Michael P. Johnson, psikolog perkawinan yang juga seorang psikolog feminis mengungkapkan, ada tiga bentuk komitmen perkawinan yang menentukan seseorang untuk bertahan atau melepaskan diri dari perkawinannya.
1. Komitmen personal, yang mengandung arti sejauh mana seseorang ingin mempertahankan hubungannya karena factor-faktor yang bersifat pribadi, seperti cinta dan rasa puas terhadap perkawinan.
2. Komitmen moral, yakni rasa bertanggung jawab secara moral karena menganggap pernikahan harus berlangsung sepanjang hidup, merasa pasangan membutuhkannya dan merasakan kewajiban untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai.
3. Komitmen struktural, yakni keinginan bertahan dalam suatu hubungan karena faktor-faktor penahanan yang bersifat structural seperti tekanan sosial jika bercerai, masalah anak, prosedur perceraian yang sulit, dan sebagainya.
Dari teori ini, terlihat bahwa kekerasan yang dialami korban KDRT secara terus-menerus dapat melenyapkan motivasi perempuan sebagai korban untuk merespon. Korban akan menjadi pasif karena merasa tidak yakin lagi bahwa responnya akan mengahasilkan apa yang ia inginkan. Akhirnya korban akan sulit melepaskan diri dari relasi kekerasan tersebut.
Dalam kasus KDRT, terdapat mekanisme yang berhasil dibangun pelaku kekerasan untuk membuat korban agar terus bertahan. Berinteraksi dengan system patriarki yang berlaku dalam masyarakat, mekanisme ini berhasil melumpuhkan korban untuk melepaskan diri dari relasi yang penuh kekerasan. Dalam budaya patriarkis, kepada perempuan telah ditanamkan nilai-nilai kepatuhan dan pelayanan kepada suami. Pelaku menekankan hal ini kepada korban sebagai pembenaran atas kekerasan yang dilakukan. Pelaku memaksa korban melakukan sesuatu hal yang tidak disukai atau bahkan menyakiti hati korban. Sementara laki-laki tidak pernah diminta untuk melakukan hal yang sama.
Pada akhirnya siklus penganiayaan tentu akan terus berlanjut. Menurut Lenore Walker dengan teorinya tentang Learned Helplessness Theory (teori ketidakberdayaan) yang dikenal dengan Battered Woman Syndrom yang disingkat dengan BWS. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan serangkaian simtom prilaku dan psikologis sebagai dampak kekerasan yang dialami seseorang. Dalam teori ini terdapat mekanisme yang dibangun pelaku kekerasan agar korban tetap bertahan. Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam mekanisme sebagai berikut:
1. pelaku menciptakan atmosfer menakutkan yang membuat korban merasa tidak mungkin untuk melepaskan diri. Bayangkan seorang korban yang hampir setiap hari disiksa. Setiap kali ia berusaha melawan, pelaku semakin beringas. Belum lagi ancamannya jika korban berani meninggalkannya. Ketika korban telah meninggalkan rumah sekalipun, pelaku selalu berhasil membawanya pulang. Entah dengan melakukan kekerasan ataupun tampil sebagai suami yang baik sehingga menarik simpati. Kedua-duanya efektif dalam membuat orang-orang di sekitar korban meminta korban untuk pulang bersama pelaku.
2. Setelah tahap pertama dimana pelaku membangun ketegangan demi ketegangan yang memuncak di tahap kedua dalam bentuk penganiayaan, pelaku akan mengajak korban untuk memasuki tahap ketiga yang dinamakan tahap bulan madu. Dalam tahap ini para pelaku menampilkan kesan positif sebagai pria yang baik dan menyenangkan (persona of charming) seperti yang dikenal korban sebelum penganiayaan pertama kali terjadi. Pelaku meminta maaf, menunjukkan penyesalan, dan meyakinkan korban bahwa ia akan berubah.
3. Lama kelamaan tahap bulan madu hanya menjadi fase yang dingin dan tanpa cinta meskipun tanpa kekerasan. Pada fase inilah komitmen struktural memegang peranan penting dalam memengaruhi keputusan korban. Bahkan komitmen ini tetap membuat korban bertahan di saat komitmen personal sudah pudar sekalipun. Johnson memang tidak pernah melihat aspek gender dalam membangun teorinya. Namun saya melihat komitmen struktural memiliki peran lebih besar dalam mengikat perempuan pada perkawinannya dalam masyarakat
3. Lama kelamaan tahap bulan madu hanya menjadi fase yang dingin dan tanpa cinta meskipun tanpa kekerasan. Pada fase inilah komitmen struktural memegang peranan penting dalam memengaruhi keputusan korban. Bahkan komitmen ini tetap membuat korban bertahan di saat komitmen personal sudah pudar sekalipun. Johnson memang tidak pernah melihat aspek gender dalam membangun teorinya. Namun saya melihat komitmen struktural memiliki peran lebih besar dalam mengikat perempuan pada perkawinannya dalam masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar