Rabu, 21 Desember 2011

Paradoks Suami Sebagai Pengurus Rumah Tangga


Penulis berangkat dari pandangan ilmu sosial, bahwasanya suami-isteri yang ikut terlibat berperan dalam urusan rumah tangga akan lebih mampu mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam urusan rumah tangga. Kebersamaan tersebut akan berpengaruh pada keharmonisan hidup keluarga dan anak dalam instusi kecil yang bernama rumah tangga.

Keterlibatan suami dalam kegiatan rumah tangga terutama dalam pengasuhan anak seperti merawat dan mendidik anak, membersihkan dan merawat rumah, menyiapkan makanan, belanja, mencuci dan menyetrika, menyiapkan keperluan pribadi dan lain sebagainya sangat diharapkan. Dengan ayah dan ibu yang sama-sama mengambil bagian dalam mengasuh anak, kaum ayah merasa lebih baik dan terbuka dengan anak-anaknya, sehingga anak-anak tumbuh dengan kemampuan diri yang lebih tinggi serta keyakinan diri yang lebih besar, cenderung lebih matang dan dapat bergaul, serta mampu menghadapi berbagai masalah. Perkembangan kemampuan berbahasa pada anak-anak ini juga menjadi lebih tinggi dan dilaporkan bahwa anak-anak tersebut mendapat nilai pedagogis yang tinggi. Hal ini berkaitan erat dengan rangsangan-rangsangan yang diberikan ayah dalam membantu perkembangan kognitif anak

Partisipasi suami dalam kegiatan rumah tangga juga dapat meningkatkan rasa kebersamaan terutama pada keluarga muda yang mempunyai karir ganda. Kehidupan keluarga muda karir ganda ini menimbulkan suatu pola hidup yang lebih kompleks dan membutuhkan keseimbangan, penyesuaian dan pengertian dari seluruh anggota keluarga agar tercapai suatu kehidupan perkawinan dan kehidupan keluarga yang memuaskan.

Pentingnya peranan suami dalam kegiatan rumah tangga akan membantu menyelamatkan isteri dari kelebihan peran (double burden) yaitu peran dalam keluarga dan peran dalam masyarakat, sehingga dengan demikian isteri merasa dihargai dan suasana keluarga akan lebih baik. Suami yang ikut terlibat dalam kegiatan rumah tangga, tentu akan sangat membantu peran istri. Apalagi jika isteri adalah seorang pekerja, ada nilai kemandirian yang harus diterima oleh suami dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Perkawinan merupakan bersatunya dua pihak atau dua posisi dalam kesederajatan, namun dalam mekanisme tugas berbeda-beda sesuai jenis kelamin, pembawaan, dan kemampuan masing-masing. Oleh karena itu jika ingin sukses dalam mengelola rumah tangga ikutilah perkembangan zaman.

Namun pada kenyataannya, dewasa ini masih banyak suami yang melimpahkan tugas-tugas rumah tangga hanya pada isteri. Tradisi mengajarkan bahwa perempuanlah yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Pria bertugas melakukan pekerjaan di luar seperti mencari nafkah, melindungi keluarga, memeriksa dan mengawasi ternak, dan sebagainya.

Kecendrungan tersebut dilatarbelakangi oleh revolusi industri membawa perubahan baik bagi laki-laki maupun perempuan, namun pada umumnya perempuan masih tetap mendapat bagian pekerjaan rumah tangga dalam porsi yang lebih besar. Sebelum terjadinya revolusi industri pada abad pertengahan, suami dan istri hidup berdampingan, karena segala pekerjaan saat itu dapat dilakukan dalam sektor domestik atau rumah tangga. Namun kehadiran industri merombak seluruh tatanan yang ada. Seluruh laki-laki dewasa direkrut dan dipekerjakan dalam sebuah industri dan dibayar untuk itu. Dan sebagiannya direkrut sebagai militer negara. Sementara perempuan tetap dirumah layaknya di hari-hari sebelumnya. Bedanya hanya suami bekerja dalam lingkungan industri, dan istri bekerja pada lingkungan rumah tangga. Mereka sama-sama bekerja. Namun sejalannya waktu, peran tersebut terkikis dengan pembedaan yang signifikan. Perempuan tidak lagi bekerja sebagai pencari nafkah bersama suami. Karena suami telah mendapat bayaran dari pihak industri dengan sistem upah/gaji. Selanjutnya kebiasaan tersebut menjadi tradisi dan mengkulture dalam budaya dan nilai-nilai yang ditanamkan pada anak cucu manusia.

Maka, tidak heran jika saat ini wajar ditemui berbagai pelabelan-pelabelan yang dikonstruksikan kepada suami bekerja (laki-laki) atau istri/ibu rumah tangga (perempuan). Suami yang dibesarkan untuk menjadi keras, tegar, jantan, maskulin, mandiri, kemungkinan akan mengalami konflik bila memberikan bantuan dalam tugas rumah tangga dan merawat anak, karena dianggap bahwa itu adalah tugas perempuan. Laki-laki dalam posisinya sebagai suami dan ayah merupakan figur sentral dalam keluarga. Kewibawaan, harga diri, dan status ayah atau suami harus dijaga oleh anggota keluarga karena atribut-atribut tersebut sangat menentukan status dan kedudukan keluarga dalam masyarakat.

Pandangan diatas kemudian melahirkan peran gender dan yang akhirnya akan membentuk suatu pengukuhan yang dapat menjadi suatu norma dalam masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa perempuan secara badaniah berbeda dengan laki-laki, misalnya perempuan melahirkan anak, suaranya lebih halus, buah dadanya lebih besar dan sebagainya. Karena keadaan fisik ini, perempuan berbeda secara psikologis dengan laki-laki, dimana perempuan lebih emosional, lebih pasif dan lebih submisif sedangkan laki-laki lebih rasional, lebih aktif dan lebih agresif. Pendapat yang ada dalam masyarakat mengenai peran gender tercermin dalam sikap orang tua dan orang dewasa lainnya yang muncul dalam lingkup rumah tangga. Anggapan mengenai peran gender ini senantiasa menjadi norma dan dipelihara dalam suatu masyarakat dalam membentuk pandangan yang bersifat normatif.

Sabtu pagi di Griya Apem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar