Minggu, 30 Oktober 2011

Teori dalam kajian Gender, David Knox

Teori Nature
Perbedaan biologis laki-laki dan perempuan adalah alami (nature), begitu juga sifat peran gender (maskulin dan feminine) yang dibentuknya. Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan biologis yang sangat mendasar,  misalnya;  perempuan memiliki kromosom seks yang berbeda (perempuan-XX; laki-laki-XY), hormon yang juga berbeda (perempuan memiliki progesteron lebih; laki-laki memiliki lebih testosterone), yang menentukan bentuk tubuh (perempuan umumnya lebih kecil dan pendek) dan perkiraan kematian (perempuan hidup kira-kira tujuh tahun lebih lama dari laki-laki).(David Knox, 1988: 75)
Menurut teori nature  adanya perbedaan perempuan dan laki-laki disebabkan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Oleh karana itu perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat sehinggga sulit untuk dirubah. Perbedaan biologis ini memberikan implikasi yang signifikan terhadap kehidupan publik perempuan.
Teori ini melahirkan perbedaan peran, tugas dan tanggungjawab baik dalam ranah publik  maupun dalam ranah domestik. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas, begitu juga dalam keluarga. Keluarga merupakan unit sosial yang memberikan peran dan tanggungjawab yang berbeda antara suami dan istri untuk saling membantu dan melengkapi satu sama lain.

Teori Nurture
Pembentukan peran gender bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Pada  dasarnya lahirnya perbedaan peran perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan menjadi manusia nomor dua, selalu terbelakang dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk menguji teori narture, seorang peneliti melakukan penelitian yang didesain untuk menilai tingkat kecenderungan seseorang sebagai maskulin atau feminin. Hasil penelitian menegaskan bahwa laki-laki bisa bersifat empati dan keterbukaan diri sifat yang secara tipikal diasosiasikan dengan perempuan. Dengan demikian, sifat-sifat tersebut bukan merupakan sifat bawaan, namun diperoleh melalui pengalamaan sosial dan budaya dalam berbagai pengalaman hidup sehari-hari. Hasil penelitian lain mengemukakan bahwa perempuan bisa menunjukkan skill kepemimpinan yang sama dengan kaum laki-laki ketika konteks situasional menghendakinya.(David Knox, 1988: 76)
Teori narture menekankan  bahwa setiap manusia baik laki-laki mapun perempuan mempunyai hak yang sama dalam segala aktivitas masyarakat seperti ditingkat manajer, mentri, militer, DPR, partai politik dan berbagai bidang lainnya. 

Teori Pembelajaran sosial
Teori  ini diperkenalkan oleh seorang tokoh psikologis yaitu Albert Bundara. Menurut teori ini bahwa anak akan meniru secara persis prilaku orang dewasa yang ada disekitarnya. Menurut Bundara, manusia bukanlah robot dan tidak memiliki pikiran, namun manusia memiliki otak untuk berfikir, menalar, menilai ataupun membandingkan sesuatu sehingga dapat memilih arah baginya.
Menurut  teori  ini bahwa prilaku atau peran gender yang diterima oleh seseorang adalah didasarkan pada konstruksi sosial masyarakat. Ketika prilaku gender tersebut sesuai  dengan konstruksi sosial akan mendapat pembenaran, tetapi sebaliknya memerankan peran gender yang tidak sesuai akan mendapatkan teguran. Misalnya, anak laki-laki tidak boleh memakai sepatu hak tingg dan anak perempuan tidak boleh bermain mobil-mobilan.
Teori ini memperlakukan anak sebagai agen aktif yang berusaha mengorganisir dan memahami dunia sosialnya. Karena itu, seorang anak akan mempelajari prilaku-prilaku yang tepat bagi status gender dirinya baik sebagai laki-laki maupun perempuan melalui orang-orang yang ada disekitarnya.  
Konsep meniru dipandang penting dalam memahami peran gender melalui pemahaman sosial. Melalui modeling [meniru peran orang lain], seorang anak bisa mengetahui prilaku orang lain dan akan meniru  prilaku tersebut. Menurut Bundara bahwa proses belajar itu sangat sulit ketika tidak adanya contoh yang berkaitan dengan hal yang dipelajari. (David Knox,1988: 69-70)
Dengan demikian munculnya perbedaan peran dan prilaku gender bagi laki-laki dan perempuan bukan disebabkan perbedaan biologisnya, tetapi karena bentukan dan hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
  
Sumber sosialisasi bagi seorang anak
Orang Tua
Orang tua pada biasanya memberi pengaruh pertama dalam kehidupan anak baik ketika masih dalam kandungan (gerakan anak perempuan lebih lembut dan anak laki-laki lebih agresif), anak-anak (memberikan mainan yang berbeda), sampai dewasa.(lebih protektif terhadap anak perempuan karena khawatir mengalami pelecehan seksual).
Peran Guru
guru menjadi pengaruh utama di luar rumah. Seorang guru terkadang memberikan perlakuan dan sikap yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Teman sebaya
Seorang teman memberi pengaruh signifikan terhadap anak.  Karena bersama teman-teman sebayanya seorang akan menemukan bahasa, pakaian yang sama.
Media Massa
Televisi juga memberikan peran penting dalam proses sosialisasi gender. Melalui TV, anak selalu melihat karakter dalam peran stereotype dengan bias laki-laki. Sorotan berita masih menonjol pada laki-laki, dan pembawa acara lebih banyak dibawakan kaum laki-laki.
Agama
Beberapa agama—terutama agama yang paling tradisional dan konservatif—melaggengkan gagasan tentang dominasi yang berlebihan bagi gender laki-laki. Misalnya ceria tentang jatuhnya Adam ke bumi karena dirayu Hawa. (David Knox, 1988: 72-74)


Teori Kognitif
Jean Piaget, seorang tokoh psikolog sebagai pencetus lahirnya teori perkembangan kognitif. Teori ini menyatakan  bahwa individu sebagi organisme aktif, dinamis serta memiliki kemampuan berfikir. Individu bekerja aktif memahami dunia sosial dan akan melakukan kategorisasi terhadap dirinya sendiri sebagi laki-laki dan perempuan.
 Teori perkembangan kognitif menyatakan bahwa kematangan mental anak merupakan prasyarat menerima peran  gender baik sebagi laki-laki mapun sebagai perempuan. Menurut Kohlberg,  anak usia dua tahun sudah bisa mengenali dirinya dan juga mampu mengidentifikasi jenis kelamin orang lain. “perempuan” atau “laki-laki,”.  Pada masa ini seorang anak sudah mampu membuat kriteria sederhan untuk menentukan jenis gender seseorang. Misalnya,  orang yang berambut panjang adalah perempuan, dan seseorang yang tidak pernah memakai rok/gaun adalah laki-laki.  Pada usia ini pula  seorang  ana mempercayai bahwa jenis gender bisa berubah dengan mengubah rambut atau mengganti pakaian.
Diantara usia 6 atau 7 tahun seorang anak meyakini bahwa jenis gender sebagai sesuatu yang permanen.  Menurut Kohlberg Pemahaman semacam ini diperoleh melalui kematangan dan perkembangan mental yang bersifat spesifik untuk memahami pandangan bahwa karakter dasar tertentu bagi manusia tidak akan berubah walaupun bentuk rambut mereka bisa berubah.
Saat seorang anak memahami bahwa gender bersifat permanen, biasanya seorang anak akan bergaul dengan group gender yang sama. Dasar kategorisasi ini menentukan penilaian dasar. Seorang anak laki-laki misalnya akan stabil mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai laki-laki, kemudian ia akan menilai objek-objek yang berkenaan dengan jenis kelaminnya secara positif dan bertindak secara konsisten dengan identitas jenis kelaminnya.

Teori Identifikasi.
Teori ini diperkenalkan oleh Sigmund Freud, tokoh psikolog terkenal. Menurut teori ini prilaku dan kpribadian seorang anak sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Frued menjelaskan struktur kpribadian seseorang tersusun di atas tiga komponen, yaitu; (1) id, sebagai kepribadian yang paling dasar, naluri bawaan sejak lahir, termasuk nafsu seksual dan insting yang selalu agresif. (2) ego, bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. (3) superego, sistem kpribadian yang berisi nilai-nilai dan aturan yang sifatnya evaluative sebagai upaya kesempurnaan hidup.
Menurut Freud, perbedaan perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai terasa diantara usia 3-6 tahun. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial berdasrkan identitas gender, yaitu bersifat laki-laki dan perempuan.
Pada usia ini seorang anak sudah mulai mampu mengidentifikasi dan mengenali anatomi tubuhnya, terutama di daerah kemaluan, karena pada masa ini seorang anak akan merasa kenikmatan ketika mempermainkan alat kelaminnya. Sejak masa inilah anak perempuan mulai menyadari bahwa pada dirinya ada sesuatu yang kurang dibandingkan anak laki-laki. Menurut Freud, kenyataan bahwa seorang anak laki-laki mempunyai alat kelamin menonjol yang tidak dimiliki anak perempuan, menimbulkan kecemburuan alat kelamin yang mempunyai implikasi lebih jauh; anak laki-laki lebih merasa superior dan anak perempuan merasa inferior.
Bagi anak laki-laki, kecemasan dan kesusahan hidup yang dialaminya diselesaikan melalui perkembangan superego,yang oleh Freud dianggap sebagai sasaran yang dapat dicapai di dalam evolusi mental manusia. Sementara anak perempuan ada masalah dalam hal ini karena ia mempunyai superego yang lemah sebagai akibat dari apa yang disebut oleh Freud dengan perkembangan keinginan untuk dikebiri, karena kasus kecemburuan alat kelamin. Itulah sebabnya menurut Freud, perempuan lebih pecemburu, lebih mencintai dirinya sendiri dan lebih pasif dari pada laki-laki. Menurut Freud, konflik antara laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan masalah psikologis, tetapi lebih merupakan perbedaan biologis. Sementara itu, biologi menurut Freud adalah masalah takdir yang tak dapat di rubah. Freud, mengatakan bahwa pada masa ini  seorang anak laki-laki berbeda dalam puncak kecintaan terhadap ibunya. Ia mulai melihat ayahnya sebagai saingan, karena ia ingin memperoleh kasih sayang yang diperoleh ayahnya. Pada usia ini biasanya seorang anak akan mengikuti prilaku, perangai dan peran orang tuanya yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya. (David Knox, 1988: 71)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar