Jumat, 03 April 2015

Lampu Hijau Jilbab Polwan

Diterbitkan oleh Padang Ekspres
Tanggal 28 Maret 2015
Oleh: Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Bukittinggi

Sorotan mengenai aturan berjilbab bagi polisi wanita (Polwan) kembali bergulir. Setelah gencar diberitakan semenjak tahun lalu, ketika diangkatnya wacana jilbab sebagai bentuk kelengkapan seragam bekerja, pemberitaan mengenai jilbab Polwan saat ini kembali diketengahkan. Bedanya, kali ini bukan lagi terkait rancangan ataupun pembicaraan anggaran jilbab Polwan, melainkan ketuk palu tentang pengesahan yang mengizinkan Polwan untuk mengenakan jilbab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan ini ditandai dengan penanda tanganan peraturan Kapolri yang tertuang dalam surat keputusan Nomor KEP/245/III/2015 yang merupakan perubahan atas surat keputusan Nomor SKEP/702/IX/2005 sebelumnya tentang aturan penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri (Kompas, 25/3).

Bagi Polwan yang beragama Islam, kabar ini tentunya menjadi kado istimewa, agar dalam bertugas nanti Polwan sudah bisa mengenakan Jilbab sebagai atribut dan cerminan pakaian muslimah. Kebijakan ini sekaligus menjadi titik terang dari penantian yang tergolong lama. Sebab, ketika polemik tersebut dibahas dalam salah satu rapat kerja Wakapolri beserta jajarannya dengan Komisi III DPR tahun silam, angin segar sempat berhembus ke tubuh Polwan. Izin yang semula membolehkan Polwan untuk menggunakan jilbab, rupanya ditarik kembali mengingat belum terwujudnya payung hukum secara legal-formal.

Meskipun terkesan lamban, realisasi dari aturan baru ini patut di apresiasi oleh seluruh kalangan, terutama bagi Polwan yang sudah memutuskan untuk mengenakan jilbab. Artinya, kepercayaan yang diberikan Polri kepada Polwan harus diiringi dengan sikap berupa peningkatan kerja. Tentu saja ini menjadi moment bagi Polwan untuk membuktikan bahwa pakaian tidaklah menjadi hambatan dan keterbatasan dalam menjalani aktifitas.

Kebutuhan Primer
Pelbagai referensi keagamaan menunjukkan bahwa alat penutup kepala –yang familiar saat ini—sudah terlebih dahulu dikenal dengan nama dan fungsi yang beragam. Baik Nasrani (redid/zammah), Yahudi (tiferet) maupun Islam (jalaba/libas) pernah atau telah terlebih dahulu menggunakan penutup kepala tersebut dengan cara, bentuk dan fungsi yang beragam (Nasaruddin Umar, 2002). Disetiap zaman, daerah dan qabilah penggunaan tutup kepala ini juga dilatar belakangi oleh sejarah, filosofi serta keadaan geografisnya masing-masing. Artinya, persoalan mengenai jilbab sudah berlansung lama seiring perkembangan sejarah manusia. Hal ini terkait substansinya sebagai pakaian penutup badan (baca: kepala) dengan memperhatikan etika dan tanggung jawab (personal dan sosial) yang mengitarinya.

Lebih dari itu, saat Adam dan Hawa diturunkan ke bumi karena melanggar perintah Tuhan, persoalan utama yang segera disikapi adalah perintah untuk menutup aurat. Sejatinya, ide dasar pakaian yang dimaksud saat itu adalah seruan menutup aurat. Namun karena godaan setan, aurat manusia jadi terbuka. Untuk menutupinya digunakanlah kain penutup badan yang lazim disebut pakaian. Jadi sangat rasional apabila argumen ini bertujuan untuk mengembalikan aurat pada ide dasarnya, yaitu untuk ditutup, bukan untuk dibuka apalagi dipamerkan.

Dalam pandangan Islam, selang saat diserukan perintah dan ketentuan untuk menutup aurat, manusia berkewajiban untuk tunduk dan patuh atas apa yang telah diperintahkan. Dalam makna umum, perintah menggunakan jilbab ditujukan untuk menutupi kepala. Namun secara khusus, wajah dan telapak tangan menjadi pengecualian yang harus ditutupi. Hal ini disebabkan pemahaman jilbab dalam bahasa arab memiliki makna yang kompleks. Meskipun begitu, seruan menggunakan jilbab selalu memiliki tujuan sosial yang relevan dengan konteks kekinian.

Jika dikaji lebih teliti, selain menghadirkan tujuan personal bagi yang menggunakan, secara implisit tersimpan tujuan sosial berupa perlindungan, yaitu perlindungan tersirat dan tersurat. Perlindungan tersirat dimaksudkan sebagai suatu ketundukan atas sebuah perintah yang menghendaki terwujudnya kemaslahatan dalam diri manusia. Sederhananya, jilbab disebut juga sebagai identitas sosial, yang secara simbolik membedakan antara perempuan muslim dengan perempuan non muslim. Sedangkan tersurat, lebih dimaksudkan sebagai pakaian luar yang menutupi badan seperti jilbab atau seragam resmi yang berfungsi untuk melindungi tubuh. Pemahaman ini tentu saja tidak bersifat tunggal, sebab tujuan sosial tersebut dapat terintegrasi secara heterogen.

Bagi masyarakat modern, jilbab sudah berformulasi sebagai kebutuhan primer, bahkan berfungsi sebagai penghias bagi perempuan muslim. Aturan penggunanaan jilbab tidak lagi sebatas perintah dan aturan agama, namun telah terinternalisasi dalam diri. Pengenaannya di ruang publik sudah menjadi hal yang sangat lazim dan cendrung diminati oleh semua umur, bahkan menjadi atribut resmi dalam beberapa birokrasi, salah satunya di lembaga Polri saat ini.

Internalisasi di atas adalah wujud dari keyakinan yang kemudian bermanifestasi dalam pola kehidupan sosial.  Penggunaan jilbab tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan pribadi, melainkan beranjak pada kebutuhan sosial yang berjejer dalam lingkup birokrasi dan pemerintahan. Karena itu, pengguna jilbab dan seragam pendukung lainnya dapat dikatakan “satu paket” yang sulit dipisahkan dalam lingkungan sosial. Di dalamnya terdapat semangat egalitarianisme dan humanisme. Hal ini dipicu dari semangat hubungan vertikal yang terjadi antara manusia dengan Tuhan, serta hubungan horizontal antara sesama manusia terkait tuntutan dan prilaku dalam kehidupan sosialnya.

Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Diperkuat oleh Pasal 28E ayat (2)   menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalamPasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Secara esensial, amanat konstitusi tersebut sangat kental dengan pesan keadilan dan kemanusiaan. Meskipun tidak menggunakan jubah agama untuk melegitimasi dan melakukan pembenaran, pesan-pesan tersebut harus senantiasa ditumbuh kembangkan dalam pemikiran dan tindakan manusia.

Berangkat dari asumsi di atas, penggunaan jilbab merupakan bagian dari hak dasar yang melekat dan dilmiliki perempuan (baca: Polwan). Realisasi pemakaian jilbab bagi Polwan tetap harus mendapat dorongan dan pengawalan, mengingat kebijakan ini masih tergolong baru dalam skala nasional. Meskipun Aceh sudah memulainya terlebih dahulu, tetap saja peluang terjadinya gesekan tetap ada. Konsekuensinya, penyematan  hak yang disandang harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan. Usaha ini sangat memungkinkan terwujudnya kesadaran kritis menuju transformasi sosial bagi segenap jajaran Polwan. Secara tidak lansung, tranformasi ini akan menghadirkan mental dan pola pikir yang baik secara sistemik bagi Polwan dengan citra yang menghiasi kepalanya (..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar