Kini, apalah
daya. Politik telah dieksploitasi hingga ke ranah keluarga. Sebuah tempat
pertahanan terakhir ketika suatu saat mereka tersungkur, terjebak dan divonis sebagai
tersangka. Para penguasa mempunyai cara pandang lain tentang keluarga. Keluarga
tak sekedar forum indah yang dihabiskan untuk berbasa-basi dan bercengkrama.
Justru dari keluarga akan lahir ribuan bibit penguasa masa depan yang kuat
dengan karakter baru di kepalanya. Dari jumlah seribu, akan lahir satu atau dua
orang yang akan tumbuh menjadi seorang elite politik. Meski tak jelas suara
siapa yang akan mereka usung esok, yang pasti mereka tahu bahwa berpolitik
adalah cara agar mereka survive di tengah menjamurnya penguasa.
Dalam sebuah
keluarga yang nota-bene suami-istri adalah aktor politik daerah, melahirkan
sosok buah hati berjenis kelamin laki-laki. Dalam usia yang sangat belia, ia
bertanya kepada seorang kepala daerah yang tak lain adalah ayah kandungnya. “Yah,
dapatkah ayah menjelaskan apa itu politik?” Ayahnya menjawab, “Nak, agar kamu
mudah mengerti apa itu politik, ayah akan menjelaskan bahwa politik bisa
dipelajari dari perangkat dan peran yang ada dalam keluarga kita. Di keluarga
ini Ayah adalah pencari nafkah, maka ayah disebut kapitalis. Ibu berperan
sebagai pengatur keuangan, maka ibu disebut sebagai pemerintah. Ayah dan Ibu
memenuhi kebutuhanmu, maka dari itu kamu disebut sebagai rakyat. Masih ada satu
lagi, Bibi. Karena bibi berperan sebagai pembantu kita, maka bibi disebut
sebagi buruh. Sedangkan adikmu yang masih bayi kita sebut sebagi masa depan.”
Selesai mengobrol
panjang dengan ayahnya, Anak itu kemudian mengantuk dan segera masuk ke kamar untuk
beristirahat. Ternyata gelapnya malam tak membuat matanya lama terpejam. Ia terbangun
mendengar suara adiknya menangis. Dia bangun dan memeriksa. Ayahnya basah kuyup
karena ngompol dan berlumur pup. Segera ia berlari ke kamar orang tuanya. Ia
mendapati ibunya tertidur pulas. Tak ingin menggangu tidur ibunya, ia pun
segera berlari berpindah haluan ke kamar pembantu. Kaget, ia mendapati ayahnya
sedang bermesraan dengan bibi si pembantu. Dia terperangah. Karena tak punya
kuasa, ia berlari dan hanya berdiam di kamarnya hingga pagi menjelang.
Keesokan
paginya, ia kembali mengajak sang ayah untuk melanjutkan pembicaraan semalam. Anak
itu berkata, “Ayah, sekarang aku mengerti apa itu politik.” “Bagus nak, coba
ceritakan kepada ayah, apa itu politik”, jawab ayah. “Saat kapitalisme
memanfaatkan buruh, pemerintah nikmat tertidur. Pada saat itu rakyat hanya bisa
menonton dan bingung mendapati masa depan berada dalam kesulitan besar.”
Jadi, memang
tak keliru ketika saya asumsikan bahwa
politik lahir dari rahim penguasa yang berdalih sebagai negara. Walaupun tak
jelas entah negara apa dan negara mana yang
mereka maksud. (..)
Mengisi waktu,
menunggu keringnya masker pokat+madu di muka.