Fakta sejarah membuktikan di zaman Rasullulah SAW, sahabat,
ummayah, dan Abbasiah, ekonomi umat akan tumbuh bila potensi zakat umat digali
secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo 30 bulan tidak
ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki mengeluarkan zakat dan
distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi juga produktif. Kenyataan itu
harus kita wujudkan saat ini agar kemiskinan yang menjadi musuh kita dapat
diatasi.
Secara spiritual amalan zakat sesungguhnya bagaikan tabungan akhirat,
namun hakekat zakat dalam urusan dunia memiliki kekuatan yang maha dahsyat
dalam membangun ekonomi umat (Islam) khususnya. Beberapa pokok pikiran yang
mendasari asumsi ini antara lain:
1.
Terjadi pertumbuhan
penduduk yang tinggi dan terus menerus. Implikasi demografis ini secara
otomatis maka nilai totalitas kuantitatif zakat secara nasional akan meningkat
tentunya diukur dari sisi besarnya rupiah yang dikumpul,
2. Kemampuan pengumpulan zakat dan besarnya jumlah pemberi zakat
(muzakki) sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah instrumen efektif untuk
mengukur adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Islam) secara umumnya,
3.
Indikator empiris untuk mengaitkan adanya kenaikan tingkat
kesadaran masyarakat (Muslim) dalam membayar zakat. Tentunya indikator ini
berkaitan dengan meningkatnya kesdaran dan amalan jariah melalui zakat, infaq
dan sadaqah,
4.
Keberhasilan meningkatkan
kualitas nilai zakat dan kuantitas muzakki merefleksikan efektifnya manajemen
zakat yang dikelola oleh BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Menggali potensi zakat perlu dilakukan melalui identifikasi objek
zakat. Sosialisasi dalam mekanisme penerimaan/pemungutan melalui petugas
pengumpul zakat (Amil) sangat penting. Dan yang terpenting setelah zakat
terkumpul ialah mekanisme dalam penyaluran kepada mustahik (penerima
zakat). Efektifitas ini berkaitan pula dengan efisiensi dalam internal
manajemen termasuk kualitas dan profesionalitas amil zakat, dan transparansi
dalam tata-kelola zakat.
Zakat sesungguhnya berfungsi pula sebagai sumber dana bagi pengembangan
ekonomi syariah dengan manajemen amanah. Zakat disalurkan bukan sekedar kepada
fakir miskin yang lebih ditujukan ke kepentingan konsumsi (keluarga), tetapi
idealnya dana yang disalurkan dapat dijadikan modal usaha bagi perbaikan
ekonomi keluarga warga Muslim. Jadi sisi investasi atas zakat jauh lebih
bermanfaat dibandingkan sisi konsumsi dari zakat. Ia bagaikan memberi kail dan
umpan untuk pengembangan ekonomi ummat, dibandingkan memberi ikan yang siap
dimakan untuk kepentingan sesaat.
Pemberdayaan Zakat Melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat
Islam menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif untuk memecahkan
masalah kemiskinan, diantaranya melalui Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh
melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat. Di zaman Nabi, Amil (yang mengelola zakat)
itu merupakan penggerak zakat, mereka yang mengurus mulai dari proses hingga
pendistribusiannya, termasuk memberikan pembinaan kepada yang menerima, seperti
kepada para fakir dan miskin.
Amil merupakan pengelola zakat, termasuk badan-badan zakat yang ada itu
tugasnya bukan hanya menerima dan memproses saja, tetapi berkewajiban juga
dalam pendistribusiannya, termasuk bagaimana dalam membina dan memberikan
pembinaan kepada fakir miskin yang menerima zakat itu. Amil Zakat diharapkan
bisa ikut serta memberdayakan zakat secara benar dan tepat. Tentu, diharapkan zakat
yang diterima itu tidak hanya untuk dikonsumsi, tetapi bagaimana bisa
diberdayakan untuk mengangkat perekonomian mereka, misalnya dipakai untuk modal
usaha, atau mereka diberikan alat kerja sehingga mereka bisa terangkat
kehidupannya menjadi lebih baik.
Ada data dalam sejarah, pada prinsipnya zakat itu untuk menekan angka
kemiskinan, bukan untuk memelihara kemiskinan. Buktinya dalam sejarah, mulai
zaman Nabi, Khalifah sampai pada masa Umar bin Abdul Aziz, ketika itu saat akan
menyalurkan zakat merasa kesulitan karena hampir tidak ada lagi yang menerima
zakat, itu menunjukkan penekanan kemiskinan berhasil.
Tidak banyak yang sadar bahwa sebenarnya zakat adalah sebuah koreksi
Islam atas konsep pajak dalam sebuah negara. Ia merupakan potensi besar untuk
mengubah wajah Indonesia menjadi negara adil dan makmur (baldatun
tayyibatun warabbun ghafur). Beranikah kita membayangkan bahwa pengumpulan dana
zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS) dapat melampaui penerimaan negara atas pajak
yang selama ini dibayarkan kepada negara? atau lebih lagi beranikah kita
bermimpi penerimaan dana zakat rakyat Indonesia dapat melampaui penerimaan
APBN? Lalu pendistribusiannya dilakukan berdasarkan pada pola dan konsep
pendistribusian zakat yang 8 ( delapan ) asnaf itu.
Tentu saja banyak rakyat Indonesia yang senang, tentu karena pasti
rakyat kecil dan miskin akan segera tertolong dari lembah kesengsaraan hidup.
Anak – anak sekolah dari keluarga tidak mampu juga pasti akan segera tersubsidi
secara merata dan adil. Lalu para pedagang asongan dan para petani di pedesaan,
dan peternak serta nelayan segera mendapat suntikan modal.
Sarana umum seperti jalan, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, arena
olah raga, juga dibangun secara memadai karena mendapatkan kompensasi
pendistribusian dana sebagaimana mestinya sebagai salah satu asnaf
(fisabilillah). Dan tentu saja para penyelenggara negara (Amil) juga
mendapatkan gaji yang semestinya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak juga
punya nafsu untuk korupsi, karena mereka takut akan azab Allah. Mereka lebih
banyak bersyukur karena menyadari telah dibayar dengan uang dari bagian zakat
lewat asnaf Amil.
Dalam konteks perolehan potensi dana zakat yang sudah terkumpul, boleh
jadi diskripsi bakal tak mungkin dicapai. Paling tidak untuk saat ini, tapi
bahwa potensi tersebut bisa jadi kenyataan, siapa yg tahu mengingat penduduk
Indonesia yg mayoritas muslim. Dan untuk mewujudkan gagasan tersebut sebenarnya
tidak terlalu sulit jika pemerintah ikut ambil bagian untuk penggalangan dana
ZIS ini.
Lembaga – lembaga pengelola dana ZIS telah menunjukkan hasil yang cukup
menggembirakan dalam konteks pemanfaatan atau pendistribusian dana ZIS. Banyak
sudah rakyat miskin yang tertolong dengan bantuan dana ZIS karena pola
pendistribusian tidak hanya menyentuh kebutuhan konsumtif saja tapi juga sudah
diupayakan menyentuh level kegiatan sektor produktif seperti pemberian modal
bagi usaha mikro, juga subsidi biaya sekolah bagi kalangan fakir miskin.
Melihat kenyataan tersebut jelas tidak diragukan lagi jika potensi
pemanfaatan dana ZIS sangatlah besar hanya saja problem yang dihadapi adalah
bagaimana memaksimalkan potensi penggalangan dana ZIS dari masyarakat yang
mampu. Persoalan Zakat bukan hanya semata – mata persoalan Departemen Agama (
red. Kemenag ) saja. Harapan dari ketua BAZNAS, KH. Didin Hafiddudin yakni
bagaimana menjadikan zakat sebagai salah satu sumber dana alternatif bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
[1][1]
Sumber Hukum
Di masa Nabi,wilayah kekuasaan islam meliputi semenanjung Arabia.Tetapi
sepeninggalnya,wilayah itu lambat laun menjadi semakin luas.Di tahun 14 H,
Islam menguasai Damaskus.Di tahun 17 H Syam dan Irak dikuasai orang Islam
seluruhnya,hingga sampai di Persia pada tahun 21 H.Di tahun 20 H Islam merambah
ke Barat Mesir sampai Maroko.Tahun 56 H Samarkand dikuasai Islam,dan tahun 93 H
orang Islam masuk Andalusia.Meluasnya wilayah kekuasaan Islam beriringan dengan
munculnya persoalan baru dikalangan ummat islam,sementara,”petunjuk praktis
keagamaan” terbatas jumlahnya.
Selanjutnya para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak
terdapat di Arab. Misalnya masalah
pengairan,keungan,ketentaraan,perkawinan,pajak,cara menetapkan hukum di
pengadilan,dan lain-lain,tradisi di Irak tidak sama dengan di Mesir,dan tidak
sama pula di Arab.Dalam menjawab hukum persoalan yang baru,para sahabat
terlebih dahulu merujuk ke al-Quran.Bila tidak ada disana,mereka berpindah ke
al-Hadits.Terhadap hadits,para sahabat sangat berhati-hati.Dalam banyak kasus
diketahui bahwa para sahabat tidak menerima begitu saja berita yang dinyatakan
berasal dari Nabi.Abu Bakar ra. Pernah menolak sebuah hadits yang disampaikan
oleh satu orang,kecuali kalau diperkuat oleh seorang saksi.Umar bin al-Khattab
ra,pernah meminta seorang pembawa hadits agar mendatangkan bukti bahwa berita
itu benar dari Nabi.Begitu juga Ali bin Abu Thalib ra,pernah meminta angkat
sumpah kepada seseorang yang datang membawa berita dari Nabi.Bila mereka tidak menjumpai
teks al-Quran dan al-Hadits yang menyebut secara eksplisit tentang tradisi di
daerah-daerah yang sudah mapan maka mereka memutuskan persoalan hukum dengan
menggunakan akal pikiran (ra`yu) yang dijiwai oleh ajaran wahyu.
Dalam hal semacam ini para pemuka Islam dituntut”memuaskan”
ummat.Seperti halnya orang Islam dewasa ini,orang Islam dulu tidak seluruhnya
sanngup berjihad karena kesanggupan berpikir dan daya ingat mereka akan
petunjuk Nabi tidak sama.Maka hanya oarang-orang tertentu saja yang berijtihad.
Untuk menyelsaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada
al-Quran dan sunnah Nabi.Para sahabat banyak yang hafal al-Quran,kendati pernah
timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi
peperangan.Karenanya,kembali kepada al-Quran itu mudah.Hadits memang
diriwayatkan dan dihafal.Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Quran karena
perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Quran.Disamping dihafal,al-Quran juga
ditulis.Sedangkan penulisan hadits secara”tertib”berjarak waktu lebih satu abad
dari penulisan al-Quran.Namun demikian,sumber hukum Islam di masa ini adalah
al-Quran dan sunnah Nabi.Berdasarkan kedua sumber hukum itulah para khilafah
dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Di masa Nabi,syariat Islam dalam aspek hukum diterapkan sebagai hukum
masyarakat.Dalam diri Nabi terdapat otoritas agama dan kekuasaan politik yang
tidak dapat dipisah-pisahkan.Maka,hukum agama adalah hukum masyarakat.Keadaan
semacam ini berkelanjutan sampai masa Khulafaur Rasyidun. Pada umumnya dalam
memutuskan hukum,khalifah tidak sendirian,tetapi bertanya lebih dahulu kepada
sahabat lain,takut kalau salah.Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap
al-Quran bukan hak prerogatif khalifah.Selanjutnya keputusan diambil dari hasil
konsensus.yang lazim disebut ijma`.Melihat luasnya kekuasaan Islam,rasanya
konsensus bukanlah hasil kesepakatan seluruh orang Islam,tetapi kesepakatan
beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.Konsensus yang
menghasilkan pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah adalah contohnya.Ketika
itu ummat Islam dihadapakan persoalan,siapa yang pantas menggantikan (menjadi
Khalifah) Rasul.Orang Muhajirin,ataukah orang Anshar.Keputusan ini diambil
berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagai pengganti Nabi mengimami shalat
ketika beliau tidak dapat mengimami karena sakit.Tetapi terkadang,keputusan
hukum khalifah ditetapkan setelah terjadi adu argumen.
Zakat Masa Rasulullah SAW
Sebagaimana disyari’atkan kepada Rasul-Rasul terdahulu, zakat juga
disyaria’atkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Pensyari’atan zakat telah
terjadi sejak Nabi berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan
shalat. Di dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 82 ayat yang berisi
perintah menunaikan zakat bersamaan dengan perintah mendirikan shalat, baik
perintah tersebut ada yang menggunakan lafal shadaqah maupun zakat. Dari sekian
ayat itu diantaranya adalah ayat-ayat makiyyah. Perhatian Islam yang besar
terhadap penanggulangan problem kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat
dari kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di Kota Mekkah
–saat umat Islam masih beberapa orang dan hidup tertekan- sudah mempunyai kitab
suci yang memberikan perhatian penuh dan terus menerus pada masalah sosial
penanggulangan kemiskinan tersebut.
Ayat – ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode Mekkah tidak secara
tegas menyatakan kewajiban zakat, umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya
bercerita tentang hak-hak fakir miskin atau ketentraman dan kebahagiaan
orang-orang yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturukan pada periode Mekah
hanya bersifat anjuran mengenai bershadaqah, lafal yang digunakan pun lebih
banyak menggunakan lafal shadaqah daripada zakat. Beberapa ayat bahkan
disandingkan dengan himbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan
tersebut masih belum bersifat larangan. Bahwasanya pada periode Mekkah syariat
zakat belum menjadi syari’at yang bersifat wajib dan masih bersifat himbauan
dan anjuran, karena ayat-ayat Mekkah tidak memakai sighat amar. Hal itu
misalnya bisa diperhatikan dalam ayat makkiyah tentang zakat berikut ini :
“Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).”(Q.S Ar-Rum : 39)
Hal ini ditambahkan pada surat Lukman ayat 2-4 bahwasanya orang yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri
akhirat.” (Q.S Luqman 2-4)
Keseluruhan ayat-ayat Makiyyah di atas bersifat informatif, belum
menetapkan zakat sebagai kewajiban seorang muslim, baik zakat harta maupun
zakat fitrah. Zakat hanya dipandang sebagai perilaku orang-orang yang terpuji,
ciri orang yang beriman, bertaqwa dan saleh. Ayat-ayat zakat yang turun pada
periode Mekkah baru bersifat umum belum ada ketentuan detail hukum dan jenis
harta yang wajib dizakati serta batasan nishab dan kadar zakat yang harus
dikeluarkan. Semua itu diserahkan kepada rasa iman, kemurahan hati dan rasa
tanggung jawab seseorang atas orang lain. Ayat-ayat yang turun di Mekkah tidak
hanya hanya menghimbau agar orang-orang miskin diperhatikan dan diberi makan,
dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu
membebani setiap orang mukmin mendorong pula orang lain memberi makan dan
memperhatikan orang-orang miskin tersebut dan menjatuhkan hukuman kafir kepada
orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman
Allah di akhirat.
Dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di
Madinah, tetapi mengapa Qur’an membicarakan hal itu dalam ayat-ayat yang begitu
banyak dalam surat-surat yang turun di Mekkah. Hal ini dikarenakan adalah bahwa
zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Mekkah itu tidaklah
sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah
ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur dan
negara bertanggung jawab mengelolanya. Sementara di Mekkah adalah zakat yang
tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman,
kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama
orang-orang yang beriman.
Sifat Syari’at zakat pada periode Mekkah yang demikian karena secara
sosiologis umat Islam masih merupakan kelompok minoritas yang sering tertindas
dan ditindas oleh mayoritas kafir Quraisy. Kaum muslimin di Mekkah baru merupakan
pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama mereka. Mereka tidak
memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, kecuali kekuatan Iman dan
Islam yang merekat pada jiwa mereka. Karena kebanyakan dari mereka lebih
memilih meninggalkan harta bendanya daripada harus meninggalkan iman Islam
mereka.
Sementara pada periode Madinah, secara politis kaum muslimin telah
menjadi sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara
sendiri, menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri, mereka
terdiri atas penguasa, pemilik tanah, pedagang dan sebagainya. Mereka sudah
merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri.
Oleh karena itu beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan
perkembangan tersebut, yaitu bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya
pesan-pesan yang bersifat anjuran. Hal itu mengakibatkan penerapannya
memerlukan kekuasaan di samping didasarkan atas perasaan iman tersebut,
kecenderungan itu terlihat pula pada penerapan zakat. Dalam kondisi demikian,
umat Islam memerlukan perantara untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik
yang telah terbentuk itu. Ayat-ayat Madaniyah tentang zakat yang mulai terlihat
unsur kewajibannya, merupakan bagian dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan
politik itu. Zakat pada periode Madinah telah menjadi suatu instrumen fiskal
utama yang cukup menentukan. Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat
itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang
jelas.
Dari sisi lain, zakat merupakan aset pendapatan negara yang sangat
berarti bagi kelangsungan pemerintahan. Dari zakat dapat terkumpul dana besar
yang bisa diberdayagunakan untuk kepentingan negara, serta sebagai sumber dana
dalam proses pembangunan negara berdasarkan syariat Islam pada masa tersebut.
Dalam konteks itu, maka zakat telah menjadi tulang punggung dalam perekonomian
negara, dan telah menjadi instrumen fiskal utama pada masa tersebut.
Pada tahun kedua Hijriyah turunlah ayat dengan aturan yang lebih khusus,
yakni penetapan kelompok siapa saja yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq
az-zakat). Saat itu, mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu
fakir dan miskin. Karena pada masa itu zakat telah diarahkan sebagai suatu
instrumen fiskal yang berfungsi sebagai suatu instrumen pemerataan atas
ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan yang terjadi di
masyarakat. Hal itu diistinbathkan dari surat Al-Baqarah ayat 271, yaitu:
“Jika kamu menampakkan pemberian sedekahmu, maka itulah pekerjaan yang
sebaik-baiknya. Dan jika kamu menyembunyikan pemberian itu, dan kamu serahkan
kepada orang-orang fakir, maka itulah yang lebih baik bagimu (QS Al-Baqarah:
271)”
Ketentuan di atas berlangsung hingga tahun kesembilan Hijriyah. Karena
pada tahun kesembilan Hijriyah Allah menurunkan surat At-Taubah ayat 60 yang
menetapkan ketentuan baru bahwa yang menjadi kelompok yang berhak untuk
menerima zakat tidak hanya terbatas pada fakir dan miskin, tetapi bertambah
menjadi enam kelompok lagi.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang yang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.(QS At-Taubah:
60)”
Dalam praktiknya, Nabi membagi rata hasil zakat yang terkumpul kepada
delapan kelompok tersebut. Nabi membagi sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh
masing-masing kelompok tersebut. Maka konsekuensinya, ada salah satu kelompok
yang tidak memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada
kelompok lain yang lebih membutuhkan. Pertimbangan yang dilakukan Nabi adalah
berdasarkan azas manfaat dan prioritas, kelompok-kelompok mana saja yang harus
menjadi prioritas utama untuk dibagikan zakat dan mana yang menjadi prioritas
terakhir. Skala prioritas ini dapat berubah dari waktu ke waktu.
Al-Qur’an adalah konstitusi dan sumber perundang-undangan Islam yang
utama, oleh sebab itu Al-Qur’an hanya mengandung asas-asas dan prinsip-prinsip
umum tentang suatu masalah, tidak menegaskan secara mendetail dan terperinci,
terkecuali terdapat hal-hal yang dikuatirkan akan menimbulkan keragu-raguan dan
kekacauan. Dalam hal ini sunnah merupakan interpretasi lisan dan pelaksanaan
konkrit apa yang dinyatakan Al-Qur’an: menjelaskan yang belum jelas,
mempertegas yang belum tegas, memberi batasan yang masih samar, dan
memperkhusus apa yang masih terlalu umum. Dalam hal zakat, sunnah datang
memperkuat ketentuan bahwa zakat itu wajib dan itu sudah ditegaskannya semenjak
periode Mekkah.
Untuk mempermudah mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat, Nabi
mengangkat petugas khusus yang dikenal sebagai ‘amil. Amil yang diangkat Rasul
ada dua macam, pertama, amil yang berdomisili di dalam kota madinah, statusnya
bersifat free-lance, tidak memperoleh gaji tetap hanya kadang-kadang memperoleh
honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat. Diantara
sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khathab. Kedua,
Amil yang tinggal di luar kota Madinah, status mereka adalah sebagai wali
pemerintah pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Diantara
sahabat yang pernah menduduki jabatan ini adalah Muadz bin jabal. Sebagai amil,
mereka diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk
langsung mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi
konsep pendistribusian pada masa Nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana
zakat yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat.
Karena nabi memandang bahwa setiap daerah tentu memiliki kebutuhan dan
orang-orang yang akan dibantu sendiri.
Setelah jelas bahwa zakat itu wajib dan bagaimana kedudukannya dalam Islam,
berdasarkan apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an, sunnah dan ijma’, maka kita
dapat memberikan catatan penting dan ringkas tentang zakat tersebut, yang jelas
berbeda sekali dari kebajikan dan perbuatan baik kepada orang-orang miskin dan
lemah yang diserukan oleh agama-agama lain:
Zakat dalam Islam bukanlah hanya sekedar suatu kebajikan dan perbuatan
baik, tetapi adalah salah satu fundamen (rukun) Islam yang utama. Orang yang
tidak mau membayar zakat dinilai fasik dan orang yang mengingkari dipandang
sebagai kafir. Zakat itu bukan pula kebajikan secara ikhlas atau sedekah tak
mengikat, tetapi adalah kewajiban yang dipandang dari segi moral dan agama
sangat mutlak dilaksanakan.
Zakat menurut pandangan Islam adalah hak fakir miskin dalam kekayaan
orang-orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan itu sebenarnya,
yaitu Allah SWT. Ia mewajibkannya kepada hamba-hamba-Nya yang diberi-Nya
kepercayaan dan dipercayakan-Nya itu. Oleh karena itu tidak ada satu bentuk
kebajikan atau belas kasihan pun dalam zakat yang dikeluarkan orang-orang kaya
kepada orang-orang miskin.
Zakat merupakan kewajiban yang sudah ditentukan, yang oleh agama sudah
ditetapkan nisab, besaran, batas-batas, syarat-syarat, waktu dan cara
pembayarannya. Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia,
tetapi harus dipikul tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya oleh
pemerintah. Hal itu dilaksanakan melalui para amil, dan zakat itu sendiri merupakan
pajak yang harus dipungut, tidak diserahkan kepada kemauan baik seseorang saja.
Negara berwenang memberi sanksi kepada siapa saja yang tidak bersedia
membayar kewajiban itu, namun hal ini baru dapat dilaksanakan pada negara Islam
dan belum dapat diaplikasikan di Indonesia. Maksimal hukuman yang diberikan
adalah penyitaan separuh harta kekayaannya.
Golongan bersenjata yang membangkang membayar zakat seyogyanya harus
dibunuh dan dinyatakan perang kepadanya oleh kaum muslimin, sampai mereka
bersedia membayar hak Allah dan fakir miskin yang terdapat di dalam kekayaan
mereka. Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan kewajiban besar dan fundamen
Islam yang sangat penting itu. Bila negara lalai menjalankannya atau masyarakat
segan melakukannya, maka seorang individu tetap wajib melaksanakannya sebagai
saran peribadatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Seandainya pemerintah
tidak mewajibkan, maka sebagai manusia beriman wajib melaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam Al –Qur’an, sunnah dan ijma’.
Kekayaan zakat tidak boleh diserahkan saja penggunaannya kepada para
pihak yang berwenang, para pemuka agama, seperti dalam agama Yahudi, tetapi
harus dikeluarkan sesuai dengan sasaran-sasaran pengeluaran dan orang-orang
yang berhak di dalam Al-Qur’an. Zakat bukanlah sekedar bantuan makanan
sewaktu-waktu untuk sedikit meringankan penderitaan hidup orang-orang miskin
dan selanjutnya tidak diperdulikan lagi nasib mereka. Tetapi zakat bertujuan
menanggulangi kemiskinan, menginginkan agar orang-orang miskin mampu menjadi
orang yang mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
Zakat berdasarkan sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Al-Qur’an
dan dijelaskan oleh sunnah, terbukti mampu mencapai tujuan-tujuan spiritual,
moral, sosial, dan politik. Dan oleh karena itu zakat dikeluarkan buat
orang-orang muallaf, budak, orang yang berhutang, dan buat perjuangan di jalan
Allah, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada
zakat dalam agama-agama lain.
Berdasarkan ciri-ciri khas tadi, dapatlah terlihat bahwa zakat dalam Islam
merupakan sistem baru tersendiri yang tidak sama dengan anjuran-anjuran dalam
agama-agama lain supaya manusia suka berkorban, tidak kikir dan menumbuhkan
sifat empati kepada sesama. Di samping itu zakat berbeda dari pajak dan upeti
yang dikenakan para raja, yang justru dipungut dari orang-orang miskin untuk
diberikan kepada orang-orang kaya.