Melewati Kebun Teh Solok
|
Mengiring jalan |
Masih seperempat perjalanan, saya sudah berada di Daerah
Wisata Kebun Teh Solok. Ini lokasi wisata yang juga banyak dikunjungi oleh
masyarakat local. Terang saja, ini lokasi yang sangat asri. Sejauh mata
memandang, penglihatan akan dimanjakan oleh hijaunya perkebunan yang
malereng.
Biasanya, sejumlah mobil atau kendaraan roda dua, menyediakan waktunya
untuk berhenti sebentar di bibir jalan. Istirahat untuk beberapa menit. Berfoto
atau ber-
selfi ria dapat dijadikan hiburan plus oleh-oleh digital untuk
di-
upload ke jejaring sosial.
|
Penikmat alam |
Selain pemandangan, lokasi wisata ini juga dilengkapi dengan
beberapa warung pinggir jalan. Tawaran makanannya ga banyak sih, sama lah
seperti ditempat-tempat kebanyakan. Mie instan, cemilan dan aneka minuman yang
biasanya menjadi primadona. Kemarin itu, kebetulan ada yang menjajakan dagangan
strawberry juga. Dikemas kecil dalam box mini. Tapi saya gay akin kalau itu
manis, biasanya sih asem.
|
Berpose |
Meskipun menawarkan keindahan perkebunan teh, tapi saya ga
menemukan satupun kedai atau lesehan yang menawarkan jasa minuman herbal
berupah teh. Tadinya saya berpikir, di lokasi tersebut akan banyak terdapat
ruang yang menyediakan minuman teh yang segar dan natural. Sama halnya ketika
main ke rumah Eka, pasti selalu dihidangi teh panas, kadang dicampur madu.
Padahal saya ga minta lho. Tau gitu, suruh si Eka aja bawa teh dari rumah.
|
Ambil posisi |
Bukan hanya kebun the, masih ada lagi. Selepas melewati
kebun teh, mata secara otomatis akan mengarah pada danau besar menghampar
sebelum memasuki Muaro Labuh. Tempatnya indah banget.
View nya jauh
berbeda dengan penampakan saat melewati danau maninjau atau danau singkarak
dari kejauhan. Meskipun tidak seluas danau maninjau, tapi pesona yang
ditawarkan tidak kalah jauh. Cekidot;
Situs Lokasi Wisata Saribu Rumah Gadang
Saya sampai di Muaro Labuh. Angka Km di dekat stir
menunjukkan angka 210. Artinya, jarak tempuh Buittinggi-Muaro Labuh saya
habiskan sejauh 210 Km dengan kecepatan rata-rata 80Km/Jam. Ini perjalanan yang
cukup jauh. Lebih jauh dibanding yang saya perkirakan di awal. Apalagi, saya
memasuki Nagari Muaro Labuh saat adzan magrib berkumandang. Kira-kira pukul
18.30 WIB. Saya pangkas 45 menit untuk waktu yang dihabiskan saat berhenti di
jalan.
|
Penginapan, pelepas penat |
Hari semakin gelap. Rasanya tidak mungkin untuk terus
melanjutkan perjalanan. Jalan yang mau ditempuh pun sudah ga tau lagi mau
diarahkan kemana. Ini sudah di jantung nagari Muaro Labuh. Kalau mau perjalanan
berjalan lancar dan menyenangkan, saya kira harus mencari masyarakat local yang
bisa menemani untuk penunjuk jalan. Sebab tak satupun dari teman-teman KPK yang
pernah melangkahkan kakinya jauh ke nagari ini. Jadi, kita main aman saja.
Pucuak dicinto bulan pun tibo. Kita dapat teman,
namanya juga Romi. Si Romi ini teman dari si Romi. Dia berprofesi sebagai
Satpam di PLN Muaro Labuh. Berkat Romi, perjalanan agak terasa lebih mudah.
Romi menyarankan, agar perjalanan ke lokasi wisata dilanjutkan besok pagi saja.
Ya, mau gimana lagi, perjalanan ga bisa dipaksakan. Pulang ke Bukittinggi pun
juga tidak bisa diteruskan. Ngapain juga pulang, ini juga baru datang.
Terpaksa, saya harus memperpanjang satu hari lagi untuk menikmati sentuhan
Nagari Muaro Labuh. Sudah malam, semuanya juga sudah pada letih. Kita butuh
tempat istirahat, kita butuh penginapan.
|
Gerbang depan |
Ini sudah pagi. Matahari sudah menganga. Tidur pulas atau
tidak, itu ga menjadi masalah. Hari ini yang paling penting adalah menuju
lokasi wisata. Baru jam 08.00 WIB saya sudah berada di Lokasi Wisata Saribu
Rumah Gadang. Ini dia yang saya nantikan. Lokasi yang dari kemarin saya
tunggu-tunggu. Tampak luar, lokasi ini cukup menjajnjikan. Sebelum memasuki
titik pusat wisata, saya disuguhkan dengan
icon bertuliskan KAWASAN
SARIBU RUMAH GADANG, cekidot;
Lokasi wisata ini terletak
di jantung nagari Muaro Labuh. Untuk bisa menikmati situs wisata ini,
saya cukup masuk dengan senyum lebar yang menggantung. Tidak ada karcis atau
biaya parker yang harus ditanggung. Semuanya dijajakan gratis. Cukup mencari
tempat parkir saja lalu silahkan berjalan menyusuri dan melihat rumah gadang
yang berjejer.
|
Melangkah masuk |
Asal tau saja, situs wisata ini bukan seperti situs wisata
kebanyakan. Ini hampir semisal kampung wisata yang ada di Makassar atau di
Bali. Yang terlihat hanya bentuk dari ragam Rumah Adat atau Rumah Gadang
Minangkabau. Hampir di setiap sudut, berdiri rumah gadang yang terlihat kokoh
dan masih alami, meskipun ada diantaranya yang sudah tersentuh renovasi dan
modernisasi. Dikarenakan banyaknya rumah gadang di tempat ini, maka tempat ini
dikenal dengan kawasan saribu rumah gadang. Padahal jumlahnya ga nyampe seribu
kok. Seratus juga ga nyampe. Cuma sejarahnya saja yang membuat tempat ini terkenal.
Usut punya usut, lokasi ini sering dijadikan tempat syuting film nasional. Salah
satunya film “Di bawah Lindungan Ka’bah”. Itu lho film yang dibintangi artis
Claudia Chyntia Bella.
|
Kebersamaan Paralu Kawan (KPK) |
Menurut cerita masyarakat sekitar, bukan hanya film Di bawah
Lindungan Ka’bah saja yang pernah syuting disini. Film lainnya juga banyak.
Film
indie lebih banyak lagi. Biasanya, menurut masyarakat setempat,
rumah gadang mereka akan disewa guna sebagai penginapan wisatawan. Jadi ga
heran kenapa disetiap sudut disini, rumah gadangnya banyak yang direnovasi agar
terlihat lebih menarik. Warnanya pun tidak lagi seperti rumah gadang
kebanyakan. Coba deh perhatikan. Masih kata penduduk setempat, bentuk arsitek
rumah gadang dan gonjongnya itu disesuaikan dengan suku orang yang tinggal di
dalamnya. Jadi wajar aja, kalau disana bentuk artsitek rumah gadangnya berbeda
antara satu dan yang lain.
|
Alhamdulillah, terimakasih |
Kelemahannya, situs wisata ini belum terkelola dengan baik.
Dari keseluruhan penilaian saya biasa saja. Harusnya, warga setempat yang
menghuni rumah gadang, dapat berfikir kreatif untuk memajukan nagari mereka.
Tidak ada fasilitas mumpuni yang dibangun. Bahkan ketersediaan kamar mandi pun
tidak ada. Penunjuk jalan, petunjuk sejarah dan sebagainya nyaris tidak ada.
Semuanya hanya menggumpal begitu saja. Padahal kalau mau diberdayakan, lokasi
ini memiliki potensi yang luar biasa. Tapi sayangnya, potensi tersebut tidak
terbaca oleh msyarakat setempat. Lebih parah lagi, mereka yang tinggal dan
hidup disana, tidak pernah tau kalau lokasi yang mereka tempati merupakan objek
wisata nasional yang sudah mendapat tempat di hati pencinta
traveler. Selesai. (..)
Kalau naik kendaraan umum gimana da?
BalasHapusSaribu rumah gadang???? Lebae bana mah
BalasHapus