Ini bukan rute pertama yang saya (baca: kita) lalui. Jauh
sejak tahun-tahun sebelumnya, saya menggelinding ke beberapa kawasan wisata
daerah secara berkala. Merealisasikan minat, memanjakan mata atau
sekedar mencari kambing hitam untuk menghempas lelah.
Penampakan icon wisata sebelum pintu masuk |
Untuk sekian kalinya dalam blog ini, saya kembali menegaskan
bahwa, rute ini saya lalui bersama komunitas “Kebersamaan Paralu Kawan (KPK)Bukittinggi”. Sebuah komunitas badunsanak yang sudah ada sejak 12
tahun lalu, kurang lebih begitu. Anggotanya tidak banyak, hanya terdiri dari
beberapa orang saja. Kalau saya hitung-hitung sepuluh orang itu sudah paling
banyak. Tapi jangan salah, meskipun tidak sebanyak personil boy-band
korea atau segagah aktor manusia harimau, KPK Bukittinggi memiliki anggota yang
loyal dan bisa diandalkan.
Panorama alam, beriklim dingin |
Disebabkan kondisi yang demikian, dua atau tiga orang di
dalam komunitas hanya bisa ditemui dua hingga lima kali dalam setahun. Itupun kalau
lagi pulang kampung, saat membeli belanjaan untuk keperluan usaha di daerah-daerah
yang dibeli di Pasar Grosir Aur. Meskipun begitu, sesekalinya pulang, biasanya
kita celebrate with party kecil-kecilan. Nah, dalam hal ini, celebrate
atau perayaannya kita putuskan untuk berangkat menuju Lokasi Wisata Saribu
Rumah Gadang, tepatnya berada di jantung Nagari Muaro Labuh, Sumatera Barat.
Dari sebelah kiri; Lyan, Adi, Rama, Romi, Eka dan Ali |
Momentnya pun pas banget, hari Senin 8 Juni 2015 atau 3 hari
sebelum memasuki bulan ramadhan. Serentak dengan agenda masyarakat yang hendak pai
balimau. Saya pikir, pilihan untuk berangkat hari senin sudah sangat
kondusif. Hari senin masih hari kerja, ga bakal rame atau terlalu sesak di
lokasi wisata. Apalagi, pada hari senin tersebut belum tergolong hari libur,
hari besar atau tanggal merah. Bagi anggota komunitas yang pada hari itu
bekerja, tentunya sudah mengantongi izin terlebih dahulu. Jadi sudah pasti
aman. Tapi sayangnya ini tidak berlaku bagi konco saya yang bagarak di
toko emas, Sadi Namanya. Katanya sih, ga mendapatkan izin dari juragannya. Ya
sudah, ditinggal saja, yuk berangkat…!!
Mencumbu angin |
Bukittinggi-Muaro Labuh
Taksiran saya, jarak tempuh Bukittingi-Muaro Labuh via Solok
hanya berjarak 150km dengan waktu empat jam berkecepatan 80km/jam menggunakan
Kijang Grand. Karena pertimbangan itu, berangkat agak siangpun ga jadi masalah.
Sebab, saya patok sampai disana sudah agak sore dan perjalanan pulang ke
Bukittinggi bisa dilakukan pada malam hari.
Terhampar |
Untuk menghantam macet, stir saya putar balik via Sungai
Buluah yang sangat terkenal sebagai jalan pintas penghalau macet. Oya,
sebenarnya yang putar stir bukan saya, saya sih belum bisa. Romi dan Adi yang
biasa nge-drive. Saya sama yang lain bertugas untuk duduk manis aja,
sambil maota atau ngobrol ngalor-ngidul. Kembali pada kontek
pembicaraan, jalan pintas sungai buluah yang saya kira dapat menjadi pemintas,
rupanya tidak membuahkan hasil. Untung saja, Rama, mengusulkan untuk memutar
stir melalui nagari Sariak, itu tembusnya ke Batu Palano sebelum Pasar Koto
Baru.
Bukan air laut |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar