Minggu, 30 Oktober 2011

Teori dalam kajian Gender, David Knox

Teori Nature
Perbedaan biologis laki-laki dan perempuan adalah alami (nature), begitu juga sifat peran gender (maskulin dan feminine) yang dibentuknya. Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan biologis yang sangat mendasar,  misalnya;  perempuan memiliki kromosom seks yang berbeda (perempuan-XX; laki-laki-XY), hormon yang juga berbeda (perempuan memiliki progesteron lebih; laki-laki memiliki lebih testosterone), yang menentukan bentuk tubuh (perempuan umumnya lebih kecil dan pendek) dan perkiraan kematian (perempuan hidup kira-kira tujuh tahun lebih lama dari laki-laki).(David Knox, 1988: 75)
Menurut teori nature  adanya perbedaan perempuan dan laki-laki disebabkan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Oleh karana itu perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat sehinggga sulit untuk dirubah. Perbedaan biologis ini memberikan implikasi yang signifikan terhadap kehidupan publik perempuan.
Teori ini melahirkan perbedaan peran, tugas dan tanggungjawab baik dalam ranah publik  maupun dalam ranah domestik. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas, begitu juga dalam keluarga. Keluarga merupakan unit sosial yang memberikan peran dan tanggungjawab yang berbeda antara suami dan istri untuk saling membantu dan melengkapi satu sama lain.

Teori Nurture
Pembentukan peran gender bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Pada  dasarnya lahirnya perbedaan peran perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan menjadi manusia nomor dua, selalu terbelakang dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk menguji teori narture, seorang peneliti melakukan penelitian yang didesain untuk menilai tingkat kecenderungan seseorang sebagai maskulin atau feminin. Hasil penelitian menegaskan bahwa laki-laki bisa bersifat empati dan keterbukaan diri sifat yang secara tipikal diasosiasikan dengan perempuan. Dengan demikian, sifat-sifat tersebut bukan merupakan sifat bawaan, namun diperoleh melalui pengalamaan sosial dan budaya dalam berbagai pengalaman hidup sehari-hari. Hasil penelitian lain mengemukakan bahwa perempuan bisa menunjukkan skill kepemimpinan yang sama dengan kaum laki-laki ketika konteks situasional menghendakinya.(David Knox, 1988: 76)
Teori narture menekankan  bahwa setiap manusia baik laki-laki mapun perempuan mempunyai hak yang sama dalam segala aktivitas masyarakat seperti ditingkat manajer, mentri, militer, DPR, partai politik dan berbagai bidang lainnya. 

Teori Pembelajaran sosial
Teori  ini diperkenalkan oleh seorang tokoh psikologis yaitu Albert Bundara. Menurut teori ini bahwa anak akan meniru secara persis prilaku orang dewasa yang ada disekitarnya. Menurut Bundara, manusia bukanlah robot dan tidak memiliki pikiran, namun manusia memiliki otak untuk berfikir, menalar, menilai ataupun membandingkan sesuatu sehingga dapat memilih arah baginya.
Menurut  teori  ini bahwa prilaku atau peran gender yang diterima oleh seseorang adalah didasarkan pada konstruksi sosial masyarakat. Ketika prilaku gender tersebut sesuai  dengan konstruksi sosial akan mendapat pembenaran, tetapi sebaliknya memerankan peran gender yang tidak sesuai akan mendapatkan teguran. Misalnya, anak laki-laki tidak boleh memakai sepatu hak tingg dan anak perempuan tidak boleh bermain mobil-mobilan.
Teori ini memperlakukan anak sebagai agen aktif yang berusaha mengorganisir dan memahami dunia sosialnya. Karena itu, seorang anak akan mempelajari prilaku-prilaku yang tepat bagi status gender dirinya baik sebagai laki-laki maupun perempuan melalui orang-orang yang ada disekitarnya.  
Konsep meniru dipandang penting dalam memahami peran gender melalui pemahaman sosial. Melalui modeling [meniru peran orang lain], seorang anak bisa mengetahui prilaku orang lain dan akan meniru  prilaku tersebut. Menurut Bundara bahwa proses belajar itu sangat sulit ketika tidak adanya contoh yang berkaitan dengan hal yang dipelajari. (David Knox,1988: 69-70)
Dengan demikian munculnya perbedaan peran dan prilaku gender bagi laki-laki dan perempuan bukan disebabkan perbedaan biologisnya, tetapi karena bentukan dan hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
  
Sumber sosialisasi bagi seorang anak
Orang Tua
Orang tua pada biasanya memberi pengaruh pertama dalam kehidupan anak baik ketika masih dalam kandungan (gerakan anak perempuan lebih lembut dan anak laki-laki lebih agresif), anak-anak (memberikan mainan yang berbeda), sampai dewasa.(lebih protektif terhadap anak perempuan karena khawatir mengalami pelecehan seksual).
Peran Guru
guru menjadi pengaruh utama di luar rumah. Seorang guru terkadang memberikan perlakuan dan sikap yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Teman sebaya
Seorang teman memberi pengaruh signifikan terhadap anak.  Karena bersama teman-teman sebayanya seorang akan menemukan bahasa, pakaian yang sama.
Media Massa
Televisi juga memberikan peran penting dalam proses sosialisasi gender. Melalui TV, anak selalu melihat karakter dalam peran stereotype dengan bias laki-laki. Sorotan berita masih menonjol pada laki-laki, dan pembawa acara lebih banyak dibawakan kaum laki-laki.
Agama
Beberapa agama—terutama agama yang paling tradisional dan konservatif—melaggengkan gagasan tentang dominasi yang berlebihan bagi gender laki-laki. Misalnya ceria tentang jatuhnya Adam ke bumi karena dirayu Hawa. (David Knox, 1988: 72-74)


Teori Kognitif
Jean Piaget, seorang tokoh psikolog sebagai pencetus lahirnya teori perkembangan kognitif. Teori ini menyatakan  bahwa individu sebagi organisme aktif, dinamis serta memiliki kemampuan berfikir. Individu bekerja aktif memahami dunia sosial dan akan melakukan kategorisasi terhadap dirinya sendiri sebagi laki-laki dan perempuan.
 Teori perkembangan kognitif menyatakan bahwa kematangan mental anak merupakan prasyarat menerima peran  gender baik sebagi laki-laki mapun sebagai perempuan. Menurut Kohlberg,  anak usia dua tahun sudah bisa mengenali dirinya dan juga mampu mengidentifikasi jenis kelamin orang lain. “perempuan” atau “laki-laki,”.  Pada masa ini seorang anak sudah mampu membuat kriteria sederhan untuk menentukan jenis gender seseorang. Misalnya,  orang yang berambut panjang adalah perempuan, dan seseorang yang tidak pernah memakai rok/gaun adalah laki-laki.  Pada usia ini pula  seorang  ana mempercayai bahwa jenis gender bisa berubah dengan mengubah rambut atau mengganti pakaian.
Diantara usia 6 atau 7 tahun seorang anak meyakini bahwa jenis gender sebagai sesuatu yang permanen.  Menurut Kohlberg Pemahaman semacam ini diperoleh melalui kematangan dan perkembangan mental yang bersifat spesifik untuk memahami pandangan bahwa karakter dasar tertentu bagi manusia tidak akan berubah walaupun bentuk rambut mereka bisa berubah.
Saat seorang anak memahami bahwa gender bersifat permanen, biasanya seorang anak akan bergaul dengan group gender yang sama. Dasar kategorisasi ini menentukan penilaian dasar. Seorang anak laki-laki misalnya akan stabil mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai laki-laki, kemudian ia akan menilai objek-objek yang berkenaan dengan jenis kelaminnya secara positif dan bertindak secara konsisten dengan identitas jenis kelaminnya.

Teori Identifikasi.
Teori ini diperkenalkan oleh Sigmund Freud, tokoh psikolog terkenal. Menurut teori ini prilaku dan kpribadian seorang anak sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Frued menjelaskan struktur kpribadian seseorang tersusun di atas tiga komponen, yaitu; (1) id, sebagai kepribadian yang paling dasar, naluri bawaan sejak lahir, termasuk nafsu seksual dan insting yang selalu agresif. (2) ego, bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. (3) superego, sistem kpribadian yang berisi nilai-nilai dan aturan yang sifatnya evaluative sebagai upaya kesempurnaan hidup.
Menurut Freud, perbedaan perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai terasa diantara usia 3-6 tahun. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial berdasrkan identitas gender, yaitu bersifat laki-laki dan perempuan.
Pada usia ini seorang anak sudah mulai mampu mengidentifikasi dan mengenali anatomi tubuhnya, terutama di daerah kemaluan, karena pada masa ini seorang anak akan merasa kenikmatan ketika mempermainkan alat kelaminnya. Sejak masa inilah anak perempuan mulai menyadari bahwa pada dirinya ada sesuatu yang kurang dibandingkan anak laki-laki. Menurut Freud, kenyataan bahwa seorang anak laki-laki mempunyai alat kelamin menonjol yang tidak dimiliki anak perempuan, menimbulkan kecemburuan alat kelamin yang mempunyai implikasi lebih jauh; anak laki-laki lebih merasa superior dan anak perempuan merasa inferior.
Bagi anak laki-laki, kecemasan dan kesusahan hidup yang dialaminya diselesaikan melalui perkembangan superego,yang oleh Freud dianggap sebagai sasaran yang dapat dicapai di dalam evolusi mental manusia. Sementara anak perempuan ada masalah dalam hal ini karena ia mempunyai superego yang lemah sebagai akibat dari apa yang disebut oleh Freud dengan perkembangan keinginan untuk dikebiri, karena kasus kecemburuan alat kelamin. Itulah sebabnya menurut Freud, perempuan lebih pecemburu, lebih mencintai dirinya sendiri dan lebih pasif dari pada laki-laki. Menurut Freud, konflik antara laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan masalah psikologis, tetapi lebih merupakan perbedaan biologis. Sementara itu, biologi menurut Freud adalah masalah takdir yang tak dapat di rubah. Freud, mengatakan bahwa pada masa ini  seorang anak laki-laki berbeda dalam puncak kecintaan terhadap ibunya. Ia mulai melihat ayahnya sebagai saingan, karena ia ingin memperoleh kasih sayang yang diperoleh ayahnya. Pada usia ini biasanya seorang anak akan mengikuti prilaku, perangai dan peran orang tuanya yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya. (David Knox, 1988: 71)

Senin, 24 Oktober 2011

Teori Kekerasan (Penganiayaan) yang Dilakukan Pelaku Terhadap Korban Dalam KDRT


Michael P. Johnson, psikolog perkawinan yang juga seorang psikolog feminis mengungkapkan, ada tiga bentuk komitmen perkawinan yang menentukan seseorang untuk bertahan atau melepaskan diri dari perkawinannya.
1.      Komitmen personal, yang mengandung arti sejauh mana seseorang ingin mempertahankan hubungannya karena factor-faktor yang bersifat pribadi, seperti cinta dan rasa puas terhadap perkawinan.
2.      Komitmen moral, yakni rasa bertanggung jawab secara moral karena menganggap pernikahan harus berlangsung sepanjang hidup, merasa pasangan membutuhkannya dan merasakan kewajiban untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai.
3.      Komitmen struktural, yakni keinginan bertahan dalam suatu hubungan karena faktor-faktor penahanan yang bersifat structural seperti tekanan sosial jika bercerai, masalah anak, prosedur perceraian yang sulit, dan sebagainya.

Dari teori ini, terlihat bahwa kekerasan yang dialami korban KDRT secara terus-menerus dapat melenyapkan motivasi perempuan sebagai korban untuk merespon. Korban akan menjadi pasif karena merasa tidak yakin lagi bahwa responnya akan mengahasilkan apa yang ia inginkan. Akhirnya korban akan sulit melepaskan diri dari relasi kekerasan tersebut.

Dalam kasus KDRT, terdapat mekanisme yang berhasil dibangun pelaku kekerasan untuk membuat korban agar terus bertahan. Berinteraksi dengan system patriarki yang berlaku dalam masyarakat, mekanisme ini berhasil melumpuhkan korban untuk melepaskan diri dari relasi yang penuh kekerasan. Dalam budaya patriarkis, kepada perempuan telah ditanamkan nilai-nilai kepatuhan dan pelayanan kepada suami. Pelaku menekankan hal ini kepada korban sebagai pembenaran atas kekerasan yang dilakukan. Pelaku memaksa korban melakukan sesuatu hal yang tidak disukai atau bahkan menyakiti hati korban. Sementara laki-laki tidak pernah diminta untuk melakukan hal yang sama.

Pada akhirnya siklus penganiayaan tentu akan terus berlanjut. Menurut Lenore Walker dengan teorinya tentang Learned Helplessness Theory (teori ketidakberdayaan) yang dikenal dengan Battered Woman Syndrom yang disingkat dengan BWS. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan serangkaian simtom prilaku dan psikologis sebagai dampak kekerasan yang dialami seseorang.  Dalam teori ini terdapat mekanisme yang dibangun pelaku kekerasan agar korban tetap bertahan. Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam mekanisme sebagai berikut:
1.      pelaku menciptakan atmosfer menakutkan yang membuat korban merasa tidak mungkin untuk melepaskan diri. Bayangkan seorang korban yang hampir setiap hari disiksa. Setiap kali ia berusaha melawan, pelaku semakin beringas. Belum lagi ancamannya jika korban berani meninggalkannya. Ketika korban telah meninggalkan rumah sekalipun, pelaku selalu berhasil membawanya pulang. Entah dengan melakukan kekerasan ataupun tampil sebagai suami yang baik sehingga menarik simpati. Kedua-duanya efektif dalam membuat orang-orang di sekitar korban meminta korban untuk pulang bersama pelaku.
2.      Setelah tahap pertama dimana pelaku membangun ketegangan demi ketegangan yang memuncak di tahap kedua dalam bentuk penganiayaan, pelaku akan mengajak korban untuk memasuki tahap ketiga yang dinamakan tahap bulan madu. Dalam tahap ini para pelaku menampilkan kesan positif sebagai pria yang baik dan menyenangkan (persona of charming) seperti yang dikenal korban sebelum penganiayaan pertama kali terjadi. Pelaku meminta maaf, menunjukkan penyesalan, dan meyakinkan korban bahwa ia akan berubah. 
3.  Lama kelamaan tahap bulan madu hanya menjadi fase yang dingin dan tanpa cinta meskipun tanpa kekerasan. Pada fase inilah komitmen struktural memegang peranan penting dalam memengaruhi keputusan korban. Bahkan komitmen ini tetap membuat korban bertahan di saat komitmen personal sudah pudar sekalipun. Johnson memang tidak pernah melihat aspek gender dalam membangun teorinya. Namun saya melihat komitmen struktural memiliki peran lebih besar dalam mengikat perempuan pada perkawinannya dalam masyarakat

Senin, 10 Oktober 2011

Teori Peran F. Ivan Nye (Therapy Role)


Struktur masyarakat adalah sebuah bagan yang bisa diagap keorganisasiannya berjalan sesuai dengan seleksi alam. Kemunduran (decline) ataupun keredupan (disapper) suatu bagian tertentu dalam lingkup struktur masyarakat adalah suatu hal yang pasti terjadi. Akan tetapi dengan adanya decline dan disapper akan menyuntikkan konsepsi baru yang ada kalanya merekontruksi atau bisa jadi mendeskontruksi konsepsi yang lama. Oleh karena itulah F. Ivan Nye memperkenalkan kepada kita bahwa peranan terapi (The Therapeutic Role) bukan suatu hal yang harus dihapus dalam struktur masyarakat akan tetapi peranan terapi adalah bagian yang masuk dalam proses penyatuan dalam struktur masyarakat.
Peranan Terapi Dalam Pembentukan Masyarakat Ideal
Berikut ini akan diulas terlebih dahulu tentang keterkaitan-keterkaitan dengan konseptual yang sudah, perana ekspresif, dan perana sosial-emosional:
a.    Keterkaitan dengan konseptual yang sebelumnya diantaranya: fungsi higienis mental yang dicetuskan oleh Blood dan Wolfe. Blood dan Wolfe memposisikan tingkahlaku sebagai obyek untuk diteliti lebih pada bagaimana produk dan hasil yang diakibatkan oleh perilaku tersebut. Berbeda dengan peranan terapi F. Ivan Nye lebih kepada term-term prosesi tingkah laku tersebut. Argumentasi Blood dan Wolfe itu kemudian memberikan arti bahwa psikoterapi itu tidak bisa dilakukan kepada semua orang lebih-lebih untuk selamanya. Pada taraf problematika yang serba berat, seseorang itu pasti cenderung untuk mendapatkan kesempatan bagi kesedihan perasaan, ruang gerak perasaan, penolongan kesulitan, dan untuk penyemangat emosi dan dorongan. Semua itu hanya bisa dengan dilakukan dengan “pernikahan”. Pernikahan akan membantu penyelesaian masalah yang dianggap sepele akan tetapi berdampak besar dalam masyarakat. Keadaan inilah akan mampu memberikan problem-solving untuk permasalahan yang sedang dihadapi. Komarovsky lebih memposisikan hubungan suami istri dalam pernikahan itu hanya sebagai komunikasi dan problem-sharing bukan sebagai problem-solving. Goode beranggapan bahwa semua permasalahan itu bisa teratasi dengan adanya pernikahan itu diposisikan sesuai dengan tujuannya. Sedangkan Gurin, Veroff, dan Feld itu lebih menekankan bagaimana penyelesaian masalah itu minimal didiskusikan tiap hari lebih hebat lagi tiap waktu. Whyte memetakan tentang peran istri yang bisa mengimbangi sang suami. Istri yang sholehah itu mampu mengimbangi ego suami yang terlalu tinggi sehingga istri akan menjadi pendidik bagi si suami dari segi emosional. Tingkat pendidikan suami itu sangat berpengaruh bagaimana sang suami itu mengarahkan visi dan misi dalam keluarga. Tingkat pendidikan yang rendah akan cenderung untuk ketidaksuksesan dalam problem-solving antara suami istri.
b.    Hubungan peranan ekspresif; mengekspresikan suatu kehendak itu butuh kecerdasan emosi yang memadai, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang pasti mempunyai ego yang diperjuangkan. Untuk memposisikan agar ego selalu berdampak positif maka ego harus bisa menjadi mediator, konsiliator, dalam lingkup keluarga. Ego juga bisa menjadi media penuh dengan nuansa kasih-sayang, kecemasan, kehangatan, perasaan kepada anak-anak dalam lingkup keluarga. Ego juga bisa penghibur, sebagaimana para konselor membimbing para konseli yang tentunya semua itu juga tidak terlepas dengan pendekatan spiritual.
c.    Hubungan peranan sosial-emosional; yang jelas tingkah laku itu pasti tidak bisa terpisahkan dari bagaimana keadaan sosial di sekitar yang kemudian ditanggapi oleh perasaan. Pernikahan yang dibangun oleh suami-istri akan secara pasti menetapkan upaya peranan keduanya dalam membina anak-anaknya. Pengaruh sosial-emosional akan berdampak kepada bagaimana suami-istri itu akan membangun bagaimana peranannya dengan orang lain atau bagi anak-anaknya.
Definisi Normative
Berdasarkan literature sosiologi dan psikologi (konseling) ada empat perilaku positif yang bisa dijadikan mediasi untuk problematika antara suami-istri yaitu: menyimak curhatan problematika, simpati, memberikan perhatian perasaan dan kasih sayang, dan upaya menyelesaikan masalah. Keempat langkah tersebut kemudian berimbas kepada reaksi untuk mengkritisi problematika seseorang dan memupuk keyakinan. Terkadang seseorang dalam lingkup keluarga merasa tidak sadar bahwa mencari jalan keluar dari problem suami-istri itu bukan sebagai bingkaian normative yang berujung kepada kewajiban meskipun masih banyak yang beranggapan bahwa saling berjibaku untuk menyelesaikan problem adalah suatu kewajiban.
Problem yang setiap saat menghinggapi pasangan suami-istri secara umum mereka pecahkan dalam lingkup keduanya dan hal ini merupakan cerminan dari hasil kebanyakan pasangan suami-istri. Namun, ada pihak-pihak yang pada saat tertentu turut membantu bagaimana problematika yang menghinggapi, diantaranya; ayah, ibu, saudara perempuan, saudara laki-laki, anggota family yang lain, teman sejenis, teman beda jenis, tetangga, konselor ahli, dan tokoh agama. Semua itu dilakukan sebagai upaya sadar tentang kewajiban yang diemban untuk bersama-sama menyelesaikan masalah.
Penetapan Peranan Terapi
Sebagaimana pihak-pihak yang bisa membantu memecahkan masalah yang mendera pasangan suami-istri, ada titik penekanan yaitu menghapus rasa keraguan yang secara umum selalu menghinggapi kondisi batin suami-istri. Dua pihak yang sedang dirudung keraguan, pihak istrilah yang mempunyai kecenderungan untuk mencurahkan perasaannya kepada pihak yang lain. Meskipun pihak suami juga tidak jarang yang berusaha dengan berbagai pendekatan untuk menyelesaikan problem tersebut. Kecenderungan si istri dan suami berusaha untuk menyelesaikan dalam lingkup pasangan, kemudian merambah kepada pihak-pihak yang dirasa bisa memberikan solusi. Kedekatan dengan mereka akan memberikan pengaruh besar, begitu juga semakin tiada pengaruh maka cenderung tidak memberikan efek bagi mereka.
Ada kompetenisasi peranan yang bisa diandalkan untuk membantu mencari solusi bagi problematika yang sedang kritis. Pihak yang berhak untuk memainkan peran harus benar-benar mempunyai keahlian maupun berjiwa mediator. Pada saat tertentu suami-istri itu merasa cukup dengan performa peranan masing-masing, hal ini bisa diindikasikan dengan keharmonisan, kemesraan, dan penjiwaan dari masing-masing. Ketika tidak ada indikasi yang mengarah kepada ketiganya maka harus ada pihak-pihak yang bisa memberikan sugesti secara aktif dan berpositif thinking dalam berperan. Suami-istri yang membutuhkan pertolongan,dukungan perasaan, dan simpati tidak lain karena mereka telah dirudung kekurangkompetenan. Secara umum ada dua pengkategorian yang bisa dijadikan gambaran tentang suami-istri, yaitu; suami-istri yang merespon secara aktif dan positif terhadap problemnya pasti mempertimbangkan tentang kompetensi pencarian jalan keluarnya, sebagian minoritas yang bereaksi negative bagi problem suami-istri menampilakan hal ini sebagai ketepatan dan butuh pertolongan. Yang terpenting harus adanya pertimbangan yang lebih mengedepankan perilaku yang terbaik bagi keduanya.
Pengidentifikasian Dengan Peranan
Penting sekali untuk menyesuaikan dengan cara yang akan digunakan untuk kecocokan dengan kebisaaan yang lebih mudah untuk direspon antara suami-istri, apakah nanti bersifat pasif ataupun aktif. Pasif diartikan karena dia hanya bisa menyimak dan diartikan negative karena ketidaksukaan untuk menyimak atau merespon dengan kritis atau bisa jadi secara aktif dengan cara bersimpati, memberikan kasih sayang dan penentraman hati kembali untuk mencoba membantu menyelesaikan problematika yang dihadapi.
Pemilahan dengan menggunakan pendekatan normative, penetapan peranan, dan persetujuan untuk menguatkan peranan terapi yang semuanya menuju kepada penggapaian nilai-nilai yang mungkin bisa digapai dengan peranan terapi. Hal ini tidak lain sebagai penyemangat dan penggugah untuk menolong jalan keluar suatu permasalahan atau mencurhatkan permasalahan tersebut. Bisa jadi dengan dibenturkan permasalahan tersebut ada nilai-nilai yang terkuak yang kemudian menjadi pelengkap bagi tatapan perbaikan ke depan.
Distribusi Sosial Pada Perilaku Peranan Terapi
Adanya keseimbangan pendidikan dalam sosial kemasyarakatan tentunya akan memudahkan bagaimana upaya untuk menyelesaikan problematikan itu dengan mudah akan dijalankan. Dengan adanya pendidikan tersebut kelas sosial yang ada dalam masyarakat (pada sisi tertentu memang tidak bisa dinafikan) akan memberikan sumbangsih dukungan yang memadahi. Walaupun term-term perbedaan ekonomi juga menjadi penghalang untuk memaksimalkan peranan tersebtu seobyektif mungkin.
Skill individu juga perlu dipertimbangkan untuk membantu bagaimana peran sertanya dalam masyarakat. Tidak jarang baik perempuan maupun laki-laki bisa jadi aktif diberbagai kegiatan kemasyarakatan. Meskipun demikian tetaplah fungsi keluarga di tengah hal itu mampu dijadikan sebagai media untuk menggodok berbagai permasalahan yang sedang dihadapi. Sehingga pijakan-pijakan kaki untuk meniti jalan keseharian akan terasa ringan dan penuh dengan keberkahan.