Dimuat di Harian Padang Ekspres
Pada Senin, 6 Mei 2013
Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan
Padang.
Untuk
kesekian kalinya, lagi-lagi anak menjadi korban kekerasan. Kasus pembunuhan
yang terungkap di Kabupaten Agam beberapa waktu lalu (29/4), menjadi catatan
panjang kisah pilu tentang kejahatan kemanusiaan. Berdasarkan kasus yang
ditangani lansung oleh Polresta Bukittinggi, diketahui bahwa korban adalah anak
perempuan yang masih duduk di bangku sekolah. Dari olah TKP (tempat kejadian
perkara), korban sempat diperkosa sebelum dihilangkan nyawanya secara
mengenaskan.
Fenomena di atas
merupakan satu dari kompleksnya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang
akhir-akhir ini selalu menjadi buah bibir. Tidak hanya di Sumatera Barat, di
beberapa daerah lain kasus serupa tengah berada dalam keadaan yang sama. Pencabulan
dan perkosaan terhadap anak sudah menempati angka tertinggi dalam kurun waktu
terakhir. Isu ini bak laris manis di pasaran dan tidak pernah kehabisan.
Senantiasa ramai menghiasi layar kaca dan media cetak. Pada skala nasional, tingginya
angka kasus kekerasan anak disinyalir sebagai wabah darurat nasional.
Berdasarkan data yang
berhasil dihimpun oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, terdapat 2.509
laporan pada tahun 2011, 59% diantaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Sementara pada tahun 2012, terdapat 2.637 laporan, 62% diantaranya adalah
kekerasan seksual. Lebih mencengangkan lagi adalah terhitung sejak januari
hingga Maret 2013 ini, ditemukan 87 kasus dari 127 pengaduan. Itupun
statistiknya diduga masih menggunakan skala pusat saja, dan belum termasuk in-put
data dari lembaga-lembaga layanan lain di sejumlah daerah se-Indonesia.
Pada skala yang lebih
kecil, angka berbeda ditunjukkan oleh Women’s Crisis Center Nurani
Perempuan Padang. Terdapat 24 kasus kekerasan seksual tahun 2011, 13
diantaranya adalah kasus perkosaan. Tahun 2012 terdapat 29 kasus, 22
diantaranya adalah kasus perkosaan. Sedangkan sejak bulan Januari hingga April
tahun ini setidaknya ada 11 kasus, 9 diantaranya adalah kasus perkosaan.
Jika dirangkum seluruh
jumlah kasus di atas, dapat diasumsikan bahwa semenjak bulan Januari hingga
Maret tahun ini, setidaknya terjadi 1 kali tindak kekerasan terhadap anak
hampir disetiap harinya di Nusantara.
Dari
analisa kasus, rupanya terdapat kecendrungan bagi korban kekerasan seksual
untuk tidak melaporkan peristiwa yang dialami. Banyak faktor yang melatar
belakangi. Beberapa diantaranya adalah korban merasa malu karena menganggap hal
ini merupakan aib sehingga orang lain tidak boleh tahu, faktor usia anak
membuat korban masih labil untuk bisa menyikapi persoalannya secara rasional, rasa
takut akan ancaman pelaku ditambah oleh rasa khawatir karena mendapatkan tekanan,
sehingga menyebabkan kasus kekerasan tidak terdeteksi, karena tidak dilaporkan.
Fenomena ini tentu sangat merugikan anak selaku
korban, baik secara fisik maupun piskis anak. Bahkan anak kehilangan hak dan
kesempatannya untuk hidup layak seperti anak-anak pada umumnya. Sebagaimana
prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang tertera dalam Undang-Undang No
23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak pasal 2; (a) non-deskriminasi, (b)
kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup, kelansungan hidup dan
perkembangan, (d) penghargaan terhadap pendapat anak.
Pendidikan moral
Faktor yang beragam
dinilai sebagai penyebab terjadinya tindakan kekerasan seksual terhadap anak.
Layanan tekonologi berbasis internet di klaim berkontribusi besar sebagai pemicu
aksi kekerasan. Tayangan televisi yang luput sensor serta konten pornografi
menjadi gerbang dimulainya kisah kelabu tentang penyimpangan seksual.
Selain
pengaruh teknologi, pemicu lain juga dipengaruhi oleh disorientasi nilai, yakni kehilangan arah
dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Kondisi
yang tidak stabil dan mobilitas yang terlalu berlebihan
membuat beban dan fungsi nalar menjadi lebih berat. Indikasinya akan melahirkan
pribadi-pribadi yang keluar jalur (out-reach) atau berantakan. Jika sudah
begini, sejumlah prilaku yang bersifat devian atau menyimpang seperti agresi
akan lahir sebagai warna baru, yaitu kekerasan.
Perilaku agresi sendiri merupakan bentuk tingkah laku
yang ditunjukkan untuk melukai dan mencelakakan individu lain (Leonard Berkowitz: 2006). Agresi dalam konteks pelaku
kekerasan, kadangkala lahir melalui proses meniru, dimana pola asuh orang tua
yang agresif turut menularkan pandangan agresif mereka kepada anak-anaknya.
Selanjutnya, anak-anak tumbuh dan berkembang melalui pengalaman hidup yang
mereka peroleh dari peran ayah dan ibu di rumah.
Begitu juga ketika keluarga tersebut rentan diwarnai
cek-cok dan pertengkaran, seperti kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence). Secara tidak lansung anak akan terpengaruh, meniru bahkan
menerima pola tersebut sebagai aturan hidup yang lumrah bagi kehidupannya
kelak. Konflik suami istri yang disaksikan anak berulang-ulang akan menghadirkan frame baru bagi perkembangan anak. Tidak menutup
kemungkinan, kelak anak akan melakukan prilaku kekerasan serupa.
Pada
konteks ini, meningkatnya jumlah pelaku kekerasan terhadap anak lebih disebabkan
oleh kehilangan konsep diri (frustasi) dan lemahnya daya kontrol diri (self
protection). Keduanya itu merupakan turunan dari moral. Penanaman
nilai-nilai atau yang lebih populis dengan sebutan norma-norma tak ayal menjadi
suatu keharusan. Tidak hanya yang bersifat duniawi semata, pendidikan agama
yang diterapkan dalam keluarga harus menjadi porsi utama.
Pendidikan moral adalah
metode ideal yang seharusnya telah dibiasakan sejak usia dini. Bahkan dimulai
sejak bayi masih di dalam kandungan. Seluruh anggota keluarga ditanamkan
kesadaran untuk melakukan pilihan antara
nilai-nilai yang dikategorikan salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau
tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat dimulai dengan mempraktekkannya
dalam kegiatan sehari-hari. Kemudian berlanjut dengan internalisasi nilai-nilai
sebagaimana di atas, hingga mendarah daging dalam kehidupan seluruh anggota
keluarga.
Mengutip pendapat Immanuel
Kant (1724-1804), bahwa norma (moral) itu mengikat secara mutlak dan tidak
tergantung apakah norma itu menguntungkan atau tidak. Manusia mempunyai tugas agar
senantiasa menebar kebaikan dan cinta kasih. Hal itu disebabkan karena manusia
memiliki kecendrungan kepada kebaikan. Ketika setiap individu telah secara
sadar (awareness) memproyeksikan ke dalam dirinya bahwa kekerasan
merupakan sebuah pelanggaran atas hak-hak sesama manusia, kekerasan terhadap
anak setidaknya akan berkurang. Terutama bagi masa depan anak dan kemajuan
bangsa. (..)