Selasa, 28 April 2015

Menuju Lokasi Wisata Saribu Rumah Gadang (1)

Ini bukan rute pertama yang saya (baca: kita) lalui. Jauh sejak tahun-tahun sebelumnya, saya menggelinding ke beberapa kawasan wisata daerah secara berkala. Merealisasikan minat, memanjakan mata atau sekedar mencari kambing hitam untuk menghempas lelah.

Penampakan icon wisata sebelum pintu masuk
Untuk sekian kalinya dalam blog ini, saya kembali menegaskan bahwa, rute ini saya lalui bersama komunitas Kebersamaan Paralu Kawan (KPK)Bukittinggi”. Sebuah komunitas badunsanak yang sudah ada sejak 12 tahun lalu, kurang lebih begitu. Anggotanya tidak banyak, hanya terdiri dari beberapa orang saja. Kalau saya hitung-hitung sepuluh orang itu sudah paling banyak. Tapi jangan salah, meskipun tidak sebanyak personil boy-band korea atau segagah aktor manusia harimau, KPK Bukittinggi memiliki anggota yang loyal dan bisa diandalkan.

Panorama alam, beriklim dingin
Buktinya, dengan usia yang sudah mencapai anak usia akil baligh, nyaris tidak satupun anggota komunitas yang berkurang, apalagi menghilang. Paling mentok, jarang basobok (ketemu). Biasalah, kebanyakan dari kita adalah lajang, atau single fighter bahasa minangnya. Doain aja, tahun depan semuanya sudah ada yang ngurusin, Amin.

Disebabkan kondisi yang demikian, dua atau tiga orang di dalam komunitas hanya bisa ditemui dua hingga lima kali dalam setahun. Itupun kalau lagi pulang kampung, saat membeli belanjaan untuk keperluan usaha di daerah-daerah yang dibeli di Pasar Grosir Aur. Meskipun begitu, sesekalinya pulang, biasanya kita celebrate with party kecil-kecilan. Nah, dalam hal ini, celebrate atau perayaannya kita putuskan untuk berangkat menuju Lokasi Wisata Saribu Rumah Gadang, tepatnya berada di jantung Nagari Muaro Labuh, Sumatera Barat.

Dari sebelah kiri; Lyan, Adi, Rama, Romi, Eka dan Ali
Momentnya pun pas banget, hari Senin 8 Juni 2015 atau 3 hari sebelum memasuki bulan ramadhan. Serentak dengan agenda masyarakat yang hendak pai balimau. Saya pikir, pilihan untuk berangkat hari senin sudah sangat kondusif. Hari senin masih hari kerja, ga bakal rame atau terlalu sesak di lokasi wisata. Apalagi, pada hari senin tersebut belum tergolong hari libur, hari besar atau tanggal merah. Bagi anggota komunitas yang pada hari itu bekerja, tentunya sudah mengantongi izin terlebih dahulu. Jadi sudah pasti aman. Tapi sayangnya ini tidak berlaku bagi konco saya yang bagarak di toko emas, Sadi Namanya. Katanya sih, ga mendapatkan izin dari juragannya. Ya sudah, ditinggal saja, yuk berangkat…!!

Mencumbu angin
Awalnya sih, kita mau berangkat lebih pagi, beranggotakan delapan atau sembilan orangan. Setelah dikontak sekian kali, yang konfirmasi baru enam orang saja. Ada sih sebenarnya yang juga sudah kontak, tapi orangnya ribet banget. Pake minta jemput. Kalau berangkatnya masih pagi dijemputpun ga masalah. Cuma hari sudah menunjukkan jam 10.35, lebih lagi arus keluar Kota Bukittinggi ternyata sudah padat merayap. Mau atau tidak, perjalanan harus dilanjutkan dengan kapasitas angoota sebanyak enam orang saja.

Bukittinggi-Muaro Labuh
Taksiran saya, jarak tempuh Bukittingi-Muaro Labuh via Solok hanya berjarak 150km dengan waktu empat jam berkecepatan 80km/jam menggunakan Kijang Grand. Karena pertimbangan itu, berangkat agak siangpun ga jadi masalah. Sebab, saya patok sampai disana sudah agak sore dan perjalanan pulang ke Bukittinggi bisa dilakukan pada malam hari.

Terhampar
Ternyata tidak sesederhana itu. Semuanya diluar perkiraan. Waktu tempuh yang diperkirakan empat jam, jauh ngaret melebihi perencanaan. Baru berjalan keluar dari Bukittinggi via Padang Luar, jalanan sudah padat merayap. Padahal itu bukan pakan atau hari pasar. Kata orang, jalan Padang Lua memang macet tiap hari. Saya pun juga tau. Tapi ga tau kalau macetnya jauh melebih hari-hari biasa.

Untuk menghantam macet, stir saya putar balik via Sungai Buluah yang sangat terkenal sebagai jalan pintas penghalau macet. Oya, sebenarnya yang putar stir bukan saya, saya sih belum bisa. Romi dan Adi yang biasa nge-drive. Saya sama yang lain bertugas untuk duduk manis aja, sambil maota atau ngobrol ngalor-ngidul. Kembali pada kontek pembicaraan, jalan pintas sungai buluah yang saya kira dapat menjadi pemintas, rupanya tidak membuahkan hasil. Untung saja, Rama, mengusulkan untuk memutar stir melalui nagari Sariak, itu tembusnya ke Batu Palano sebelum Pasar Koto Baru.

Bukan air laut
Tidak jauh berbeda, setengah kilometer sebelum persimpangan Batu Palano saya lagi-lagi terhadang macet. Macet yang luar biasa. Agar bisa menerobos Pasar Koto Baru saja, saya harus mendekam dan bersabar selama dua jam. Hebat bukan. Sementara hari sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB siang. Tanpa basa-basi lagi, selepas melewati kerumunan mobil yang mengantri, gas pun ditancap menuju TKP via Solok. Sejauh ini, perjalanan berlansung lancar, bahkan sangat lancar. Dalam perjalanan, saya melewati Danau Singkarak  bersamaan saat matahari bersinar terik. Baru pada pukul dua siang, saya memasuki Kota Solok dan memilih beristirahat di Pertamina, Shalat dan kemudian makan. Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar