Terbit: Singgalang, 30 Mei 2014
Oleh; Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar
dan bergiat di Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang
Sejak pendidikan tidak lagi
disepakati sebagai proses yang dilakukan secara fleksibel pada waktu luang—dalam
sejarahnya—pendidikan juga telah kehilangan aspek pengetahuan holistik (etika
dan moralitas) dan lebih berkepentingan pada sisi kognitif. Pada tataran ini,
dominasi peran otak dalam mengolah dan menerima informasi menjadi hal utama,
dan telah diklasifikasikan dalam kotak-kotak tertentu. Cara pandang yang
ditawarkan di bangku pendidikan lambat-laun terkesan parsial. Keadaan ini tentu
saja menyebabkan kompleksnya persoalan kemanusiaan pada dunia pendidikan
modern.
Dinamika yang terbentuk pada
sistem pendidikan modern, ketika ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi dianggap
kian mengasingkan dari normativitas cara pandang, belakangan banyak para
pemikir yang menawarkan untuk mengenang atau bahkan beralih pada
pengimplementasian pendidikan tradisional. Sebagian menyebutnya dengan
pendidikan klasik. Tujuannya tentu untuk menggeser cara berfikir kearah yang
lebih ramah namun tidak goyah jika dibenturkan dengan kontek kekinian.
Terdapat kecendrungan lain bahwa
konsep pendidikan ideal saat ini adalah terletak pada kesamaan akses informasi
yang diterima anak. Orang tua dapat secara bebas menyekolahkan (baca: menitipkan)
anak ke sekolah-sekolah mereka anggap kompeten dalam mendidik (baca: mengasuh) anak
secara full time. Identifikasi tersebut mengharuskan anak-anak
berprilaku sama, cara pikir yang sama dengan talenta yang sama. Alhasil, anak
akan digiring hingga menghasilkan tujuan yang sama pula. Kehilangan rasa
percaya diri, enggan menyelesaikan masalah, tidak mandiri dan tertekan adalah
dugaan sementara yang perlahan siap menyerang psikologis anak.
Ketertekanan dalam pendidikan
dan ketidak mampuan murid di sekolah sering menjadi penyebab psikologis yang
menyebabkan anak meluapkan ekspresi dirinya secara negative. Rasa tertekan
biasanya bermula dari ketidak nyamanan anak terhadap situasi kelas, lingkungan dan
guru merupakan pihak yang paling berpengaruh di dalamnya. Anak-anak yang merasa
terkekang, merasa tidak tersampaikan aspirasi atau karena beban pelajaran yang
tidak diminati, akan berimbas pada perlawanan yang dilakukan di luar kelas.
Ketertekanan membuat anak merasa tidak dihargai. Pada akhirnya mereka mencari
sandaran eksistensi diri untuk mendefenisikan keberadaan dirinya sebagai
“manusia” yang dimaknai menurut defenisi mereka masing-masing. Cara itu mereka
dapatkan sendiri melalui proses pencarian jati diri. Pencarian jati diri atau identitas
biasanya dilakukan dengan cara mecari referensi diri dengan cara yang beragam
seperti melalui pergaulan, media dan hal lain yang dianggap berpihak. Dengan
melakukan sejumlah perbandingan, anak merasa bebas untuk memilih figure hidup
yang ideal, termasuk melalui tayangan televisi yang luput sensor serta konten
pornografi. Dalam beberapa kasus, kondisi tersebut menjadi salah satu alasan
hadirnya prilaku kekerasan.
Maka tidak heran ketika banyak
anak yang ketika mengalami perlakuan kekerasan, sulit untuk melapor atau
sekedar menceritakan kepada guru atau orang tua. Bentuk pendidikan yang terlalu
eksklusif yang mereka terima di bangku sekolah, membuat anak terinternalisasi
dalam budaya yang tidak kritis dan diam. Kurikulum di sekolah sekolah lebih
mengutamakan target penguasaan mata pelajaran pokok tinimbang penerapan
pendidikan akhlak yang terintegrasi. Anak tidak terbiasa untuk melakukan
komunikasi dua arah karena telah terbiasa sebagai penerima saja (communicator).
Lebih jauh, kegagalan anak dalam menangkap tujuan pembelajaran akan menjerumuskan
anak sebagai pelaku kekerasan dan kenakalan anak, baik secara insidental maupupun
di masa yang akan datang.
Meskipun tidak memiliki
keterkaitan secara lansung, persoalan kekerasan anak dewasa ini bisa menjadi tolak
ukur bahwa sekolah merupakan tempat pijakan awal bagi anak dalam mengakses
pendidikan formal. Untuk mensiasatinya, anak juga diajarkan mengenai pendidikan
dini yang bertujuan agar anak dapat memproteksi diri dalam keterampilan
berkomunikasi, baik secara intrapersonal maupun interpersonal.
Di sisi lain, pasca merebaknya
kasus kekerasan anak yang terkesan serentak di sejumlah daerah di Indonesia,
kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait perencenaan
menerbitkan instruksi presiden (Inpres) sebagai gerakan nasional pencegahan dan
pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak telah mulai disosialisasikan. Semenjak
SBY menetapkan dimulainya gerakan anti kekerasan seksual terhadap anak
tersebut, masyarakat dengan berbagai elemennya didorong secara komunal untuk
lebih aware menciptakan lingkungan ramah anak, terutama di lembaga
pendidikan.
Begitu juga
dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), turut bersepakat dengan akan mengeluarkan
fatwa bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Kehadiran fatwa ini
dilatarbelakangi oleh fenomena kekerasan anak dan penetapan sangsi. Jika
merujuk pada tinjauan hukum pidana islam, tujuan diberlakukannya sangsi tidak
lain adalah bagaimana sangsi yang dijatuhkan dapat menghadirkan efek jera bagi
si pelaku (ar-ra’du wa zajru). Ini menjadi aturan pokok dalam
pemberlakuan hukuman, baik efek jera yang bersifat permanen maupun sementara.
Sangsi yang diberikan juga bersifat preventif-edukatif, bertujuan sebagai
penghambat seseorang untuk melakukan kejahatan dengan melakukan serangkaian
kegiatan mendidik (at-ta’dib).
Dalam kondisi ini, orang tua
memegang peranan penting dalam suksesi pendidikan anak. Orang tua mempunyai
otoritas penuh dalam mendidik dan mempengaruhi sikap anak. Anak dan orang tua
sama-sama belajar untuk mempelajari hal yang berbeda. Konkritnya, peran orang
tua dalam keluarga harus terkoneksi secara baik dengan lembaga pendidikan.
Kerjasama antara dua lembaga ini (rumah dan sekolah) perlu diupayakan supaya
tidak terjadi kontradiksi atau ketidak selarasan antara nilai-nilai yang harus
di pegang anak di sekolah dan nilai-nilai yang harus dilaksanakan anak ketika
berada di rumah.
Karena itu, orang tua dapat
belajar dari apa yang dipelajari anaknya. Tidak kata absoulut tentang orang tua
mempunyai kognisi lebih cerdas. Banyak pakar pendidikan menyebutkan bahwa
pendidikan terjadi sepanjang hidup (life
long education). Tiada kehidupan tanpa kegiatan yang bersifat pendidikan.
Bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi
interaksi sosial yang secara esensial disebut pendidikan (Redja
Mudyahardjo:2001). Atas dasar itu, anak manusia harus dimanusiakan agar
benar-benar menjadi manusia. Keadaan ini tentu saja disebabkan dengan ciri ilmu
pengetahuan yang selalu dinamis dan tidak statis.
Oleh sebab itu, yang diperlukan
adalah pendidikan kritis dan sosialistik. Ideologi kritis menghendaki perubahan
struktur social secara fundamental. Pendidikan dalam hal ini harus
mendekonstruksi struktur-struktur social, ekonomi, politik dan budaya yang
tidak melambangkan kepentingan dasar anak. Pendidikan dilakukan sebagai upaya pendewasaan
dan penyadaran yang berperan dalam menumbuh kembangkan kesadaran anak, termasuk
untuk tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. (..)