”Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Setiap orang berhak
atas kebebasan dan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.”
Kutipan ayat
dari Undang-Undang 1945 pasal 28E di atas, tentu tidak berangkat dari ruang
yang kosong. Tersirat pesan penting agar segera dipecahkan dan dikompromikan.
Melaui semangat toleransi, pesan Undang-Undang tersebut seyogyanya dapat
diwacanakan di masyarakat, guna meminimalisir kekerasan atas nama agama
yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi, serta berusaha meleburkan pemahaman
antar umat beragama secara toleran dan berkemanusiaan.
Menutup
jalan dialog dengan menjalankan kehidupan beragama secara eksklusif cendrung
melahirkan perbedaan. Respon yang berdasarkan kapasitas dan pengetahuan,
menunjukkan bahwa manusia bebas memilih keyakinan dan sikap keagamaan yang
kelak dimintai pertanggungjawaban. Dalam kajian lintas agama yang dilakukan
oleh banyak pemikir kontemporer dunia menunjukkan, bahwa semua agama yang berbeda
dan beragam sesungguhnya memiliki hubungan satu sama lain, keterkaitan, titik
temu bahkan kesatuan, karena berasal dari Tuhan yang Esa.
Oleh karena
itu, dalam kehidupan beragama, dialog adalah peluang bagi terwujudnya pemahaman
yang toleran serta ruang dalam menciptakan perdamaian. Dialog yang sejati akan
membawa harapan baru bagi manusia. Ketika orang menemui jalan buntu dan atau
tidak mempunyai harapan lagi, dialog membuka kemungkinan-kemungkinan baru.
Dengan dialog juga, memungkinkan warga membangun suatu masyarakat yang harmonis
berdasarkan nilai kebenaran, keadilan, kasih, dan kebebasan. Dialog membuka
ruang untuk memelihara dan mengembangkan relasi yang benar (right
relationship) antara pencipta, sesama, diri sendiri, dan alam-lingkungan.
Dalam Al
Qur’an sendiri telah ditegaskan, bahwa Nabi tidak diutus kecuali untuk
mengemban misi penyebaran kasih sayang universal. Kasih sayang Islam tidak
hanya dikhususkan untuk kaum Muslimin, namun juga dapat dirasakan oleh seluruh
makhluk di muka bumi. QS. Al Anbiya’ (21): 107.
Habis nyuci banyak ni, Griya Apem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar