Oleh; Ashabul
Fadhli,
Dosen STAIN
Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis
Center Nurani Perempuan Padang.
Dimuat di harian Padang Ekspress.
Senin, 25 Maret 2012
Senin, 25 Maret 2012
Kebijakan affirmative action
seyogyanya dapat dijadikan sebagai pintu pandora bagi politikus perempuan
menjelang April 2014 nanti. Kiprah perempuan secara kualitas dan kuantitas
sangat menetukan terwujudnya kebijakan-kebijakan yang sensitive terhadap
hak-hak perempuan. Peluang ini tentu harus disikapi secara serius, melihat
keterlibatan dan partisipasi perempuan di kancah politik masih tergolong minim.
Lahirnya kebijakan yang menodorong keterwakilan
perempuan pada dasarnya merupakan titik balik atas menguatnya praktek
deskriminasi dan marginalisasi. Landasan dan upaya ini awalnya dimunculkan oleh
Presiden Amerika Serikat, Lyndon B. Johnson tahun 1965. Menurutnya, ide ini
lahir sebagai jawaban atas kegelisahan terhadap pelakuan deskriminatif yang
selalu diterima kelompok minoritas di sektor publik.
Sebagai solusi, Johnson menawarkan ide affirmative
action dengan mengharuskan para pemilik modal (kontraktor) untuk
melakukan management ulang terhadap perusahaan yang di jalankannya.
Keterpaduan antara tujuan dan pembagian kerja yang sama pun dilakukan. Tujuannnya
adalah untuk mencapai pemerataan dan peluang yang sama (Equal Employment
Opportunity), tanpa melihat perbedaan ras, warna kulit, agama dan jenis
kelamin. (Imam Feisal Abdul Rauf, 2007)
Dalam kacamata politik, affirmative
action kemudian lebih dikenal sebagai pemberian kuota. Di Indonesia, pemerintah
melalui regulasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008
tentang Pemilihan Umum telah mengatur tentang itu. Dalam pasal 53 disebutkan, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 memuat paling sedikit
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan”.
Pasal di atas secara implisit menghendaki agar
setiap seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
harus melibatkan perempuan dalam kepemimpinan. Usaha ekstra sangat menentukan tercapainya 30%
keterwakilan perempuan di parlemen. Teknisnya kemudian dilakukan secara demokratis
dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Regulasi ini
sekaligus menjadi inisiasi bagi setiap partai politik agar lebih serius melakukan
kaderisasi secara sistematis dan berkelanjutan.
Menentukan arah baru
Pasca tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998,
sekaligus mengawali progres keterwakilan perempuan di kancah politik Indonesia.
Ada sejarah penting yang mewarnai peta politik era itu. Demokrasi mendorong
terjadinya perombakan hingga perubahan total
dalam sistem politik dan strukstur negara. Peristiwa tersebut ternyata berdampak lansung pada kesempatan
perempuan untuk mengisi jabatan di pemerintahan.
Sejauh ini, terlihat bahwa pencapaian yang dilakukan
politikus perempuan dalam meangadvokasi kebijakan yang ramah terhadap perempuan
sangat terbilang positif. Lebih lagi, representasi perempuan di dalam politik
tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tercatat 103 calon
anggota legislative perempuan terpilih untuk DPR RI (18%). Sebanyak 321 di 33
DPRD Provinsi (16%). Sementara 1.857 perempuan terpilih sebagai anggota DPRD
(12%) di 458 kabupaten/kota. Indonesia juga telah mencapai kesetaraan gender
dalam setiap tingkat pendidikan (The World Bank Report, 2012). Secara umum, juga terlihat bahwa seluruh sektor
pemerintahan dan juga program pembangunan telah familiar dengan menerapkan
prinsip kesetaraan gender dan upaya-upaya pemberdayaan perempuan.
Dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM)
tahun 2004-2009 saja, terdapat 38 program responsive gender, meningkat
dari 19 program dalam RPJM 2000-2004. RPJM 2010-2014 juga mempertegas upaya
pemerintah dalam pengarusutamaan gender dengan menekankan lebih lanjut pada
perbaikan kualitas hidup serta evaluasi kebijakan, baik di tingkat nasional
maupun lokal.
Prestasi lain yang lebih menggembirakan adalah, terdapat
beberapa Undang-Undang (UU) yang lahir dari desakan terhadap kebutuhan
perempuan, diantaranya seperti UU No. 52/2009 tentang Pertumbuhan Penduduk dan
Pembangunan Keluarga, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah
Tangga, UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No. 2/2008 tentang
Partai Politik, UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum dan UU. No. 21/2007
tentang Tindak Pidana Perdagangan orang (Puskapol, 2011).
Meskipun begitu, sederatan persoalan yang
mempengaruhi terpilihnya perempuan sebagai calon anggota legislative tetap saja
bermunculan.
Menurut hasil riset Puskapol UI, realitas yang ada
menunjukkan bahwa di kalangan elite partai politik masih resisten terhadap
kebijakan affirmative. Di tingkat lokal saja misalnya, dengan alasan
yang sama banyak didapati partai politik enggan melakukan kaderarisasi untuk
perempuan. Belum lagi performa perempuan di legislative secara umum dinilai
belum memuaskan. Di satu sisi, perempuan dihadapkan dengan kendala internal
ketika memutuskan untuk berpolitik, ditambah dengan faktor eksternal yang
melilit perempuan untuk dapat terpilih dan diterima sebagai pemimpin.
Keadaan di atas menggambarkan situasi yang begitu
paradoks. Politik elektoral sangat sulit untuk dihindarkan. Bagaimanapun,
partai plitik sebenarnya tetap berada pada tataran yang srtrategis, hanya saja
keberpihakan partai pengusung terhadap isu-isu deskriminatif dan marginalitas dimana
perempuan berada pada kondisi keterpurukan sangat sulit untuk dihadirkan.
Akibatnya, peraturan-peraturan deskriminatif
meningkat subur. Nilai tawar perempuan dalam meratifikasi kebijakan-kebijakan
melemah dan cendrung terabaikan. Maka tak heran ketika kasus yang
mendiskreditkan perempuan terus bermunculan, seperti nikah di bawah tangan
(nikah sirri), pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan orang serta kasus-kasus
kekerasan serupa belakangan kerap kali dipertontonkan.
Dinamika di atas menjebak gerakan perempuan pada
pusaran elektabilitas partai. Pada tataran ini, perempuan akan sulit
mengaktualisasikan dirinya sebagai perwakilan partai. Agenda partai yang jauh
lebih dominan hanya akan mengikis suara perempuan dalam mengakomodir sebuah
kebijakan baru.
Untuk itu, selaku elite partai politik agar
senantiasa mendorong kepemimpinan politik perempuan. Agendanya adalah mendorong
terpenuhinya kuota yang telah disediakan. Memfasilitasi pendidikan politik bagi
perempuan. Diperkuat dengan penyusunan agenda bersama untuk menghapuskan
ketimpangan relasi kuasa yang selama ini kerap menjadi akar persoalan. (..)