Judul Buku : Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Beragama
Penulis : Irwan Masduqi
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, November 2011
Tebal : xxxi+310
Harga : Rp. 49.500,-
Penulis : Irwan Masduqi
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, November 2011
Tebal : xxxi+310
Harga : Rp. 49.500,-
Peresensi : Ashabul Fadhli
”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Setiap orang berhak atas kebebasan dan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Kutipan ayat dari Undang-Undang 1945 pasal 28E di atas, tentu tidak berangkat dari ruang yang kosong. Tersirat pesan penting agar segera dipecahkan dan dikompromikan. Melaui semangat toleransi, pesan Undang-Undang tersebut seyogyanya dapat diwacanakan di masyarakat, guna meminimalisir kekerasan atas nama agama yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi, serta berusaha meleburkan pemahaman antar umat beragama secara toleran dan berkemanusiaan.
Melalui buku berjudul ”Berislam Secara Toleran”, yang ditulis oleh Irwan Masduqi, merupakan sebuah wacana progresif yang sangat menarik. Di dalamnya tersimpan pesan perdamaian yang sejalan dengan pengamalan isi Undang-Undang di atas. Dengan latar belakang pendidikan sebagai lulusan Al Azhar Mesir pada jurusan Ilmu Tafsir, Irwan Masduqi mencoba melihat sisi lain dari pemahaman terhadap agama Islam yang selama ini kerap dicangkoki oleh cara-cara berfikir yang parsial dan eksklusif. Buku ini memiliki tesis bahwa Islam adalah agama yang toleran dan menganjurkan modernisasi (wasathan), walaupun dalam ajaran Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran dan doktrin yang bervariasi dalam spektrum semacam monolitik-plural, fundamentalis-liberal, ekstreem-moderat, radikal-demokratis, dan fanatis-toleran.
Islam sejatinya dikenal sebagai agama yang toleran. Namun pada saat yang bersamaan, sering menampakkan elemen-elemen intoleran yang bersembunyi di balik tradisi dan ajaran Islam. Pencitraan tersebut datang melalui apa yang disebut dengan Islamopholia. Islamopholia merupakan gejala sosial dalam krisis transparasi ketika menampilkan citra Islam yang positif. Penulis beranggapan Islamopholia berangkat dari pandangan subjektif bagi mereka yang fanatis terhadap ajaran agama, maka harus dihindari. Karena pada saat yang sama, anggapan tersebut harus dituntut bersikap adil dan objektif.
Dengan demikian, Irwan Masduqi mendeskripsikan dalam kajiannya bahwa Al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, secara esensial berisi ayat-ayat yang bisa ditafsirkan menjadi doktrin yang mengandung ajaran kasih sayang atau kekerasan. Dengan kata lain, Al Qur’an dalam penafsirannya, mengandung ayat-ayat yang mendorong pada sikap toleransi maupun intoleransi, seperti ayat-ayat tentang perang yang kemudian diterjemahkan dengan praktek jihad dan kekerasan. Menurut penilaian penulis, ayat-ayat itulah yang digunakan oleh para praktisi atau akademisi untuk mendukung klaim-klaim atas dasar kepentingan mereka. Berdasarkan kajian yang diteliti dalam buku setebal xxxi+310 halaman ini, penulis memaparkan ada sejumlah 176 ayat Al Qur’an yang dapat ditafsirkan sebagai pendorong intoleransi. Namun demikian, jumlah ayat yang mengajarkan toleransi secara kuantitaif lebih banyak, yaitu sejumlah 300 ayat
Dengan diperkayanya tulisan dalam buku terbitan Mizan ini oleh 15 pemikir kontemporer dunia, tentu akan mempertajam isi dan bahasan yang disajikan penulis. Berbagai macam perspektif ditawarkan para sarjana atau pemikir, baik muslim maupun non muslim, seperti Mohammed Arkoun, Abed al-Jabiri, Gamal al-Banna, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrour, Yousuf al-Qardhawi, Abdurrahman wahid, Fethullah Gulen, John L. Esposito, Yohanan Friedmann, Ahmad Juhaini, Muhammad Mushtafa, Ragab el-Banna, Abd al-Basit bin Yusuf al-Gharib dan Sayyid Qutb, disajikan per bab secara terpisah satu sama lain dengan tema yang beragam.
Ekspresi kegelisahan penulis yang lahir dalam bentuk buku yang turut diapresiasi oleh Mantan ketua Umum PP. Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Ma’arif, bermaksud untuk membangun jembatan penghubung antara sesama umat beragama. Salah satu yang membedakan buku Irwan Masduqi dengan buku lain yang serupa adalah dimensi historis yang ditampilkan dalam metode pembahasannya, dan menjadikan buku ini tergolong istimewa. Harus diakui, dalam menganalisa permasalahan, penulis cukup jujur dengan mengakui bahwa intoleransi sudah muncul sejak awal perkembangan pemikiran dan masyarakat Islam. Namun ia juga mengemukakan bahwa para pendiri mazhab fikih seperti Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hanbali sendiri sebenarnya adalah pemikir yang rendah hati, terbuka, dan menganjurkan pada pandangan yang toleran yang mengesankan. Namun sayangnya, buah pemikiran dari imam-imam tersebut kini diidentikkan dengan fanatisme, seolah-olah yang tidak bermazhab itu akan lebih toleran.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, pandangan-pandangan keagamaan yang toleran dan inklusif perlu terus diupayakan dan disosialisasikan. Dialog adalah peluang bagi terwujudnya pemahaman yang toleran serta ruang dalam menciptakan perdamaian. Dialog yang sejati akan membawa harapan baru bagi manusia. Dengan dialog, memungkinkan warga membangun suatu masyarakat yang harmonis berdasarkan nilai kebenaran, keadilan, kasih, dan kebebasan. Dialog membuka ruang untuk memelihara dan mengembangkan relasi yang benar (right relationship) antara pencipta, sesama, diri sendiri, dan alam-lingkungan. Apalagi mayoritas Muslim Indonesia dikenal dengan nilai-nilai ketimuran yang santun dan toleran. Maka, nilai plus tersebut adalah modal sosial yang baik untuk mewujudkan sikap dan mental yang mau menerima perbedaan ditengah keberagaman.
Oleh karena itu, buku ini sudah seharusnya menjadi pegangan wajib bagi para akademisi, praktisi keagamaan, ataupun masyarakat antar agama yang prihatin terhadap isu-isu kekerasan dan terorisme atas dasar agama. Karena dalam Al Qur’an sendiri telah ditegaskan, bahwa Nabi tidak diutus kecuali untuk mengemban misi penyebaran kasih sayang universal. Kasih sayang Islam tidak hanya dikhususkan untuk kaum Muslimin, namun juga dapat dirasakan oleh seluruh makhluk di muka bumi. QS. Al Anbiya’ (21): 107
Peresensi adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Jogja. Selain berkecimpung di beberapa komunitas, peresensi juga relawan di Lembaga Dialog Antar Iman-DIAN Interfidei Jogja.
Buku ini bagus, karena membaca Islam dari sudut sosial, tetapi tetap mengacu pada inti normativ-nya..
BalasHapus