akal telah mempunyai dampak serius dalam sejarah perkembangan ketidak berkembangan fikih.

Pilihan antara Kesatuan dan Keragaman
Hukum Islam sebagai kesatuan artinya adalah semestinya hukum Islam itu hanya ada satu macam saja untuk seluruh umat manusia dunia. Hal ini disebabkan karena Hukum Islam bersumber dari Hukum Tuhan. Namun kenyatannya fikih yang lahir bermacam-macam.
Umat Islam dunia melegitimasi bahwa fikih mazhab yang ada sekarang resmi sebagai patokan dalam mengimplementasikan fikih. Bahkan dari empat mazhab besar itu melahirkan banyak golongan-golongan dalam Islam yang memecah pemikiran sesuai fikih mereka masing-masing. Padahal, jika kita berani untuk kembali kepada sejarah, akan kita dapati bahwa dahulunya empat mazhab fiqih sekarang lebih diekspresikan sebagai ekspresi local. Akhirnya perkembangan itu melahirkan Islam Universal dan Islam particular.
Sesungguhnya, kitab-kitab fikih yang kita pelajari sekarang adalah hasil ijtihad yang ditulis lima atau enam abad yang lalu dan merupakan ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Selain sudah tua, fikih yang kita hadapi sekarang adalah ekspresi masyarakat Timur tengah yang sampai saat ini masih menjadi rujukan. Artinya kitab-kitab fikih itu bersifat partikularistik, tapi justru kitab-kitab itu yang dipandang sebagai Hukum Islam Indonesia dan dipandang sebagai ekspresi universal masyarakat Indonesia. Artniya fikih yang ada saat ini dan selalu dipandang sebagai fikih universal telah berakibat mandeknya perkembangan fikih dewasa ini. Pemikiran Atho’ Muzhar ini sejalan dengan gagasan Syahrur bahwa risalah Islam adalah risalah Universal, bukan hanya bagi bangsa arab saja atau hanya berlaku pada abad ketujuh.

Pilihan antara Idealisme dan Realisme
Melalui penulusuran sejarah dapat kita ketahui, bahwa kitab-kitab fikih itu pada umumnya ditulis oleh para fuqaha, jurist, ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di Pengadilan Agama. Artinya fikih yang dirumuskan tidak melalui lembaga hukum yang mempunyai kapabilitas tentang itu sebagai praktisi lapangan. Sebagai akibatnya fikih yang dihasilkan lebih mengekspresikan hal-hal yang ideal daripada riil, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal yang maksimal faripada minimal.
Akibat lain atas pilihan idealisme daripada realisme terbut adalah bahwa semakin hari fikih semakin jauh dari kenyataan masyarakat. Hal itu terjadi pada saat fikih itu dituliskan, apalagi saat fikih itu menjadi ”remote” dari masyarakat yang mengamalkannya, baik dari segi waktu maupun tempat.

Pilihan antara Stabilitas dan Perubahan
Isi dalam poin ini merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya. Poin yang menyatakan bahwa hukum Islam harusnya satu, maka dari segi konseptual hukum Islam tidak menerima variasi. Dari dimensi waktu, ini berarti bahwa hukum Islam itu harus stabil, statis dan tidak boleh mengalami perubahan. Sebagai akibatnya kitab-kitab fikih menjadi beku, menjadi resisten tyerhadap perubahan.

Melalui uraian di atas, dapat kita pahami bahwa kemandekan fikih selama ini disebabkan karena kekeliruan dalam menetapkan pilihan dari pasangan pilihan-pilihan di atas. Fikih telah dipandang sebagai sesuatu yang identik dengan wahyu, ketimbang sebagai produk manusia dan produk sejarah. Jika ingin mengaktualisasikan perubahan dan dinamisasi dalam fikih, maka kita hurus membalik pilihan-pilihan tersebut di atas. Kita harus memandang bahwa fikih adalah produk dominant akal bukan wahyu. Oleh karena itu fikih dapat diutak-atik, diubah atau dibuang pada setiap saat untuk diganti dengan yang baru. Selain itu fikih harus dilihat sebagai variasi keberagaman yang bersifat partikulariskik yang terkait dengan ruang dan waktu. Fikih juga harus dikembangkan dari yurispodensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Akan tetapi untuk melakukan perubahan-perubahan itu dibutuhkan beberapa syarat diantaranya:
a. Adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim.
b. Adanya keberanian I kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan tersebut di atas.
c. Memahami faktor-faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fikihiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran itu dengan sendirinya harus dirubah. Dengan demikian dinamika Hukum Islam dapat terus terjaga dan dikembangkan.
Methodologi Pendekatan
Konsentrasi Atho’ Mudzhar dalam mengkaji fikih secara mendalam, mengantarkannya pada sebuah pendekatan sejarah yang turut support terhadap kajian ini. Secara lebih spesifik Atho’ Mudzhar menawarkan “pendekatan sejarah Sosial dalam pemikiran hukum Islam”. Secara devinisi pendekatan ini dapat diartikan hasil interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Pendekatan ini bertugas menulusuri bukti-bukti sejarah. Oleh karena itu sebenarnya pemikiran yang ditelurkan sangat tergantung dengan lingkungan tempat ia tinggal. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan menunjuk pada pendekatan sejarah, bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah hasil interaksi. Pentingnya menggunakan pendekatan ini dikarenakan:
a. Untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat yang seharusnya
b. Untuk memberikan tambahan keberanian kepada para pemikir hukum Islam sekarang agar tidak ragu-ragu melakukan suatu perubahan produk pemikiran hukum karena sejarah telah membuktikan, karena umat Islam di seluruh penjuru dunia telah lebih dahulu melakukannya tanpa sedikitpun keluar dari hukum Islam. Adapun metode yang digunakan dalam melakukan pembaharuan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini dalam poin berikutnya.
Pendekatan sejarah telah membuktikan bahwasanya lingkungan sangat berpotensi besar terhadap seorang pemikir Islam dalam menghasilkan karya fikih mereka. Sebut saja Imam syafi’i yang mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Pendapat lama terdengar saat Imam Syafi’i masih berada di Baghdad, sedangkan pendapat baru dikemukakan ketika ia telah pindah dan tinggal di Mesir. Perubahan-perubahan itu dikarenakan Imam Syafi’i menggunakan pendapat-pendapatnya yang sesuai dengan lingkungan sosial budaya barunya itu.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menjawab pertanyaan berikut, apakah Islam datang untuk memaksa manusia hidup selaras dengannya, ataukah ia datang untuk kepentingan manusia? Jika kedatangan Islam mengharuskan manusia untuk menyesuaikan diri dengannya, Islam adalah agama yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Akibatnya suatu saat manusia akan meninggalkannya. Tapi jika Islam datang untuk kepentingan manusia, dengan pengertian bahwa, Islam harus dapat dipahami seiring perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia, Islam akan selalu relevan di segala ruang dan waktu.
Methode Pembaharuan
Pembaruan hukum akan terasa penting dilkukan ketika hukum yang ada terasa tertinggal dari sektor-sektor kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan hukum tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, maka akan terjadi hambatan-hambatan dalam berbagai sektor, dan bahkan dapat menimbulkan kekacauan dengan memudarnya kaidah-kaidah lama sementara kaidah baru belum tersusun. Oleh karena itu dituntut adanya pembaruan (materi) hukum, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum.
Dalam sisi metode yang digunakan dalam melakukan pembaruan, Atho’ Mudzhar mengelompokkan menjadi empat kelompok besar, yaitu:
a. Metode talfiq, dengan menggabungkan dua mazhab pendapat atau lebihdalam fikih, baik itu diambil dari pandanga mazhab yang digabungkan ataupun dari pandangan pribadi tokoh. Berbeda dengan Amir Syarifuddin yang mengartikan talfiq sebagai upaya meramu beberapa pemikiran atau hasil ijtihad ulama terdahulu sehingga diperoleh satu bentuk hukum lain yang terlihat baru dan berbeda.
b. Metode takhayyur, yakni dengan memilih dan menyeleksi salah satu pandangan imam mazhab yang lebih sesuai dengan kebutuhan.
c. Metode Intra-Doctrinal Reform. Pembaruan melalui metode ini dilakukan dengan mengadopsi ketentuan hukum dari madzhab tertentu –bisa satu madzhab atau lebih– di luar madzhab yang secara umum diikuti oleh masyarakat. Metode ini dirasakan lebih fleksibel mengingat ketentuan hukum dalam madzhab tertentu belum pasti sesuai dengan kondisi sosial masyarakat tersebut. Metode ini serupa dengan metode talfîq.
d. Metode Extra-Doctrinal Reform, dalam pembaruan melalui metode ini para pembaru melakukan suatu ijtihad tanpa perlu terikat dengan pendapat-pendapat yuris Islam masa-masa sebelumnya. Pembaruan hukum Islam melalui metode ini merujuk kepada hasil interpretasi baru terhadap teks-teks keagamaan.
Sehubungan dengan penerapan hokum di Indonesia, hasil usaha pembaharuan dalam fikih telah banyak dituangkan dalam draf Undang-Undang hukum keluarga/UU no. 1 tahun 1974. Jika dibandingkan dengan konsep fikih klasik, tentunya fikih yang ada sekarang lebih menjamin kemaslahatan umat. Produk pembaruan tersebut diantaranya (1) pembatasan umur nikah bagi laki-laki dan perempuan, (2) Peranan wali nikah, (3) Pendaftaran dan Pencatatan perkawinan, (4) keuangan perkawinan, maskawin, dll, (5) Poligami dan hak-hak istri dalam poligami (6) Masalah nafkah istri dan keluarga serta rumah tinggal (7) Talak dan cerai di muka pengadilan (8) Hak-hak wanita yang dicerai suaminya (9) masa hamil dan akibat hukumnya (10) hak dan pertanggung jawaban anak setelah perceraian (11) Hak waris bagi anak laki-laki dan perempuan (12) Wasiat bagi ahli waris (13) Keabsahan dan pengelolaan wakaf.
Kesimpulan
Jelas ketika ketika penyusun melihat pemikiran Atho’ Mudzhar tentang fikih, saat Atho’ Mudzhar memandang empat macam produk pemikiran Hukum Islam (kitab-kitab fiqih, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di Negara Muslim) yang harus dipandang proporsional masing-masingnya. Diantara sikap-sikap proporsional tersebut adalah:
a. Bahwa fikih hanyalah salah satu dari beberapa bentuk hukum Islam.
b. Bahwa karena sifatnya sebagai produk pemikiran, produk pemikiran, maka fikih sebenarnya tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian.
c. bahwa membiarkan fikih sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lakunya adalah sama dengan mengekalkan produk pemikiran manusia semestinya temporal.
Kesalahan dalam melakukan pilihan antara wahyu dan akal, atau lebih tepatnya kesalahan dalam memberikan posisi peranan wahyu dan akal ternyata telah membawa kejumudan fiqh itu sendiri yang justru meliputi sebagian terbesar dari aturan hukum Islam yang ada. Satu kitab fiqh dapat ditulis dalam berpuluh-puluh jilid. Sementara wahyu yang mendasarinya hanya beberapa ratus ayat saja. Tentu saja selebihnya adalah produk penafsiran dan pemikiran manusia. Tapi karena hukum Islam dipandang identik dengan fiqh, maka kitab-kitab fiqh yang berpuluh-puluh jilid itupun menjadi tabu mendapatkan revisi. Jadi, kesalahan dalam melakukuan pilihan yang tepat antara porsi peranan wahyu dan akal telah mempunyai dampak yang serius dalam sejarah perkembangan hukum Islam.
Dalam kenyataanya faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai pemikiran hukum Islam. Perbedaan pemahaman antara hukum Islam dan fikih tidak akan terjadi ketika masyarakat dan Akademisi islam bisa berfikir lebih dinamis-inovatif. Sudah jelas, bahwasanya fikih adalah sebuah produk. Maka kerangka berfikirpun harus diselaraskan dengan problematika hukum Islam yang berkembang. Kongkritnya paradigma yang ditawarkan Atho’ Mudzhar mengenai realisme-idealisme dan perubahan-stabilitas memang patut untuk difahami lebih lanjut, agar layak dijalankan serta bisa memberikan kontribusi terhadap fikih dan menghilangkan kemandekan berfikir. Oleh karena itu, apa yang disebut hukum Islam itu dalam kenyataannya adalah produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi antara si pemikir dan lingkungan sosialnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar