Minggu, 20 Januari 2008

GENERASI PLATINUM

Saiq seperti tenggelam dengan komputernya. Di layarnya tampak mobil bersayap yang masih terus dipandang. Bocah yang dilahirkan tahun 1995 itu akhirnya tersenyum. Ia tampak belum puas dengan hasilnya. Tak lama kemudian Saiq memberi sayapnya dengan aksen keemasan. Kemudian di bawahnya diberi tulisan : ‘mobil masa depan: anti macet dan hemat BBM’ Keluarga terkagum-kagum melihat karya kreatif tersebut. Apalagi kemudian ia kembali ‘mengutak-atik’ mobil dengan menambah asesori lain. Tangannya dengan lincah ‘menari’ memainkan mouse dan gambar di layar pun berganti-ganti, sesuai dengan imajinasi yang ada di benaknya. Meski tidak setiap saat bermain, bocah berusia 12 tahun ini tampak begitu mahir berkarya mewujudkan imajinasinya. Saiq yang sudah mengenal dan bermain komputer sejak berusia 5 tahun itu juga tampak serius dan tidak menyadari bila ada dua pasang mata yang sedang mengawasinya. Gambaran itu bukan hanya milik Saiq seorang. Namun di rumah-rumah keluarga berada yang lain dimana komputer atau laptop sudah ‘bukan barang mewah’ pemandangan itu tidaklah aneh. Mereka bahkan begitu akrab bermain dan ‘tenggelam’ di depan layar komputer ataupun laptop-nya. Merekalah anak-anak, yang oleh para psikolog dunia dijuluki sebagai ‘generasi platinum’. Mereka bukan hanya akrab dengan teknologi canggih: televisi, ponsel dan juga komputer, namun juga mampu menyerap dan mengembangkan kemampuan teknologi dengan dahsyat.

‘Generasi Platinum’ adalah generasi mendatang yang memiliki karakteristik tersendiri, berbeda dengan generasi sebelumnya. Anak-anak yang dilahirkan pasca 1995 - bahkan setelah tahun 2000 - ini terlahir dari ‘produksi’ orangtua yang lahir pada tahun 70-an, yaitu generasi yang sudah berpendidikan lebih tinggi dan memiliki keinginan untuk mengoptimalkan potensinya. Mereka adalah anak-anak generasi baru yang beruntung, karena berkembang maksimal dari pengaruh orangtua yang lebih terbuka pandangannya dan lebih mudah menerima perubahan arus teknologi informasi. Tidak bisa dihindari, jika anak-anak ini juga lebih tertarik peralatan digital baru. Sebuah survei tahun 2005 menunjukkan jika usia awal penggunaan barang elektronik makin menurun. Salah satu yang paling mencolok adalah pemakaian pemutar DVD dan penggunaan telepon seluler. Fakta inilah yang disebut pakar pendidikan Dr Arif Rahman dalam suatu kesempatan yang membuktikan jika anak-anak generasi mendatang ini tidak takut pada teknologi, mengadopsi dan membuatnya sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Dan awal mereka juga menggunakan perlengkapan juga semakin muda.

Penelitian lembaga riset pasar ritel dan konsumen global yang berkedudukan di New York, NPD Group pada pertengahan 2007 yang dikutip Wireless World Forum (Antara, 20/12/2007) menyebutkan bahwa usia rata-rata anak mulai menggunakan peralatan elektronik telah turun dari 8,1 tahun pada tahun 2005 menjadi 6,7 tahun pada tahun 2007. Jika di rata-rata, anak-anak ini mulai menggunakan peralatan elektronik pada usia tujuh tahun. Fakta yang menunjukkan bahwa anak yang lahir pada abad ke-21 lebih mudah dan lebih cepat beradaptasi dengan teknologi informasi yang berkembang cepat. Sementara, perangkat yang paling banyak digunakan adalah televisi (5,8 hari), ponsel (4,3 hari) dan perekam video (4,1 hari). Fakta ini bisa dikatakan sebagai langkah yang baik. Bangsa yang menumbuhkembangkan sains dan teknologi, akan berkembang menjadi lebih kuat. Bangsa Indonesia tampaknya perlu membudayakan sains dan teknologi dalam kehidupan kesehariannya. Dan itu sebaiknya dimulai sejak dini. Budaya sains dan teknologi yang sejak awal dikenalkan ini akan membuat anak-anak selalu mencari inovasi juga membangun kreativitas. Sehingga anak akan selalu ingin menjadi yang terbaik dan berupaya untuk terus berprestasi.

Pengenalan teknologi yang begitu akrab pada anak-anak, akankah selalu baik? Atau dengan kata lain, bisakah orangtua sepenuhnya menyerahkan ‘pengasuhan’ (dan juga pendidikan) pada kecanggihan teknologi tersebut? Bersahabat dengan teknologi di era informasi, memang menjadi sebuah tuntutan. Namun dalam kehidupan juga ada kebutuhan lain yang tidak bisa diperoleh dengan teknologi. Paling tidak, ada kebutuhan sosialisasi yang tidak bisa diperoleh anak yang diasuh hanya oleh teknologi. Banyak psikolog tumbuhkembang mengingatkan, ‘pendidikan’ anak oleh televisi yang kini menjadi fenomena keluarga-keluarga sibuk, telah membuat banyak anak menjadi lebih agresif dan yang paling memprihatinkan telah membuat banyak anak sulit berbagi, bertoleransi. Bagi anak sendiri seperti selalu diingatkan psikolog UGM, Dr IL Gamayanti dalam setiap kesempatan, banyak di antara mereka yang kemudian mengalami kesulitan berkonsentrasi. Artinya, ‘bergaul’ dengan peralatan teknologi mutakhir, juga memiliki dampak negatif, selain dampak positifnya. Terus menerus di depan layar televisi atau komputer, hanya akan membuat anak menjadi suka menyendiri, mengalami kesulitan bergaul, egois bahkan disebut cenderung memiliki emosi yang labil.

Konsultan neurology RS Cipto Mangunkusumo dr Hardiono D Pusponegoro SpA (K) dalam seminar akhir November lalu tegas menyebutkan, menonton televisi terus menerus, jelas akan menurunkan tingkat kecerdasan seorang anak. Karena terlalu lama menonton televisi juga terus bermain game, playstation membuat otak kehilangan kesempatan mendapatkan stimulasi dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Belum lagi informasi-informasi yang tidak benar dan tidak pantas diperoleh baik dari televisi, internet dan media lain. Padahal, anak-anak generasi platinum lebih cepat menangkap dan menyimpan arus informasi tersebut di benaknya. Lantas bagaimana menyikapi hal ini? Fenomena ini tak bisa diabaikan orangtua, keluarga dan juga sekolah. Sehingga proses pengajaran dan pembelajaran terhadap anak, perlu memahami psikologi dan sosiologi anak. Paling tidak, orangtua harus juga mengikuti perkembangan dunia teknologi canggih agar bisa menyaring dan menjelaskan pada anak. Kemampuan orangtua dalam keluarga dan juga guru di sekolah menjadi akan sangat menentukan. Selain mereka tak lagi disebut ‘gaptek’ alias gagap teknologi maka mereka juga memiliki informasi serta memiliki kemampuan menyaring informasi yang masuk untuk anak-anaknya. Jika ini dilakukan, sesungguhnya ada dua langkah yang telah terayun. Pertama menyaring informasi untuk anak dan yang kedua adalah menjalin hubungan dan komunikasi dengan anak. Sehingga orangtua perlu senantiasa mendampingi anak ketika mereka sedang berkomunikasi dengan teknologi canggih. Artinya, betapapun lengkap peralatan yang dimiliki, tetap ada waktu yang digunakan untuk berakrab-akrab dengan teknologi. Karena memang tidak bisa setiap saat menggunakan peralatan tersebut. Di sekolah pun, hal ini bisa membuat akrabnya guru dengan siswa karena memberi peluang siswa berinteraksi lebih dengan guru bahkan juga alam lingkungannya. Sosiolog UI Paulus Wirotomo dalam sebuah kesempatan menyebut guru bisa melakukan pendekatan model pembelajaran inquiry dan discovery. Dengan model itu, siswa didorong terlibat dalam rumusan masalah dan mencari solusi secara aktif, baik secara konseptual, empirik dan hipotetik. Dengan model ini, siswa bisa diajak berpikir secara kelompok dan kemudian berbagi pengalaman. Di sinilah pesan-pesan moral mengenai indahnya kebersamaan, toleransi, empati, keuletan bekerja, sikap mandiri, bergotong royong, mampu memilih bahkan berani mengakui kesalahan dan meminta maaf, bisa diajarkan. Lewat model ini, anak masa depan tetap akrab dengan teknologi dan tidak ‘gaptek’. Namun mereka juga mampu membangun nilai-nilai yang tidak mementingkan diri sendiri, yang mengarah pada perilaku egois dan individualis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar