Diterbitkan oleh Harian Padang Ekspress
Dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional
Senin, 22 Juli 2013
Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan
bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani
Perempuan Padang.
Pengasuhan
anak dalam keluarga menjadi syarat sebagai aksi kepedulian orang tua (ayah dan
ibu) terhadap kehidupan anaknya. Ide ini seyogyanya akan menjadi moment penting
dalam Peringatan Hari Anak Nasional yang bertepatan pada 23 Juli 2013. Sejalan
dengan itu, tema “Indonesia yang Ramah dan Peduli Anak Dimulai Dari Pengasuhan
Dalam Keluarga” dirasa relevan sebagai bentuk refleksi dan perhatian bagi
tumbuh-kembang anak.
Upaya pembentukan
karakter anak yang cerdas secara jasmani dan ruhani (Emotional and Spiritual Quotient)
diyakini berawal dari pola asuh keluarga yang baik. Tujuannya yaitu untuk
mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, cerdas dan berakhlak mulia. Tidak
hanya ibu, kedua orang tua berperan besar dalam pembentukan karakter anak yang
positif.
Berdasarkan
konstruksi budaya yang diterima oleh masyarakat kebanyakan, bahwa selama ini
pengasuhan lebih (baca: hanya) ditekankan kepada para ibu. Konstruksi ini
mengasumsikan bahwa ibu adalah figur tunggal dalam melahirkan, merawat hingga
membesarkan anak. Asumsi ini semakin dipertajam oleh informasi yang disampaikan
sejumlah media melalui tayangan-tayangan dominant membahas tentang ke-ibu-an (motherhood).
Majalah, tabloid, iklan dan sejenisnya merupakan ruang yang disediakan khusus
bagi para ibu untuk fokus menjalankan ke-ibu-annya. Dan karenanya, para ibu
menjadi lebih skillfull atau lebih terampil jika berurusan dengan anak
dan urusan-urusan keluarga lainnya.
Sementara
ayah, dikonstruksikan pada tempat yang familiar sebagai sosok pencari nafkah. Ketiadaan
ruang pembahasan tentang tema-tema ke-ayah-an (fatherhood) sebagaimana
ruang ke-ibu-an di atas, kerap kali menjadi problem bagi beberapa figur ayah saat
menghadapi anak, membantu merawat bayi, penyediaan perlengkapan anak/bayi dan
sebagainya. Media sepertinya lebih senang berbicara tentang bisnis, olahraga,
otomotif dan ragam lain tinimbang membahas persoalan ke-ayah-an. Belajar secara
otodidak dan natural, adalah pilihan bagi banyak ayah khususnya bagi ayah saat
memiliki anak pertama. Kondisi ini tentu jauh berbeda dengan ruang ibu yang
selalu dimanjakan oleh beragam tips dan layanan yang begitu mudah dijumpai di
sejumlah media cetak, elektronik maupun online. Lebih lagi, kacamata masyarakat
secara kultural mengamini itu.
Padahal peran
ayah tidak kalah penting. Anak membutuhkan keteladanan dalam proses pertumbuhannya
dan hal itu harus didapat dari kedua orang tua. Karena itu, konsep parenting dalam mengasuh dan mendidik
anak harus menjadi sasaran utama dalam kampanye hari anak tahun ini.
Peran
ayah dalam pengasuhan tentu tak kalah besarnya dengan peran ibu. Ketidak
terlibatan ayah dalam pengasuhan anak, akan menghadirkan pola baru yang disebut
kompensasi maskulin. Pola prilaku
ini berupa sifat maskulin yang berlebihan, namun pada saat tertentu akan
berubah menjadi feminine dalam
arti sikap ketergantungan. Terjadi kombinasi sifat antara sifat kasar, tegar
(maskulin) dan sifat ketergantungan (feminin). Kuat atau tidaknya sifat ini tergantung
pada usia berapa anak tidak lagi mendapatkan pengasuhan dari figur ayah.
Sebagai
gantinya, anak akan berusaha mencari figur lain. Figur itu bisa ia kloning dari
guru di sekolah, tetangga, teman bahkan tayangan-tayangan media (film) yang
tidak edukatif. Alhasil, anak mengenali dan mempelajari apa yang ia saksikan
sebagai pengganti figur ayahnya yang hilang. Dalam proses
perkembangannya anak akan terpengaruh, meniru bahkan menerima pola yang ia
saksikan sebagai aturan hidup yang lumrah bagi kehidupannya kelak.
Idealnya,
ibu dan ayah sama-sama berperan dan memaksimalkan waktu bersama anak. Ayah dan
ibu melakukan kegiatan yang berkualitas dengan metode yang dapat menghadirkan
nilai-nilai emosional. Rutinitas berupa kontak orang tua dengan anak bukanlah standar
ukuran dan jaminan. Yang menjadi inti sesungguhnya adalah sejauh mana kualitas
dan intensitas pertemuan tersebut diterima oleh sensor anak.
Beberapa
kehidupan keluarga modern, dimana suami dan istri sama-sama bekerja,
berkurangnya intensitas komunikasi dalam perkembangan anak, tidak selalu
membawa pengaruh berarti bagi perkembangan anak. Namun dinamika yang dibangun
apik tersebut sangat jarang sekali ditemukan. Di sisi lain, role seperti
ini lebih banyak menimbulkan permasalahan baru bagi anak.
Temuan
kasus yang didapati oleh Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang
mengungkapkan, bahwa disharmonisasi yang dirasakan anak dalam keluarga merupakan
salah satu pemicu terjadinya praktek kekerasan. Beberapa anak yang dekat dengan
lingkungan/praktek kekerasan, baik itu posisinya sebagai korban atau anak
berhadapan dengan hukum (ABH) adalah mereka yang tidak menerima pengasuhan
secara optimal. Konflik keluarga berkepanjangan, Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) dan problem finansial kerap merubah prilaku anak berujung negative.
Menilik ajaran
yang diteladani Nabi Muhammad SAW, dalam kapasitasnya sebagai pendidik (ayah),
telah menggoreskan nilai-nilai pendidikan yang berparadigma profetik kepada umatnya.
Didapati pada masa lalu merupakan hal yang tabu jika seorang ayah memiliki anak
perempuan, apalagi kemudian menimang anaknya di depan umum untuk menunjukkan
kasih sayangnya. Namun Nabi melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan
tradisi (‘urf) yang berlaku dimasyarakat Arab, beliau menimang cucunya
di depan umum. Hal ini dimaksudkan bahwa, sesungguhnya keterlibatan dalam hal
pengasuhan anak bagi seorang ayah adalah sama utamanya dengan kebaikan lainnya.
Bahkan Nabi memberi peringatan bagi sahabat yang tidak pernah membelai anaknya dengan
ungkapan bahwa; sungguh orang yang demikian telah meninggalkan rahmat dan
kebaikan di hatinya.
Tidak
diragukan lagi, bahwa peran ayah sangat penting dalam perkembangan anak, baik
secara lansung maupun tidak lansung. Secara lansung seorang ayah dapat melakukan
kontak fisik atau indra dengan cara membelai, berbicara, memandikan atau
sekedar bercanda dengan anak. Semua itu akan sangat mempengaruhi perkembangan
anak dikemudian hari. Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan aktivitas
anak. Dengan menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungan dan situasi di
luar rumah. Ia memberi dorongan, membiarkan anak mengenal lingkungannya lebih dekat,
berdiskusi dan sebagainya.
Lebih
dari itu, peran ayah juga memberikan pengaruh secara tidak lansung. Hal ini
dapat dilihat melalui interaksi antara seorang ayah (suami) kepada ibu (istri)
anaknya. Dengan mencintai istrinya, ayah secara tidak lansung mempengaruhi
anaknya. Istri yang merasa disayangi suaminya dengan sendirinya akan mempengaruhi
sikapnya terhadap anak, begitu juga sebaliknya. Aktivitas dari hubungan timbal
balik ini memunculkan suatu proses yang disebut sosialisasi antara ayah dengan
anak. (Save M. Dagun: 2002)
Sama
halnya dengan ibu, ayah juga membutuhkan panduan bagaimana menjadi ayah yang
baik bagi anak-anaknya. Kesamaan dalam pembagian peran pengasuhan secara implisit
harus diterjemahkan sebagai sesuatu yang sakral. Ketiadaan motivasi bagi ayah
tentang bagaimana memulai berelasi dengan anak, menyebabkan banyak laki-laki
yang beranggapan bahwa tugas pengasuhan anak bukan menjadi bagian dari konsep untuk
menjadi ayah.
Melalui moment
hari anak nasional, konsep parenting tentang mendidik,
mengasuh, dan membina anak dapat direfleksikan sebagai tugas bersama bagi orang
tua untuk mendorong kualitas kehidupan anak kelak. Atensi yang difitrahkan
kepada manusia tentu bukan hanya pada sosok perempuan sebagai ibu, tetapi juga
laki-laki sebagai ayah. (..)