Berkaitan dengan upaya untuk memperbaharui metode penemuan hukum yang terkesan sudah tidak memberikan sumbangsih penyelesaian masalah dalam studi Hukum Islam, ada dua model yang ditawarkan oleh Louay Safi dan Muhammad Anas az-Zarqa’ terkait dengan metode tersebut sebagaimana berikut:
1) Model Louay Safi
Safi dalam model penemuan hukumnya menitiberatkan pada kajian keislaman secara umum dari segi pemahaman tekstualis ala dia dan sosial. Dari keduanya Safi kemudian berusaha mengintegratifkan keduanya dengan berpegangan kesimpulan-kesimpulan yang sudah didapatkan. Untuk lebih jelasnya berikut model penyimpulan tekstual Safi untuk menemukan hukum-hukum dan konsep-konsep dari teks-teks al-Qur’an dan hadis:
a) Mengidentifikasi semua pernyataan tekstual yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.
b) Memahami dan melakukan penafsiran terhadap teks-teks yang terkait tersebut baik secara tahlili (satu persatu) maupun secara maudu’i (dalam hubungan satu sama lain). Pemahaman tersebut dilakukan dalam kerangka bahasa arab dan makna setiap pernyataan ditentukan dalam tiga konteks saling berkaitan, yaitu konteks tekstual, konteks diskursif dan konteks historis.
c) Melakukan eksplanasi terhadap teks-teks tersebut, yaitu menggali causalegis yang melandasi ketentuan atau tuntunan yang terdapat di dalam teks yang sedang dikaji. Tujuan langkah ini adalah untuk menemukan property atau atribut bersama yang dimiliki oleh sejumlah obyek yang memberi justifikasi penggunaan terma-terma yang sama sebagai referensi obyek-obyek tersebut.
d) Menyimpulkan hukum-hukum dan aturan-aturan, kemudian melakukan suatu proses abstraksi membangun suatu sistem dan prinsip-prinsip umum yang koheren dari aturan-aturan dan hukum-hukum yang disimpulkan itu.
Adapun prosedur analisis sosialnya juga terdiri atas empat langkah yang kurang lebih parallel dengan prosedur penyimpulan tekstual, yaitu:
a) Menganalisa tingkah laku individu-individu dalam fenomena sosial yang sedang dikaji untuk menemukan tiga faktor diterimanya, yaitu tujuan berupa sasaran-sasaran yang hendak diwujudkan oleh pelaku; motif berupa dorongan-dorongan psikologis pelaku untuk bertindak yang lahir baik dari suatu komitmen moral atau kepentingan-kepentingan; dan aturan berupa prosedur teknis yang tersedia dan yang harus diikuti oleh pelaku untuk mencapai tujuan tindakannya.
b) Mengklasifikasi berbagai modus dan tipe tindakan berdasarkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan komponennya.
c) Mengindentifikasi aturan-aturan umum yang menguasai interaksi berbagai kelompok yang diidentifikasi pada langkah pertama.
d) Mensistematikakan aturan-aturan umum yang disimpulkan dalam langkah sebelumnya untuk membentuk suatu system yang koheren dan konsisten.
Dari dua penyimpulan di atas, kemudian Safi mensistematikakan suatu pendekatan integrative yang prosedurnya sebagai berikut:
a) Menganalisis teks dan fenomena sampai pada kesimpulan yang berupa komponen-komponen dasar yaitu terdiri dari pernyataan dan perilaku.
b) Mengelompokkan pernyataan atau perilaku yang serupa di bawah satu kategori.
c) Mengidentifikasi yang sekiranya bisa menyatukan berbagai kategori.
d) Mengidentifikasi aturan umum (general rules) dan tujuan-tujuan yang mengendalikan interaksi atau interrelasi berbagai kategori.
e) Mensistematikan himpunan hukum (aturan) yang diperoleh melalui prosedur di atas.
2) Model az-Zarqa’
Tokoh yang memberikan kontribusi bagi metode pembaharuan khususnya pendekatan integratif adalah Muhammad Anas az-Zahra’. Dalam metodenya dia berusaha menemukan bagaimana sistem ekonomi yang berlandaskan syari’ah (al-Qur’an dan Hadis). Dia memisahkan pernyataan-pernyataan syariah dan ekonomi ke dalam dua kategori, yaitu pernyataan-pernyataan normative (preskriptif) dan pernyataan-pernyataan deskriptif (positif), kemudian mencari titik temu antara pernyataan Islam (wahyu) dan pernyataan ekonomi, dan mengganti pernyataan ekonomi yang tidak sesuai dengan pernyataan Islam (wahyu) sehingga dari proses tersebut secara keseluruhan ditemukan sintesis syari’ah dan ekonomi yang melahirkan ilmu ekonomi Islam.
Hasil akhir dari perpaduan ilmu ekonomi dengan agama Islam adalah terbentuknya ilmu ekonomi Islam, yang seharusnya terdiri dari pernyataan-pernyataan berikut:
1. Kelompok 3, yaitu pernyataan-pernyataan normative dan postulat-postulat Islam (dalam arti wahyu), dan di antara kandungan kelompok ini adalah ketentuan-ketentuan hukum dan kaidah-kaidah system ekonomi Islam (atau mazhab sebagaimana beberapa ahli lebih suka menamakannya).
2. Kelompok 4, yaitu kategori-kategori deskriptif Islam yang berkaitan dengan ekonomi;
3. Kelompok 6, yaitu kategori-kategori deskriptif ekonomi.
Az-Zarqa’ lebih memposisikan diri dengan berpendapat bahwa integrasi wahyu dan rakyu dalam ilmu hukum Islam bergerak dari titik yang berbeda, namun bertemu dengan upaya para pendukung tesis integrasi ini pada titik yang sama. Islamisasi pengetahuan melakukan integrasi wahyu ke dalam aktifitas keilmuan karena dimensi wahyu inilah dalam sistem pengetahuan sekarang yang sekuler telah disisihkan. Dalam ilmu hukum Islam gerakan integrasi terjadi sebaliknya, yaitu bagaimana mengintegrasikan rakyu (akal dan pengalaman empiris) ke dalam metodologi hukum Islam, karena dimensi empiris inilah yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Hukum Islam senyatanya harus dikembalikan kepada tradisi pembentukannya. Dengan berangkat dari metodologi dan berangkat dari pembenahannya maka akan memberikan hukum yang dihasilkan akan terkesan sebagai hukum yang memang in action bukan in book saja. Hukum yang berangkat dan menempatkan sebagai in action sebagai karakter maka penafsiran sosiologi terhadap ide-ide hukum menjadi penting. Kurang lebih penafsiran sosiologi itu menurut Roger Cotterrell meliputi tiga hal yaitu; pertama, hukum dilihat sebagai fenomena sosial dalam artian hukum merupakan bidang pengalaman yang harus difahami dari aspek hubungan sosial secara umum, baik antar individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Kedua, fenomena sosial harus difahami secara empiris melalui pengecekan sejarah sosialnya. Ketiga, harus difahami dengan sistematis, dari pemahaman yang khusus kepada pemahaman yang umum. Hal ini akan memberikan kejelasan tentang kekhasan perspektif dan kekayaan yang unik dalam konteks teoritis guna memberikan orientasi penafsiran yang beragam.
Hasil dari penafsiran tersebut tidak lain untuk memberikan keleluasaan bagi seseorang untuk memberikan solusi hukum secara lebih mengena. Hal ini tidak lain untuk meniadakan kesan kekakuan dalam memberikan solusi. Solusi hukum yang ditawarkan –sebagai bentuk pertimbangan moral- tidak terkesan dogmatis karena pilihan-pilihan perspektif yang ditawarkan mampu memberikan warna pilihan sesuai dengan prinsip agama Islam sebagai agama yang tidak menyulitkan pemeluknya. Jika az-Zarqa’ berupaya memberikan pengaruh keislaman kepada ilmu umum maka berbeda dengan yang ditawarkan oleh Nurchalish Madjid yaitu membedakan kebaikan yang normative dan kebaikan yang historis-operasional.